Archive Pages Design$type=blogging

News

Musik Menurut Al-Farabi, Guru Kedua Setelah Aristoteles

(Ilustrasi: sejuknyapagi.wordpress.com) Dirangkum oleh: Azhari  ( Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar Raniry Banda Aceh) Musik merupakan sebuah i...

(Ilustrasi: sejuknyapagi.wordpress.com)


Dirangkum oleh: Azhari (Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar Raniry
Banda Aceh)


Musik merupakan sebuah instrument dan fenomena aneh, karena music merupakan bentuk seni yang paling abstrak namun mampu memberikan efek paling langsung dan kongkrit. Menurut  Bambang Sugiarto dalam bukunya Untuk Apa Seni (2013), musik adalah serangkaian bebunyian yang dapat langsung menyentuh batin, mengondisikan perasaan, suka atau tidak suka, mengerti atau tidak, tampa peduli ras, suku, budaya, ideologi, atau latar agama. Dengan kata lain, musik mampu menembus aneka bahasa yang memisahkan manusia. Filsuf Yunani Aristoteles menganggap musik sederajat nilainya dengan filsafat dan matematika, karena kemampuannya mengungkapkan irama jiwa serta merta. Baginya, musik adalah pantulan seluk beluk hati manusia melalui melodi dan irama.

Pengaruh pemikir-pemikir filsafat Yunani kemudian diikuti oleh para pemikir Islam seperti Ibrahim al-Maushili, orang pertama yang memainkan cara pengaturan ritme dan tempo yang hidup dimasa khalifah Harun ar Rasyid. Khalifah Harun Ar Rasyid adalah salah satu khalifah yang paling dikenang oleh masyarakat Islam sampai saat ini. Pada masa Harun Ar Rasyid peradaban islam mencapai puncak kejayaannya, beberapa kebijakannya tentang seni musik adalah membangun lembaga penerjemahan buku-buku pemikir Yunani dengan berbagai ilmu pengetahuan, termasuk tradisi musik Yunani, mengadakan festival musik setiap tahun yang dihadiri hampir 2000 biduan, memberikan apresiasi kepada musisi setiap bulannya, dan menciptakan ruang-ruang diskusi dengan berbagai lintas pemikiran. Kebijakan ar Rasyid kemudian juga diikuti oleh khalifah-khalifah selanjutnya.

Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750H/1258 M) yang merupakan periode emas untuk berkembangnya musik dalam dunia Islam. Pada masa itu, musik mengalami perkembangan yang sangat pesat karena didukung oleh para khalifahnya yang sangat menyukai seni musik. Ibu kota kekhalifahan Abbasiyah yaitu Baghdad ketika itu tampil sebagai pusat kebudayaan Islam dan peradaban dunia. Pada masa inilah bermuncuan sejumlah musisi dan teoretikus musik yang lahir dan banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan musik Arab seperti Ibn Surayj, Ma’bad, Ibrahim al-Maushili, Ishaq al-Maushili, Ziryab, al-Kindi, Ibn Sina, dan al-Farabi.

Al-Farabi merupakan salah satu dari pemikir yang pernah dimiliki oleh peradaban Islam dan memiliki peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Beliau hidup di massa khalifah al-Muthi yaitu khalifah ke-23 Daulah Abbasiyah. Saat itu, gelar dengan Mu’allim Awwal (Guru Pertama) di dunia Islam ditujukan pada Aristoteles, sedangkan al-Farabi digelari dengan Mu’allim Tsani (Guru Kedua). Saat itu, tugas Aristoteles dalam dunia filsafat dianggap sudah selesai, maka penerusnya adalah Al-Farabi, yang mengelompokkan musik kedalam kelompok matematika. Al-Farabi sendiri banyak mengusai bidang ilmu pengetahuan, mulai dari politik, pemerintahan, matematika, Logika, dan bahasa. Salah satu karya terbesar beliau tentang musik yaitu Kitab al-Musiqi al-Kabiir.

