(Oleh: Idrus Bin Harun)* Ia sesekali berapi-api lalu seperti biasa pembawaannya yang dingin dan tak ekspresif. Di warkop Duek Pa...
Ia sesekali berapi-api lalu seperti biasa pembawaannya yang dingin dan tak ekspresif. Di warkop Duek Pakat kawasan Ulee Kareng, kami semeja kopi malam itu. Saya dan Hafidh Polem (aktivis MaTA dan juga kepala RSJ KKB) akhirnya bertemu setelah beberapa lama membuat janji namun belum punya waktu tepat untuk bertemu. Malam itu berhasil menaklukkan waktu masing-masing untuk bersua.
Akmal mengenakan kaos Pakrikaru (pameran kritik karya rupa) namun tanpa topi baret ala seniman kebanyakan dan menjadi ciri khasnya. Terlihat masih punya cukup energi meskipun jam sudah mendekati tengah malam, Akmal berbicara tentang gerakan-gerakan kecil yang sedang dijalankannya bersama teman-teman; donasi hutan wakaf, seni yang kritis dan bermuatan sosial serta kemandirian masyarakat.
Saya mengenal beliau saat pameran PAKRIKARU 2 (pameran kritik karya rupa) beberapa waktu lalu di museum Aceh. Pameran ini menghadirkan beberapa perupa Senior Aceh. Di antaranya Razuardi Essex, Zul Ms, Nourman Hidayat dan Saprianto.
Dalam bincang santai di sela pameran saat itu, Akmal mengatakan bahwa apa yang ia ketengahkan dalam lukisan-lukisannya adalah energi kritik, terutama terhadap perlakuan kita pada alam yang sangat eksploitatif dan kalap.
Akmal merupakan pelukis yang sebagian karyanya berbicara tentang alam dan ulah manusia yang merusaknya. Ia mengatakan, kehadiran warna biru dengan sapuan tak beraturan adalah sikapnya dalam melontarkan kritik. Akmal kerap larut ketika melukis dan pada tahap membubuhkan warna biru, di situlah puncak ekstase artistik.
Di toko gudang kaosnya di Ulee Kareng, lukisannya yang berukuran besar menghiasi dinding di sela-sela kaos polos dan karyawan bekerja. Lukisan berjudul "sungai Mercury" paling menarik perhatian di antara sekian banyak lukisan. Lukisan ini adalah sebuah lanskap tandus tempat prosesi emas dipisahkan menggunakan mercury. Limbah tersebut dibuang begitu saja dalam sungai yang akibatnya tentu tak sebanding dengan hasil didapat para pekerja yang dimodali.
Akmal menangkap atmosfer tandus ini cukup mengesankan dengan menghadirkan sebuah drum bekas mercury tergeletak kosong. Saya yakin, pesan yang ditangkap penikmat lukisan ini tidak sekedar komposisi dan objek-objek lukisan. Jauh melampaui itu semua, lukisan ini menitipkan pesan pada kita bahwa aturan tentang ekplorasi sumber daya alam sedang sakit, di tengah para pemodal yang sehat-sehat dan didukung aparat yang kuat.
Akmal menangkap atmosfer tandus ini cukup mengesankan dengan menghadirkan sebuah drum bekas mercury tergeletak kosong. Saya yakin, pesan yang ditangkap penikmat lukisan ini tidak sekedar komposisi dan objek-objek lukisan. Jauh melampaui itu semua, lukisan ini menitipkan pesan pada kita bahwa aturan tentang ekplorasi sumber daya alam sedang sakit, di tengah para pemodal yang sehat-sehat dan didukung aparat yang kuat.
Menurut Akmal, lukisan sungai mercury sudah menjadi milik kolektor asal Jerman dan dipajang di museum yang mengoleksi apa pun terkait keberadaan hutan tropis Indonesia.
Akmal terus berada di jalan kesenian membahasakan kerusakan lingkungan, tata ruang kota yang buruk dan lanskap masa lalu. Saya melihat ia tidak terjebak dalam ungkapan visual yang klise, dan tidak membebani lukisannya dengan kritik terlalu dalam. Justru ia mendialogkan lukisannya dengan santai dalam warna-warna cerah. Ia selalu melihat harapan dalam kesuraman masa depan alam. Ini suatu kebijaksanaan dan kematangan seorang pelukis yang kenyang berhadapan dengan kenyataan.
*Idrus bin Harun adalah pelukis, beraktifitas di jamaah Komunitas Kanot Bu Banda Aceh.