(Oleh: Ikbal Rizki) Suatu pagi, saya hendak pergi membeli ikan ke Pasar tradisional Ujung Serangga Susoh. Lewat ke sana itu mes...
(Oleh: Ikbal Rizki)
Suatu pagi, saya hendak pergi
membeli ikan ke Pasar tradisional Ujung Serangga Susoh. Lewat ke sana itu mesti
melewati dua pekarangan pekuburan. Ada satu hal menarik perhatian saya: di
pagar-pagar kuburan itu terdapat beberapa lukisan. Satu lukisan wajah Chairil
Anwar beserta kutipan puisinya, dan satu lagi kalau saya tidak salah terka pada
waktu itu, adalah wajah Buya Hamka, ulama sekaligus sastrawan kharismatik yang
pernah dimiliki Indonesia.
Siapa yang tidak kenal dengan mereka itu? Chairil
dengan puisi-puisi tegasnya yang rancak, dan Buya Hamka dengan novel-novelnya
yang sudah diadaptasikan menjadi film. Kendati pun demikian, di tulisan ini tidak berencana membicarakan sosok mereka berdua itu, sebab tentang mereka
sudah banyak ditulis orang. Tetapi yang ingin saya tulis adalah hubungan antara
pagar kuburan dan cat berwarna yang tergores di luar dinding tepi jalan itu.
Sewaktu masih kuliah dulu, saya
pernah membaca novel Iwan Simatupang yang berjudul Ziarah. Itu novel
benar-benar lucu, pada halaman-halaman pertama cerita, dan membuat saya
menyerhitkan dahi, bingung di halaman-halaman terakhirnya novel. Singkatnya itu
adalah novel yang absurd dan ada bau-bau eksistensialisnya, tentu saja,
mengingat latar belakang penulisnya dekat dengan dunia filsafat.
Novel Ziarah bercerita
tentang seorang pelukis, seorang istri yang tak bernama, seorang opsteker
perkuburan. Diceritakan seorang pelukis yang berbakat yang sangat membenci
teori-teori tentang seni, membenci kritikus seni. Apabila ada datang orang yang
memuji karya lukisannya, entah itu dari orang biasa atau dari kritikus seni, ia
lari tunggang langgang. Sebenarnya ia senang dipuji, tetapi memilih pura-pura
tidak tahu saja.
Suatu hari ada seorang wanita dari luar negeri yang memuji dan
ingin membeli lukisannya, (kalau ingatan saya tidak berkhianat) si pelukis lari
dari studio lukisannya, sewaktu ia balik lagi, ternyata didapatinya ada satu
lukisannya yang sudah hilang dan si wanita meninggalkan uang yang cukup banyak.
Singkat cerita, jadi kayalah di pelukis. Sialnya, ketika ia banyak uang, ia
jadi buntu berkarya. Ia mulai mencari berbagai cara untuk menghabiskan uang
yang banyak itu. Ia mulai rajin bermain judi, entah itu judi olahraga, entah
judi sepele tentang menebak-nebak berapa isi yang ada dalam buah manggis.
Sialnya, ia selalu menang, uang kian bertambah, ia tambah frustasi dan saking
terkenalnya ia mulai menghindari orang banyak. Tinggal dihotel, supaya uangnya
cepat habis.
Menjadi manusia yang tinggal di hotel tambah bikin dia frustasi dan
memutuskan untuk bunuh diri. Melihat kebawah jendela tempat di mana orang
banyak berlalu lalang. Menatap ke aspal bawah sana. Tak disebutkan dilantai
berapa ia menginap di hotel itu, tetapi ketika ia memutuskan melompat keluar
dari jendela kamar hotel itu, sialnya lagi, ia tidak jadi mampus, malah
mendapat sesuatu lain. Ia jatuh menimpali seorang perempuan. Dan pada saat itu
juga diceritakan, kalau si pelukis dan di perempuan tak bernama itu diamankan
ke pihak berwajib dan dinikahkan pada saat itu juga. Absurd bukan? Haha.
Singkat cerita, si pelukis tambah
terkenal, kritikus seni selalu memuji-muji karyanya. Bahkan para tamu dari
luarnegeri akan datang untuk sekadar melihat dan berkunjung untuk melihat karya
si pelukis kita. Yang repot adalah wali kota. Karena si pelukis berada di
lingkungan yang tidak layak, akan malu dia nanti apabila dilihatnya bagaimana
keadaan pelukis kita. Hebohlah walikota membujuk si pelukis untuk tinggal di
rumah dinas, entah bagaimana ceritanya, akhirnya mau juga pelukis kita tinggal
di rumah dinas.