Pendidikan dasar Al-Farabi adalah keagamaan dan bahasa, ia mempelajari fiqih, Hadits dan tafsir alquran, serta mempelajari juga bahasa Arab, Turki dan Parsi. Selain itu ia juga mempelajari pengetahuan Islam dan musik di Bukhara, salah satu daerah yang ada di Uzbekistan. Pada saat itu, pendidikan dengan sistem madrasah belum diterapkan. Para penuntut ilmu, hanya menuntut ilmu di rumah-rumah atau masjid. Hanya saja Al Farabi saat itu lebih tertarik dengan studi rasional, karena merasa tidak puas dengan apa yang telah didapatnya di kota kelahirannya tersebut. Keingintahuan Al-Farabi telah mendorongnya untuk meninggalkan rumahnya dan mengembara untuk menuntut ilmu pengetahuan ke Baghdad.

Al-Farabi menuliskan asumsi dan idenya yang terkait dengan musik dalam sebuah karya fenomenalnya yaitu Kitab al-Musiqi al-Kabiir,  sebuah kitab yang ditulis atas permintaan Abu Ja'far Muḥammad ibn Al-Qasim Karki, wazir khalifah al-Razi (wafat 329 H /940 M). Atas permintaan beliaulah Al-Farabi kemudian menulis tentang ilmu musik yang sesuai dengan teori Yunani kuno, dimana musik saat itu hadir dalam masyarakat Yunani, mulai dari perkawinan, pemakaman, dan upacara-upacara keagamaan. Singkatnya, musik telah memainkan bagian integral dalam kehidupan bangsa Yunani kuno. Alat-alat musik Yunani kuno antara lain pipa (syrinx), lira, drum, dan simbal. Pipa sendiri dibuat dari kayu atau gelagah yang diberi sejumlah lubang. Beberapa pipa dimainkan secara vertikal, seperti rekorder, dan bebeberapa lainnya dimainkan secara menyamping, seperti seruling. Terkadang, orang memainkan lebih dari satu pipa secara bersamaan. Pipa dan drum dimainkan untuk menghasilkan musik yang keras dan hidup, yang digunakan untuk mengiringi tarian.

Pada tahun 945 M, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan tampaknya amat terkesan dengan kealiman dan keintelektual Al Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo, dan diberinya kedudukan yang baik.

Saat tinggal di Kota Aleppo ia banyak mendapatkan fasilitas di Istana Saif al-Dawla al-Hamdani, disanalah al-Farabi mulai mengembangkan kemampuan musik serta teori tentang musik. Al-Farabi juga diyakini sebagai penemu dua alat musik, yakni rabab dan qanun. Beliau menulis tidak kurang dari lima judul kitab tentang musik. Kitab al-Musiqa al-Kabir atau The Great Book of Musik itu berisi teori-teori musik dalam Islam. Pemikirannya dalam bidang musik masih berpengaruh hingga abad ke-16 M. Kitab musik yang ditulisnya itu sempat diterjemahkan oleh Ibnu Aqnin (1160 M-1226 M) ke dalam bahasa Ibrani. Selain itu, karyanya tersebut juga dialih bahasakan ke dalam bahasa Latin berjudul De Scientiis dan De Ortu Scientriarium.

Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana. Hal yang paling menggembirakan di tempat ini adalah bertemu dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqh, dan kaum cendikiawan lainnya. Menurut Philip K. Hitti dalam bukunya History Of The Arabs, larangan terhadap penggunaan musik dari para ahli fiqh tidak begitu berpengaruh pada pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. Hal ini berbeda dengan kebijakan semasa Dinasti Umayah di Damaskus. Lanjut Philip, Nabi Muhammad SAW pernah mengecam para penyair, karena mereka muncul tidak hanya sebagai penyair, akan tetapi mereka menjadi corong penyembah berhala. Nabi mendiskreditkan musik, karena musik diasosiasikan dengan ritual ibadah kaum pagan.

