Courtesy of Kaninga Pictures, Nikkatsu @2018 Perseteruan antara Jepang dan Amerika Serikat semakin memanas. Pad...
![]() |
Courtesy of Kaninga Pictures, Nikkatsu @2018 |
Perseteruan
antara Jepang dan Amerika Serikat semakin memanas. Pada tahun 1937, Jepang
mulai menyerang Cina selama empat tahun. Saat itu, Amerika Serikat
mengultimatum Jepang agar meninggalkan Cina. Jika Jepang tidak mengindahkan
peringatan ini, Amerika Serikat mengancam akan menghentikan pasokan minyak bumi
ke Jepang. Delapan puluh persen minyak bumi Jepang berasal dari Amerika
Serikat. Bukannya peduli, Jepang malah mencari sumber lain untuk pasokan minyak
mereka. Minyak bumi adalah sumber daya alam utama untuk membangun kekuatan di
pasifik. Hasrat Jepang untuk berkuasa membuat mereka melakukan segala cara
untuk mencapai hal tersebut.
Salah
satu cara yang dilakukan Jepang adalah dengan menginvasi Hindia Belanda
(Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Papua) yang saat itu dikuasai oleh dua
kekuatan, Inggris dan Belanda. Setiap pendudukan Jepang ke Hindia Belanda
ditandai dengan pangkalan minyak. Jepang menduduki setiap blok migas yang sudah
dalam tahap eksplorasi milik Inggris dan Belanda. Setelah merasa memiliki kuasa
atas Asia, Jepang menyadari bahwa salah satu yang membahayakan posisinya adalah
tentara sekutu di Pasifik. Pada 8 Desember 1941, Jepang mengejutkan Amerika
dengan menyerang Pearl Harbour dengan ratusan pesawat tempur. Pangkalan militer
pasifik di Pearl Harbour adalah yang terkuat dan sangat disadari Jepang sebagai
kekuatan yang bisa membahayakan posisi mereka di Pasifik.
Di
Sumatera, Jepang menguasai pangkalan minyak di Palembang, Pangkalan Susu, dan
Pangkalan Brandan. Pasukan udara Inggris mulai menyerang pangkalan-pangkalan
minyak Jepang di Sumatera. Mereka menggunakan Pulau Simeulu dan Sabang untuk
mencapai Palembang dan pangkalan minyak lainnya.
The
Man from The Sea, akhirnya membawa saya kepada sejarah singkat Jepang
di Hindia Belanda. Tak banyak yang bisa diambil dari menonton film ini. Apalagi
kita semua dibingungkan oleh sosok Laut yang misterius. Koji Fukada
menghadirkan tokoh alegori ke dalam karakter Laut. Dia bermain dalam ranah
semi-surealis. Setelah menonton film ini
di Aceh Independent Cinema akhir Februari lalu, kami membicarakannya di
warung kopi dan menebak-nebak siapa sosok Laut sebenarnya. Apa yang dia bawakan
dalam perannya sebagai seorang lelaki yang berasal dari laut dan akhirnya
kembali ke lautan.
Kami
menawarkan beragam asumsi untuk tokoh Laut ini. Diantaranya ada yang berpendapat
ia adalah alegori dari Tsunami. Jepang dan Aceh (Indonesia) punya sejarah
kebencanaan yang sama, yaitu Tsunami. Koji Fukada bisa saja ingin penonton
merefleksikan diri terhadap sebuah peristiwa besar yang mengguncang kedua
negara ini. Memang ini bisa diterima secara logika. Apalagi kesan pertama yang
kita dapatkan ketika melihat poster film adalah Tsunami, gambar buih ombak yang
mencapai daratan.
Tetapi
saya punya interpretasi lain terhadap Laut. Asumsi saya semakin kuat ketika
film berakhir. Laut mengucapkan "it's time to go, good bye".
Pikiran saya langsung membayangkan Jepang yang kalah perang di pasifik dan
kembali menarik semua pasukan mereka dari Hindia Belanda. Tidak banyak kenangan
yang disisakan Jepang untuk menjadi alasan bagi kita mengingat mereka, selain
dari kurok-kurok (benteng Jepang) yang sialnya dipakai Koji
Fukada dalam bahasa metaforanya untuk mengisahkan bahwa ayah Sachiko (Junko
Abe) pernah berada di sana.
Hadir,
menciptakan segala dinamika dalam kehidupan sehari-hari sebuah keluarga,
kemudian pergi dan dilupakan. Memang Jepang tidak terlalu lama berada di Aceh,
berbeda dengan Belanda. Bagi generasi sekarang, Jepang dan Aceh (Indonesia)
hanya punya ikatan dalam hal kebencanaan. Maka tidak heran, hampir semua
interpretasi terhadap The Man From The Sea adalah Tsunami.
Koji Fukada
adalah salah satu sutradara yang mewakili gelombang modern sinema Jepang. Dia
bercerita melalui pola pikir global dan pengaruh sederhana sinema dunia. Sinema
fantasi Jepang identik dengan imajinasi yang tinggi dan susah untuk ditebak,
berbeda dengan sinema fantasi hollywood. Plot-plot film yang selalu kental
dengan tema keluarga, persahabatan, dan lingkungan. Cerita berjalan natural
tanpa ada konflik yang berarti. Tidak ada tokoh antagonis dan tidak ada pula
pertentangan batin para tokohnya. Jika ingin melihat lebih dalam bagaimana ciri
khas sinema fantasi Jepang, kalian bisa menonton karya-karya Hazao Miyazaki.
Diskusi
kami di warung kopi itu tidak selesai, kami masih ingin menonton sekali lagi The
Man From The Sea. Barangkali ada yang kami lewatkan dari film ini.
Tetapi, Laut sudah membawa saya kepada The British Pasific Fleet, ke
masa dimana Jepang harus angkat kaki dari Hindia Belanda.
*Oleh: Akbar Rafsanjani, Programmer Aceh Film Festival