Si pelukis tambah terkenal, dan
punya kartu nama. Tetapi istrinya berubah, tidak mau lagi tidur seranjang
dengan si pelukis ketika ia punya kartu nama. Istrinya jadi rajin pergi ke
perpustakaan, bukan untuk membaca saja, tetapi untuk menulis sebuah novel.
Novel esai, katanya kepada suaminya. Si pelukis tambah bingung, ia tahu itu
hanya olok-olok saja (sindiran penulis terhadap dunia sastra, mungkin saja). Si
pelukis kita tambah berubah dan ia khawatir kalau istrinya nanti jadi kritikus
seperti orang lain.
Akhirnya si pelukis meninggalkan segala ketenarannya,
membakar kartu namanya, dan memilih menjauh dari hingar bingarr dunia, tinggal di
sebuah gubuk di tepi pantai. Setelah begitu, Istrinya jadi kembali sayang
kepadanya, mereka sangat senang tinggal di tepi pantai yang sunyi. Si pelukis
kita kembali mendapat ilham. Karya-karya lukisannya tambah bagus. Ada sesuatu yang beda dari lukisannya yang tidak didapati pada lukisan-lukisan
orang lain.
Kemudian banyaklah orang datang ke gubuk mereka itu. Mungkin ini juga yang
mengingatkan saya kenapa, terkadang seniman-seniman yang melarat dan menderita
hidupnya, bisa menghasilkan karya-karya yang bagus. Kita bisa lihat, novel-novel
Pram, puisi-puisi Wiji Tukul, Chairil yang suka hutang sana-sini itu
menghasilkan karya-karya yang luar biasa, dan Van Gogh dengan karya-karyanya
yang mendunia, tentu saja. Barangkali memang benar, seringkali penderitaan
mendatangkan kebijaksanaan.
Kembali kepada cerita si pelukis
dalam novel Iwan Simatupang.
Dan pada suatu hari, istri si
pelukis kita yang sangat dicintai itu jatuh sakit dan meninggal dunia. Si
pelukis sangat terpukul, ia memilih membakar gubuknya yang di tepi pantai itu,
dan membenamkan karya-karya lukisannya ke tengah laut. Si pelukis masih tidak
percaya kalau istrinya sudah meninggal, ketika istrinya dikubur, yang
digambarkan sangat lucu oleh penulis, di mana wali kota begitu lama menunggu si
pelukis datang, sehingga yang membawa peti kuburan istrinya itu—yang diangkat
oleh empat kritikus seni, sempat pula beristirahat di bawah pohon teduh, sambil
membuka jas mereka, dan jas mereka dijadikan bantal untuk bergoleh-golek di
bawah pohon itu, bahkan adapula para kritikus yang menanti kedatangan si pelukis
sambil bermain halma. Absurd.. absurd.
Kehidupan si pelukis jadi tidak
menentu. Sering ia menghabiskan waktu di kedai-kedai arak, berteriak
keras-keras memanggil nama istrinya, dan menanti istrinya di setiap tikungan
jalan. Orang-orang menganggap si pelukis adalah orang paling aneh di kota itu. Pada
suatu hari, opsteker pekuburan kota itu mencari orang untuk mencat atau
pengapur pagar tembok pekuburannya. Karena tahu kisah yang menggeparkan di kota
itu tentang si pelukis, si opsteker pekuburan itu mendekati si pelukis. Timbul
niat hati si opsteker untuk menyiksa si pelukis untuk menyuruh ia saja yang mengapur
di tembok pekuburan itu. Awalnya si pelukis menolak, ia tahu kalau si opsteker
hanya menyiksa dan memaksa dia untuk pergi berziarah ke kuburan istrinya.
Akhirnya timbul keakraban di antara mereka, dan si pelukis terima juga kerja
jadi pengapur tembok luar pekuburan itu.
Tetapi yang namanya seniman tentu saja ia ada syarat, ia meminta kerja hanya
lima jam saja sehari dan datang pada siang hari.
Singkat cerita, si pelukis mulai
mengapur di tembok pekuburan itu, si opteker mengintip dari balik lobang pintu
kantor dinasnya dari jauh. Ia ingin melihat bagaimana tersiksanya si pelukis
mengapur di luar tembok perkuburan tempat istrinya yang tidak pernah
dikunjunginya itu. Tetapi perkiraan si opsteker meleset, si pelukis tidak
menunjukkan keanehan apapun, bahkan kapurannya pada tembok-tembok itu cukup
bagus, seolah ada sesuatu yang beda dari cat kapurannya.