Menurut sebuah hadits; akan terjadi bencana menimpa umatku, bumi ditenggelamkan, wajah mereka diubah bentuknya dan mereka dihujani bebatuan, seorang Iaki-laki bertanya, "kapan itu terjadi wahai, Rasulullah! Nabi menjawab, "bila bermunculan para biduan wanita dan alat musik serta arak diminum" (Jami`at-Tirmidhi 2212). Kebanyakan ahli hukum dan teolog menentang musik; beberapa diantaranya mengecam semua aspek musik, ada yang menganggap makruf, walaupun tidak menganggapnya haram. Setelah nabi Muhammad SAW wafat, muncul apresiasi masyarakat terhadap musik dalam islam, fenomena itu mengubah kecenderungan masyarakat Hijaz tentang music kearah norma-norma estetika, terutama dibawah khalifah Utsman bin Affan. Perkembangan musik pada masa Khalifah Utsman bin Affan ini ditandai dengan kemajuannya di beberapa sisi, di antaranya perpaduan suara yang merdu dengan ragam alat musik mulai diperhatikan dan dipelajari,  dan mulai dikenalnya permainan ritme (al-Iqa’) ke dalam melodi lagu, serta munculnya para mukhannatsun.

Perbedaan konsep tentang musik, bahkan dalam budaya yang samapun, membuat penilaian terhadap musik menjadi problem. Masalah mendasar adalah diberbagai kebudayaan bahkan istilah musik secara khususpun tidak ada, kalaupun yang kita lihat adalah bukanlah istilahnya melainkan fenomenanya (memang ada dimana-mana) cara orang mengatogorikan musik fenomena itupun bisa sangat berbeda beda, dalam islam sendiri itilah musik adalah Al Ghina artinya nyanyian, secara bahasa, nyanyian ada dua makna; yang pertama mengangkat dan mengurutkannya, dan yang kedua mengintonasikan serta menadakan suara. Adapun secara istilah syariat, artinya yaitu suara yang diikuti secara berurutan dengan nada, intonasi dan dendangan. Menurut pakar etnomusikologi Bruto Netl, bagi orang Iran membaca Al qur’an tidak bisa dikategorikan musik, musik bagi orang Iran adalah musik instrumental, dan ini mengandung konotasi dosa jadi tidak bisa dikaitkan dengan relegiusitas.  Menurut al-Farabi lafadz ‘Musik’ dengan  makna ‘al-Alhan’ (Jamak al-lahn), Salah satu dari sekian istilah bahasa Arab untuk lagu. yang artinya kumpulan beberapa suara yang menghasilkan lagu yang memiliki melodi/irama yang khas. Kata al-alhan terkadang digunakan al Farabi untuk mengartikan dari serangkaian suara yang berbeda-beda, lalu disusun dengan rangkaian  tertentu sehingga menghasilkan susunan irama. Menurut Alwi Jamalulel Ubab dalam artikelnya “Seni Musik Perspektif Al-Farabi”, itu dianggap sebagai suara alat musik.

Al Farabi menganggap musik dapat menciptakan ketenangan dan mampu mengendalikan emosi. Ia pun meneliti musik sebagai terapi penyakit psikologis. Al Farabi kemudian mencipatakan prinsip-prinsip filosofis tentang musik, baik kualitas kosmik dan pengaruhnya melalui Al Musiqa Al Kabir al Farabi meletakkan landasan penting bagi teori musik dunia hingga kini. Yuri Mahatma dalam artikelnya “Risalah Al Farabi; Jejak Musik Modern dan Tarekat” Al-Farabi-lah yang menemukan sistem pitch atau solfegio solmisasi do-re-mi-fa-so-la-ti (yang benar adalah” ti”, bukan “si” seperti yang sering kita ucapkan sampai sekarang). Solmisasi ini diambil oleh Ibnu Farabi dari istilah Bahasa Arab yaitu “Durror Mufashala(t)”, yang artinya Mutiara yang Terpisah.[1] Istilah Bahasa Arab ini “Du -ror -mu-fa-sha-la (t), dalam abjad Arab terdiri dari huruf Dal-Ro-Mim-Fa-Shad-lam-Ta menjadi do-re-mi-fa-so-la-ti dalam bahasa atau pengucapan latin. Sebuah system pitch atau solfegio sederhana yang selanjutnya menjadi pijakan perkembangan music dunia. Ada memang sebagian orang yang menganggap bahwa system ini ditemukan oleh Guido Arezzo (tahun 1000M) seorang biarawan katolik, yang menurut para ahli di barat, bunyi do-re-mi berasal dari hymne yang Ia ciptakan. Namun faktanya, dari segi tahun jelas Ibnu Farabi lebih dulu.

