( Oleh Erma Wyn ) Aku bukan seorang indigo. Tapi Aku tahu apa yang tidak mereka tahu. Aku bisa merasakan apa yang tidak mereka...
( Oleh Erma Wyn )
Aku bukan seorang indigo. Tapi Aku tahu apa yang tidak mereka tahu. Aku
bisa merasakan apa yang tidak mereka rasakan. Setelah kecelakaan minggu lalu,
banyak hal aneh terjadi padaku. Sikap orang-orang yang selama ini tidak pernah
Aku sadari, kini Aku mengerti. Aku percaya bahwa manusia dilahirkan dengan dua
sifat yang selalu berdampingan melengkapi satu sama lain. Kadang mereka
bersikap baik, juga terkadang mereka justru bersikap sebaliknya. Kali ini Aku
sadar bahwa orang-orang baik tidak selamanya tulus, dan sebaliknya. Sikap baik
yang selama ini Aku lihat adalah hasil dari cerdiknya mereka menutupi segala
keburukan yang tidak seharusnya diketahui orang lain. Benar jika pepatah
mengatakan, "Don't Judge A Book By It's Cover."
Menarik langkah dari trotoar, aku memilih berjalan menyusuri gang kecil
yang dipadati para penjual pakaian. Pagi ini suasana terlihat lebih ramai dari
biasanya. Aku yang sendirian di rumah memilih untuk mengelilingi pasar dan
bertemu beberapa orang di sini. Minggu lalu saat hendak mengantarkan surat ke
salah satu rumah di tengah kota, motor yang ku kendarai hilang kendali dan
menabrak sebuah truk besar. Kecelakaan itu membuatku koma selama satu minggu.
Aku ingat sekali, hari itu aku berniat mengunjungi makam ibuku sesegera mungkin, setelah selesai
mengantar surat-surat yang tiba di kantor pos. Mengingat sudah
hampir setahun aku tidak mengunjungi makamnya, karena sibuk dengan pekerjaan.
Aku bahkan tidak mengerti mengapa aku begitu menggilai pekerjaanku sampai lupa
menyapa Ibuku di tempat peristirahatan terakhirnya.
Hal terakhir yang aku ingat hari itu adalah tubuhku terpental jauh,
membentur jalanan yang basah akibat semalaman diguyur hujan. Bahkan helm yang aku pikir dapat melindungi kepalaku justru terlepas, membiarkan kepalaku
menghantam kerasnya jalan. Pandanganku buram ketika rasa sakit yang luar biasa
menyerang seluruh tubuhku. Tidak mampu ku jabarkan bagaimana rasa sakit yang ku
alami, semuanya terlalu terjadi begitu cepat. Hujan kembali menampar tubuhku.
Tidak ada yang mampu ku ucapkan selain kalimat terbata-bata. Orang-orang
berdatangan melihat tubuhku sekarat, tergeletak tidak berdaya. Bernafas saja aku harus berusaha keras menahan sakit. Terlalu lama menunggu orang-orang
menolongku sampai aku dapat merasakan aliran darah merembes keluar dari tubuhku
yang kian melemah. Hingga akhirnya semua pandanganku menghitam dan aku hanya
dapat mendengar orang-orang bergumam tidak jelas terhadapku, namun mereka masih
tidak ingin membawaku pergi dari sana. Seolah aku adalah sebuah tontonan langka
yang tidak ingin mereka lewati begitu cepat. Terkadang orang-orang begitu lucu.
Satu minggu berlalu. Aku cukup yakin, kini aku sudah sembuh. Aku mampu
menggerakkan seluruh anggota tubuhku. Berjalan kemanapun yang aku ingin, tanpa
harus dibantu oleh siapapun. Hanya saja kadang ada sedikit sengatan listrik
yang menjalar menggerogoti saat aku menggerakkan kepalaku dengan berlebihan.