Membesitkan rasa kagum
orang-orang. Ia kembali berlagak normal. Bahkan ketika ia selesai pengapur
tembok pekuburan itu, mengambil upah kepada mandor, dan pulang sambil
bersiul-siul senang. Di kedai arak, si pelukis tidak lagi berteriak-teriak,
kini orang-orang mengganggap itu juga sebuah keanehan yang baru. Diceritakan
masyarakat di kota itu jadi linglung karena melihat keanehan si pelukis.
Gemparlah kota, bahkan walikota itu menyuruh si opsteker untuk memecat secepat
mungkin si pelukis. Tetapi si opsteker menolak, karena ia membiayai sendiri
uang untuk mengapur itu kepada pelukis, bukan pakai uang Negara.
Opsteker itu ternyata adalah
mahasiswa filsafat yang sebentar lagi akan jadi doktor filsafat, tetapi
menghentikan studinya hanya untuk menjadi opsteker pekuburan di kota si pelukis
itu. Ia juga cukup pintar, dan apabila si opsteker berbicara tentang filsafat
dengan si pelukis itu, si pelukis cepat-cepat mengelak, ia tidak suka berbicara
tentang Kant, Freud atau filsuf-filsuf lainnya itu.
Akhirnya walikota memecat
si opsteker. Si opsteker memilih bunuh diri, menggantungkan dirinya sendiri di
rumah dinas. Dan kehilangan satu orang teman akrabnya, si pelukis memutuskan
untuk melamar jadi opsteker pekuburan yang sedang lowong, supaya ia bisa selalu
menziarahi istrinya yang begitu dicintainya itu. Sangat puitis, bukan?
Bagaimana persis keadaan psikologis si pelukis, si istri tak bernama, si
opsteker kuburan di dalam novel itu, saya lupa sama sekali karena saya hanya
mengingat garis besarnya saja. Yang pasti, kehilangan seseorang yang sangat
kita dicintai bisa sangat berpengaruh untuk kehidupan kita selanjutnya.
Gairah
Seni Ada di mana Saja
Saya tidak tahu apakah
goresan-goresan wajah dan petikan puisi Chairil yang dilihat oleh orang-orang
yang lalu-lalang di jalan menuju Pasar Tradisional Ujung Serangga Susoh itu
memberikan kesan kepada mereka. Kalau bagi saya, itu sangat berkesan. Selain
karena menyukai sebuah fragmen karya seni, yang sulit sekali dijumpai di
kampung-kampung biasa, kehadiran karya di pagar kuburan itu, juga menjadi
pertanda bagi orang-orang yang melihatnya : bahwa kita hidup hanya sementara
saja.
Nama sapaannya Udin, begitu kawan-kawan memanggilnya. Saya tidak tahu
apa nama aslinya, di laman facebooknya pun ia menggunakan nama samaran Hassan
Sas, yang diambil dari nama pemain sepak bola legendaris Turki. Saya satu
kecamatan, tetapi beda desa dengan dia. Saya juga baru tahu belakangan kalau ia
punya gairah terhadap seni. Sebelumnya saya hanya mengenalnya sebagai pemain
sepak bola. Dan dulu, saya sering main bola di Desanya itu, Padang Baru. Dulu
sempat ketemu di RSUD Teungku Peukan, berbincang sejenak, saya tanya-tanya
sedikit tentang karyanya. Ia belajar
secara otodidak alias sendiri, tak ada satu pun yang mengajarinya. Tetapi
dengan cara yang aneh, dengan iklim kultural yang tidak mendukung, ia cukup sering dapat orderan membuat sketsa
wajah-wajah, seringnya orang berpasangan dan teman-teman dekatnya. Ia tentu
mendapat keuntungan dari situ, jumlah nominal honornya yang ia terima tidak disebutkan.
Kadang katanya, ada juga kawannya dari negeri jiran, yang memesan dibuat
sketsa. Wow. Saya tidak tahu dari mana datangnya gairah artistik seniman pagar
kuburan ini, tetapi saya yakin, dengan berbekal bahan seadanya, seniman ini
hadir di tengah-tengah masyarakat, menjadi seperti oase di gurun padang yang
tandus. Walaupun karya-karyanya tidak mengubah masyarakat pedesaan untuk
menghargai dan menyukai seni, ia sudah berusaha menampakkan kepada siapa saja
yang lewat di tepi pagar kuburan itu, untuk kita, kepada keadaan yang paling
fitri: yaitu kematian, yang bisa datang kapan saja, di mana saja.
Penulis tinggal di Blangpidie Aceh Barat Daya.
Penulis tinggal di Blangpidie Aceh Barat Daya.