Dinamakan Mutiara yang terpisah mungkin karena saat dia menggambarkan notasinya berupa titik atau bulatan dalam garis -garis paranada (seperti dalam notasi balok), terlihat seperti untaian mutiara yang terpisah. Namun dibalik itu beliau juga sadar bahwa Mufassala(t) sendiri memiliki arti yang lebih luas. Salah satunya adalah terperinci atau detail. Dalam  Alqur’an ada bagian yang dinamakan Mufassala(t) yaitu surat-surat pendek yang terpisahkan dengan banyak kalimat basmallah.

Sebagai pakar dan sekaligus musisi yang juga filsuf dan ahli tassawuf, paham betul bahwa musik sebagai anugrah Allah memliki dampak yang luar biasa dan terperinci sehingga sulit dijelaskan dengan kata-kata. Ini umum terjadi juga di dunia tassawuf. Orang-orang yang tidak memahami dunia tashawuf, dan tidak mengalami sendiri kenikmatan atau “ekstase”saat diri merasa begitu dekat dengan sang “kekasih” akan merasa aneh jika melihat metode berbagai aliran Tarekat.

Al Farabi mengeksplorasi karya-karya Yunani dan kemudian menemukan kelemahan serius dalam teori-teori Yunani tentang musik yang sebelumnya telah diterjemahkan oleh tokoh-tokoh muslim, seperti al-Kindi dan al-Mausili. Ia mulai mengkritisi karya-karya ilmuwan terdahulunya, beliau juga memasukkan fakta bahwa kelemahan yang disajikan disebabkan oleh kualitas terjemahan yang buruk. Selain karya Yunani dalam musik, al-Farabi juga mengeksplorasi sumber-sumber Islam, khususnya Khalil ibn Ahmed, al-Kindi dan Isḥaq al-Maushili (wafat 235 H /850 M), seorang penyanyi terkenal, lutist, komposer dan teoretikus pada masanya seperti Al-Kindi menganggap musik sebagai sistem harmoni yang bertalian dengan keseimbangan lahiriah dan emosional serta dapat digunakan sebagai terapi keseimbangan hidup, karena musik yang ada di bumi mencerminkan musik yang terdapat di langit serta mengilustrasikan suatu jalan kepada ketinggian spiritual dalam menapaki dunia eksistensi yang lebih tinggi.

Al-Farabi berpendapat bahwa karya mereka mengandung kekurangan serius berkenaan dengan teori dan teknik music. Menurut Farabi, al-Kindi gagal melakukan pendekatan kritis terhadap teori musik Yunani dan menganalisis bagaimana istilah konsep dan paradigma aritmatika, geometri Euclidean( perhitungan jarak dari 2 buah titik), logika Aristotelian, arsitektur dan tekstil, teknik sipil dan mekanik, politik, tatabahasa Arab, fonologi, retorika, dan ilmu pengetahuan Alquran, serta pengaruh teori musik.

Al Farabi melihat manusia dengan fitrahnya adalah makhluk yang berkesenian sekaligus menciptakan musiknya. Kemampuan manusia untuk menciptakan musik merupakan fitrah, sebagaimana kemampuan alamiah manusia dalam mendengar, melihat, dan berjalan. Oleh karena itu, musik adalah bagian dari budaya manusia karena ia tumbuh dan berkembang bersamaan dengan proses perkembangan manusia. Oleh karena itu, Al Farabi dalam bukunya Kitab al-Musiqa al-Kabir, al-Farabi mengembangkan teori musik, dan selektif dengan hal-hal yang sehubungan dengan pendekatannya terhadap karya seni Yunani: beliau memilih karya-karya Yunani yang relevan dengan seni dan budaya Timur Tengah.

