(Oleh: Tungang Iskandar) Walau paling jago sekalipun, seniman tidak bisa memendam rasa. Walaupun sudah berusaha, tetap saja seni ...
(Oleh: Tungang Iskandar)
Penting untuk diketahui, bahwa semua bentuk pemberontakan selalu berasal dari seniman, karena semua tindakan kreatif selalu merupakan suatu bentuk pemberontakan, kata Albert Camus. Maka bisa dikatakan bahwa seniman adalah bapaknya para pemberontak, dan setiap pemberontak adalah merupakan ciri dari seniman itu sendiri. Ciri-ciri lain adalah, bahwa seniman sejati tidak mudah menyerah, karena kreativitas adalah ritual inti.
Membicarakan Aceh, tentu tidak lengkap rasanya tanpa menyinggung pemberontakan. Bukankah rakyat Aceh dikenal sebagai pemberontak paling ulung di negeri ini, Indonesia? Mereka adalah orang-orang nekat dan gila (Kitab Lempap menyebutnya; "nekat Aceh"), yang berani berdarah-darah dan tidak pernah kapok-kapoknya untuk mewujudkan mimpi indah, padahal indahpun selalu tidak. Mimpi indah itu adalah tentang berdirinya sebuah karya seni berupa negara berjaya nan artistik (saya gagal membayangkannya), lepas dari penjajahan manapun. Mungkin terkecuali penjajahan oleh seni itu sendiri.
Dewasa ini, setiap Aceh akan indah pada waktunya, selalu saja sekumpulan pengkhianat menyusup, untuk merubah karya seni itu menjadi air seni nan chueng. Mereka adalah sekumpulan seniman yang bisa dikatakan beraliran got. Mungkin bolehlah kita masukkan beberapa paham ini ke dalam satu aliran tersebut, misal; dadaisme, fulusisme, kaplatisme, vandalisme, pungoisme, lempapisme, atau lain sebagainya itu. Mereka semua adalah seperti halnya dajjal, yang keluar di akhir-akhir episode, untuk berusaha menggagalkan sebuah perwujudan dari karya seni itu. Mereka itu layaklah disebut pengkhianat (Mungkin besok pagi akan saya tulis satu tulisan lagi yang berjudul; "Teruntuk Seniman Pengkhianat").
Tentu pemberontak berbeda dengan pengkhianat. Seorang pemberontak pasti punya alasan kuat, yang keluar dari hati nurani dan jiwa seninya, sebelum memberontak. Tidak seperti pengkhianat, yang semata didorong oleh nafsu dan birahinya semata, lalu berkhianat. Maka bukankah sangat mudah kita bedakan antara mana yang pemberontak dan mana yang pengkhianat? Seorang pengkhianat biasanya tidak konsisten, munafik, bee meureukiek, meuek mata, meucabok, meubulee lidah, meutungkiek, meukude re, meuraphuek, dll.
Bukan jarang kita dengar kata pengkhianat itu keluar dari mulut pengkhianat itu sendiri, karena kata-kata tersebut terus bergerilya untuk melawan di dalam hati nurani para pengkhianat itu sendiri, sebagai bentuk protes keras. Untuk berusaha menyangkalnya, maka sebagian dari mereka menuduh orang lain. Jahannam!
Kendati demikian, tokoh pemberontak paling menonjol di Aceh tetaplah kita kenang dan kita agungkan sepanjang zaman, sedangkan bagi para pengkhianat selalu bisa kita tandai jidat mereka, untuk kita panjatkan caci maki sepanjang hidup dan matinya, sebagai sebuah apresiasi yang mengagumkan atas berbagai capaian nafsunya itu.
Bukankah Albert Camus juga pernah berkata, bahwa tidak ada tokoh yang sedemikian mengagumkan seperti tokoh yang mengikuti nafsunya hingga batas akhir. “Teruslah berkarya dengan nafsu, maka engkau akan terus kucaci” kata Lempap dalam kitabnya.
Singkatnya, seniman dan seni di Aceh selalu menjadi korban pengkhianatan, dari zaman Belanda nanam labu, sampai Jepang memberinya nama (Labu Jepang). Dari Indonesia nanam janji, sampai akhirnya GAM belajar nanam mimpi juga.
Tapi memang kita kekurangan seniman, terutama seniman setingkat Hasan Tiro, yang berani berkorban dengan segenap jiwa raganya hingga batas akhir, untuk menekankan kembali pentingnya pengetahuan, pengalaman, ide dan mimpi, demi terciptanya sebuah karya seni bercitarasa tinggi di masa depan (Baca: Nanggroe Aceh).
Kita butuh para pemberontak yang berani berbuat. Sekarang, sepertinya kita sudah salah paham dengan apa yang ditekankan endatu dan juga Hasan Tiro itu. Kita menganggap bahwa apa yang diajarkan itu sebagai tujuan, padahal itu hanya sebuah proses yang harus kita jalani, untuk bisa mencipta sebuah tatanan masyarakat estetis.
Kita butuh para pemberontak yang berani berbuat. Sekarang, sepertinya kita sudah salah paham dengan apa yang ditekankan endatu dan juga Hasan Tiro itu. Kita menganggap bahwa apa yang diajarkan itu sebagai tujuan, padahal itu hanya sebuah proses yang harus kita jalani, untuk bisa mencipta sebuah tatanan masyarakat estetis.
Namun, sepertinya sebagian dari kita itu memang telah sesat pikir. Maka daripada itu, sangat seringlah kita melihat para pemimpi(n)-pemimpi(n) dari kita itu hanya bisa menyampaikan mimpinya semata melalui panggung-panggung onani (Maaf, maksudnya orasi), tanpa menganggap perlunya sebuah realisasi berwujud itu sendiri. “Alahmak, dengan itu saja kita bisa muncrat berkali-kali” cibir Lempap dalam Kitabnya.
Terjebak dalam panggung ide atau mimpi itu memang seperti dalam sebuah konser tunggal di kamar mandi, Jhon. kita bisa melebur diri kita di situ. Tapi kita harus sadar juga, bahwa kita hanya menjadi pemain dan penikmat semu belaka. Tanpa pernah menjadi seniman produktif itu sendiri, seperti yang diinginkan para pemberontak sejati. Malah, kita hanya menjadi pengkhianat dan membunuh buah hati kita sendiri; Aceh lon sayang, boh labu hana tangke, kuweh lapeh dan kuweh sile, timphan asoe kaya.
Mulai sekarang, kita harus kembali; woe, woe! Pue lom taduek, sit ka talo.
Sebagai bangsa yang katanya paleng jroh (baca: paling seni) ateuh rueng donya, kita harus sadar diri. Tentu belum terlambat untuk melakukan konsolidasi. Kita buktikan bahwa kita adalah bangsa pemberontak paling sejati, dengan mewujudkan ide-ide dan mimpi-mimpi yang sangat kaya itu menjadi kenyataan-kenyataan yang monumental, fenomenal, kontemporer, spektakuler, boh leupieng, boh bieng, asamsunti, timphan balon, pisang sale, on keureusong, ek idong bee basi, ext.
Hanya dengan begitu kita bisa menggapai masa depan kita yang gilang gemilang; sebagai bangsa paling seni (baca: meusaneut) di atas muka bumi. Etnan ilee mukaddimah. Leubeh kureung lakee meuah, Salammalaikom!
Penulis adalah Presiden Lempap, mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta, ureung mumang.