Benar saja, luka robek di kepalaku masih belum sembuh total dan harus dibalut
perban. Tapi dokter seolah tidak peduli dengan pilihanku yang ingin segera
keluar dari rumah sakit. Dokter bahkan hanya diam ketika aku meminta
persetujuannya. Aku tipe seorang lelaki yang keras kepala dan aku berharap dokter
mengerti akan hal itu. Jadi jika dokter diam ketika aku meminta izin darinya,
maka aku anggap itu sebagai jawaban "Iya," darinya.
Aku kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Pulang ke rumah yang hanya
ada aku dan Reina, adik perempuanku. Sejak ibu meninggal dua tahun lalu, ayah
memilih untuk bekerja di luar kota. Tidak banyak waktu yang dia luangkan untuk
dihabiskan bersamaku dan Reina. Keadaan memaksa kami hidup mandiri. Tapi
beberapa hari ini ada yang berbeda dari sikap Reina kepadaku. Setiap kali aku
berbicara, dia bahkan tidak lagi menatapku. Tidak juga dia menanggapi apapun
yang ku katakan. Aku berusaha memahaminya. Wajar jika gadis seumur Reina
mengalami hal-hal sulit dalam hidupnya. Sebagai kakak laki-lakinya, aku
berusaha untuk memahami. Reina hanya butuh waktu untuk sendiri. Aku tidak ingin
memperpanjang urusannya. Reina sibuk dengan telfon genggamnya, berbicara dengan
nada serius bersama seseorang di seberang sana. Sesekali ia terisak dalam
tangisnya. Tapi Reina bungkam ketika aku memintanya untuk menceritakan masalah
apa yang ia hadapi.
Di hari berikutnya, aku kembali ke tempat kerjaku. Mejaku sudah dipenuhi
banyak surat-surat yang belum sempat aku antar selama seminggu. Beruntungnya,
pak Ham tidak memotong gaji karena keterlambatanku. Aku berharap ia mengerti
dengan kondisiku saat ini. Ku rapikan surat-surat yang berserakan di atas meja, surat dari orang-orang yang tidak ingin terlena dengan kemajuan teknologi.
Menurutku terkadang ada masa dimana bertukar surat lebih menyenangkan ketimbang
harus berbalas pesan melalui media elektronik. Rendra menghampiri mejaku. Tanpa
seizinku ia langsung membuka laci meja dan meletakkan sebuah surat di dalamnya.
Menatapnya bingung, Aku bertanya, "Surat apa yang kau simpan,
Ren?"
Tanpa menjawab pertanyaanku Rendra bergegas pergi. Tidak biasanya dia mengabaikanku
seperti ini. Dia bahkan tidak bertanya bagaimana keadaanku. Apa dia tidak
khawatir dengan kondisi temannya setelah kecelakaan minggu lalu? Aku tidak
berharap belas kasih, tapi jika mereka mengkhawatirkan kondisiku itu akan
membuatku percaya bahwa mereka masih peduli pada kehadiranku. Kali ini aku
merasa setiap orang tidak lagi berharap kehadiranku. Bahkan Reina yang biasa
selalu menyapa ketika aku pulang kerja, dia hanya diam dan mengurung diri di
kamar. Tidak ada yang bisa di ajak bicara. Untuk pertama kalinya aku merasa
kesepian. Sangat kesepian.
Dua jam sudah ku habiskan waktu, duduk termenung tanpa melakukan apapun selain membersihkan rerumputan yang tumbuh di atas makam Ibu. Aku merasa kesepian. Anehnya tempat ini membuatku lebih tenang. Matahari bersembunyi di balik awan berkabut. Membuat hembusan angin sore ini terasa lebih sejuk. Aku merasa betah berada disini. Kepalaku mendongak saat seorang gadis duduk di sebelah, dia Reina. Tangannya mengusap nisan Ibu sambil matanya menatap nanar.