Sebagai seorang filsuf, dokter, psikolog, dan matematikawan serta ilmuwan Muslim yang hebat, Al-Farabi menganggap musik juga mampu mempengaruhi moral, mengendalikan emosi, mengembangkan spiritualitas, dan menyembuhkan penyakit seperti gangguan psikosomatik.  Terapi musik yang dikembangkan al-Farabi dijelaskan dalam risalah yang berjudul Meanings of Intellect. Amber Haque (2004) bertajuk Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists, Journal of Religion and Health Al Farabi telah membahas efek-efek musik terhadap jiwa, di antaranya; mengeksplorasi efek Adzan dan "memberi resep" maqam berikut setelah lima waktu shalat setiap hari dan dampaknya pada emosi manusia: Rehavi dan Hüseyni setelah sholat subuh; Rast setelah matahari terbit, Zengule di tengah sore, Neva setelah shalat malam, Buzurg setelah sholat larut malam, dan Zirefkand sebelum tidur.

Menurut al-Farabi, Rast memberi kebahagiaan dan ketenangan (sefa, nese, huzur), Rehavi - perasaan kekekalan (baka), Küçek - perasaan empati (hassasiyet, duyarlılık), Büzürk - perasaan takut dan ragu (khauf, çekinme, sakınma), Isfahan-gerak dan perasaan percaya (güven), Neva - perasaan, rasa dan kesegaran (lezze, ferahlık), Ussak - keinginan kegembiraan, tawa (gülme; 'dilhek'); Zaman - keinginan untuk tidur (uyku, 'nevm'), Saba - perasaan kuat dan berani (ecaat; cesaret; kuvvet), Buselik - kekuatannya, Huseyni - perasaan damai, relaksasi (sulh, sükunet, rahatlık), dan Hicaz - keinginan kerendahan hati (tevazu, alçak gönüllülük) (Terapi Reseptif Müzik, Türk Musikisini Arastırma ve Tanıtma Grubu).

Musik adalah pengalaman, didalamnya berpadu dan berkelindan unsur-unsur perasaan, imajinasi, gagasan, komunikasi, dan kerangka pikir budaya. Musik dialami sebagai apa yang sangat subjektif, disisi lain sebagai bentuk musikalnya sendiri dan disisi lain sebagai kondisi psikologis kita. Musik sebagai sebuah seni yang paling mistik dengan tampa bentuk yang bisa dilihat dan diraba telah menganggu kita bahkan berdebat tentangnya, dan disisi lain mampu menghentikan perdebatan dengan memberikan kenikmatan sambil menikmati secangkir kopi.***

 

Referensi Bacaan:
Untuk apa Seni?, Bambang Sugiharto, 2013
History Of The Arabs, Philip K Hitti, 2002

  

COMMENTS

Name

acara Artshop Biografi Event Galeri Global Karya Cerpen Karya Puisi Komunitas Literatur Seni News Opini Profil
false
ltr
item
Aceh Media Art: Musik Menurut Al-Farabi, Guru Kedua Setelah Aristoteles
Musik Menurut Al-Farabi, Guru Kedua Setelah Aristoteles
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKlQ5fl0IUnccre8wK7vIu2eX6EuZUfp86a--J0P4-EylMlTrEV16_cuysBqe-nVRLaElDO56o5eMVPx9jP7bYOxnssNW-KB3Ns-Rh3ukw4hEmCjDQM-DrjZDgMfQiB9fZnq78zfIXVGqd-YvqmkEo-52Y5w5ddfDTIkuXru6tNh7AkaQZiQgub2hQ/w640-h444/alfarabi%20dan%20musik.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKlQ5fl0IUnccre8wK7vIu2eX6EuZUfp86a--J0P4-EylMlTrEV16_cuysBqe-nVRLaElDO56o5eMVPx9jP7bYOxnssNW-KB3Ns-Rh3ukw4hEmCjDQM-DrjZDgMfQiB9fZnq78zfIXVGqd-YvqmkEo-52Y5w5ddfDTIkuXru6tNh7AkaQZiQgub2hQ/s72-w640-c-h444/alfarabi%20dan%20musik.jpg
Aceh Media Art
http://acehmediart.blogspot.com/2022/12/musik-menurut-al-farabi-guru-kedua.html
http://acehmediart.blogspot.com/
http://acehmediart.blogspot.com/
http://acehmediart.blogspot.com/2022/12/musik-menurut-al-farabi-guru-kedua.html
true
4096604943189198512
UTF-8
Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago