(Oleh: Tungang Iskandar) Teruntuk yang berkhianat surat ini kutulis. Awalnya ingin kupersilahkan kalian melanjutkan ekspedisi itu...
(Oleh: Tungang Iskandar)
Teruntuk yang berkhianat surat ini kutulis. Awalnya ingin kupersilahkan kalian melanjutkan ekspedisi itu untuk mengeruk keuntungan
pribadi dan kelompok. Terus saja kalian mengklaim bahwa diri kalian adalah seniman-seniman
paling hebat dan berjasa abad ini, yang telah mengusahakan berbagai panggung-panggung
sandiwara atau institusi-institusi seni untuk kami, para lempap ini. Setidaknya itulah yang perlu kalian lakukan, untuk menutupi ketidakmampuan kalian, dan agar kami tidak meludah dengan
mengatakan; kalian ekb*h yang dibawa tsunami.
Silahkan saja kalian berkhianat, dengan lidah mengumpat dan menjilat ke sana ke
mari, mungkin itu menjadi aliran sastra yang paling populer abad ini. Tapi
perlu kalian tahu, bahwa kita telah dan sedang menonton akrobat lidah kalian yang tidak
ubahnya seperti api di pantat babi, yang berkobar menjadi eksistensi yang
durhaka di atas panggung-panggung sandiwara yang disediakan para penguasa
melek money.
Suatu saat, mungkin kalian akan berbangga lagi, dengan
melahirkan peraturan-peraturan di atas punggung ini, agar kalian bisa
mengebiri nilai-nilainya. Masih sulit kami bayangkan, bahwa kalian akan merubah perilaku-perilaku busuk dengan peraturan-peraturan dan money, dan bukan
melalui perilaku indah itu sendiri.
Saya ingin katakan, bahwa perilaku-perilaku kalian selalu
menjadi bau busuk pada diskusi-diskusi di atas meja-meja kupi kami. Sungguh, politaik
yang kalian mainkan telah mengotori dan sekaligus menginspirasi kami untuk memasukkan kalian ke
dalam salah satu aliran seni; aliran seni taikisme.
Seni, yang pada dasarnya adalah suatu fungsi syaraf dan menuntut suatu ketulusan total tidak akan serta merta bisa menerima sebuah pengkhianatan,
karena logika seni selalu berakar pada nilai-nilai keindahan. Maka untuk kalian yang melakukan suatu perbuatan tidak menyenangkan di dekat seniman, tunggulah, kehancuran yang memalukan akan datang. Allahuakbar!
Pemberontakan para akademisi seni di ISBI Aceh menjadi contoh,
bahwa dunia seni di manapun tidak pernah menerima ketidakindahan atau
pengkhianatan. Setiap seniman pasti akan menciptakan peluang-peluang baru untuk
kelangsungan ekosistem seni dan hidupnya. Itu semua karena kepekaan seniman untuk menangkap suatu
kemungkinan terlalu kuat. Terlebih kemungkinan itu adalah kemungkinan yang datang dari perbuatan kotor bin bau.
Tentu berbeda halnya dengan manusia pada umumnya,
seniman bukan hanya bisa mengkritik, tapi juga bisa menciptakan solusi. Maka
saya pun yakin, para seniman manapun yang memberontak itu memiliki solusi terbaik
buat ISBI Aceh. Karena pada akhirnya, siapa yang sanggup membendung keberanian seniman pemberontak? Keberanian yang tentu saja tidak
hanya dalam bentuk fisikal, namun juga secara moral, sosial dan kreatif.
Keyakinan terhadap realitas yang lebih baik akan
menjadikan seorang seniman memiliki jiwa pemberontakan yang sangat tinggi. Hal
ini karena hampir tiap hari peluang-peluang itu semakin sesak di alam bawah
sadar mereka. Lalu untuk apalagi menyangsikan, terlebih para seniman
yang memiliki latar belakang pendidikan seni secara akademik.
Mungkin bagi kalian yang terbiasa memberontak tanpa mempertimbangkan
otak, moral, sosial, dan kreatifitas, masih amat sulit menerima seni sebagai
salah satu solusi dalam membangun kehidupan yang bahagia di masa depan. Ya, itu
karena kalian hanya percaya pada money, money, dan money. Selebihnya, ya,
mimpi, mimpi, dan mimpi. Ek pakok!
Akan tetapi, setiap masa pasti ada pemberontak dan pengkhianatnya.
Maka tunggulah saatnya, ketika pemberontakan itu berasal dari dunia seni, yang hadir melalui bentuk-bentuk yang bahagia dan lebih berwujud, daripada yang ada dalam tengkorak monster-monster penghisap tinja. Ya, seperti juga dalam tengkorak kalian, Lempip eh; sabu-sabu.
Maka, ada
baiknya saya ingatkan lagi di pagi ini, untuk tidak terlalu sibuk mencari makan, tapi lupa makan.
Untuk tidak sibuk mencari bahagia, tapi lupa mensyukuri. Untuk
tidak sibuk menyusun mimpi di langit malam, namun lupa untuk mempersiapkan pagi
yang indah bersama mentari. Untuk tidak sibuk berkhianat, karena pengkhianatan
itu sungguh tidak akan indah pada waktunya. Hanya menjadi Ek pam!, Met bobok, Lempap!
Penulis adalah Presiden Lempap, mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta, ureung mumang.