*****
Dua jam sudah ku habiskan waktu, duduk termenung tanpa melakukan apapun selain membersihkan rerumputan yang tumbuh di atas makam Ibu. Aku merasa kesepian. Anehnya tempat ini membuatku lebih tenang. Matahari bersembunyi di balik awan berkabut. Membuat hembusan angin sore ini terasa lebih sejuk. Aku merasa betah berada disini. Kepalaku mendongak saat seorang gadis duduk di sebelah, dia Reina. Tangannya mengusap nisan Ibu sambil matanya menatap nanar.
"Aku sudah kehilangan semua yang ku sayang, Ma." Air matanya
lolos begitu saja. Ia terisak, sedang aku dibuat kebingungan dengan ucapannya.
"Kau bicara apa, Rei? Kau hanya kehilangan Mama. Aku masih di sini,
menjagamu selalu." Kataku. Lagi dan lagi Reina tak menghiraukanku. Seolah Aku
tidak di sini bersamanya. Suara dering
ponsel membuat Reina berhenti menangis. Detik-detik pertama Reina hanya
bergumam tidak jelas pada seseorang di seberang sana. Tapi menit kemudian, Aku
tidak percaya akan apa yang Reina katakan.
"Aku pulang sebentar lagi setelah mengurus pemakaman bang
Abbas." Setelah itu Ia menutup telfonnya.
"Pemakaman untuk apa? Apa kau berharap Aku mati?" Bentakku
kesal. "Sudah berhari-hari kau menghiraukan kehadiranku dan sekarang kau
ingin mengurus pemakamanku?" Reina tidak peduli, Ia langsung pergi
meninggalkanku yang masih tidak terima dengan ucapannya tadi. Aku paham jika
dia khawatir dengan kondisiku setelah kecelakaan minggu lalu, dan aku juga tahu
jika luka di kepalaku masih belum sembuh total. Tapi Reina tidak bisa bertindak
sesukanya. Pemakaman? Apa dia tidak yakin Aku sudah sembuh? Ah... Bagaimana dia
bisa yakin, kehadiranku saja dia tidak peduli. Dia seperti bukan Reina, adik
perempuan yang ku kenal dulu.
Aku menyusul Reina ke rumah sakit. Aku butuh penjelasannya. Kebetulan ada
Rendra di sana. Mereka masuk ke dalam kamar rawatku waktu itu. Di dalam sana ada
beberapa dokter dan perawat yang menjagaku. Ku lihat Reina kembali menangis dan
Rendra berusaha menenangkannya. Pandanganku beralih menatap seseorang di atas
ranjang. Dokter mulai melepas satu per satu selang di tubuhnya. Oksigen yang
semula terpasang untuk membantunya bernafas, juga di lepas. Kemudian
perawat-perawat itu melepaskan perban yang membalut kepalanya. Reina berjalan
mendekat, mengusap wajah lelaki yang terbaring pucat di sana. Ia mengecup puncak
kepalanya untuk terakhir kali. Rendra ikut mengusap telapak tanganku yang
dingin. Ia berusaha tegar.
Sepersekian detik aku tidak percaya. Tapi akhirnya aku mengerti. Tidak
ada yang berubah dari sikap Reina selama ini. Dia tidak menghiraukanku. Bahkan
tidak sama sekali dia melupakanku. Justru Aku lah yang menjadi sebab ia
menangis selama berhari-hari. Keadaanku yang membuatnya sering mengurung diri
di kamar. Aku bahkan tidak mampu mengatakan apapun padanya. Aku tidak lagi bisa
menemaninya di masa-masa sulit. Kehidupanku tidak lagi sama. Semuanya akan
berbeda. Tubuhku terbaring di sana. Dokter menarik kain putih menutup sekujur
tubuhku yang tidak lagi bernyawa. Aku menyaksikan semuanya. Bagiku semua
berjalan begitu cepat. Tapi sekarang aku sadar. Setelah ini adalah perjalanan
hidupku yang sebenarnya.
Di atas nisan putih, hanya yang tertinggal untukku, Abbas Ataya Keano.
Di atas nisan putih, hanya yang tertinggal untukku, Abbas Ataya Keano.
******Sekian******
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Fisip Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. E-mail: ermawahyuni0@gmail.com.
