(Oleh : Teuku Ilyas)* Aceh memiliki banyak sekali kesenian islami yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan peradaba...
(Oleh : Teuku Ilyas)*
Aceh
memiliki banyak sekali kesenian islami yang tumbuh dan berkembang sejalan
dengan perkembangan peradaban Islam. Di antaranya
adalah seni membaca Dala-il Khairat yang oleh masyarakat Aceh disebut dengan Dalaè Khairat atau MeuDalaè (berdala-il). Dalaè Khairat merupakan aktivitas membaca
shalawat yang biasanya dilakukan oleh masyarakat islam pada saat memperingati hari
besar Islam. Namun hal tersebut bebeda dengan di Aceh, hampir setiap malam di meunasah-meunasah dalam Gampong sering terdengar
orang MeuDalaè.
Pengarang
Kitab “Dalailul Khairat” seorang ulama sufi yang populer dikalangan komunitas
ahli Tasawuf, bernama lengkap Al-Qutub Al-Fadhil Abu Abdillah Muhammad bin
Abdirrahman bin Abi Bakr Sulaiman bin Daud bin Bisyr Al Juzuli As-Samlani
Al-Hasani. As Samlali Asy Syadzali Asy Syarif Al Hasani Lahir pada tahun 807 H
dan wafat tahun s.d 870 H. Dia termasuk keturunan ahlul bait dari jalur Fathimah
bintu Muhammad RA. Dia berasal dari kota Sus Al Marakasyiah. Kota ini terletak
di daerah pantai di ujung wilayah Magrib (Maroko/Negara yang berada dikawasan
Afrika Utara).
Al
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Sulaiman Al
Jazuli Rahimahullah, beliau adalah salah seorang sufi yang masyur didalam
perkembangan islam. Beliau memiliki nasabnya Jazulah, yaitu sebuah qabilah dari
daerah Barbar di Susil Aqsha. Beliau Belajar ilmu di kota Fez (Maroko), dan di
sanalah beliau mengarang Dalail Khairat.
Suatu
hari Syeikh Sulaiman Al Zazuli akan mengambil air wudhu untuk sholat ketika
beliau sedang berjalan disebuah padang pasir. Tetapi beliau tidak mendapatkan
alat buat mengambi air dalam sumur. Keadaan itu terus berlangsung sampai ia
melihat seorang anak perempuan kecil yang memandanginya dari tempat yang cukup
tinggi, lalu anak kecil itu bertanya kepada beliau: “Siapakah Anda?” Beliau
kemudian menjelaskan hal ihwal beliau, maka anak itu berkata: “Tuan ini ahli
membaca shalawat kepada Rasulullah SAW, dan Tuan ini termasuk orang yang
dihormati, mengapa Tuan bingung tidak mendapatkan air?” Kemudian ia pun meludah
ke dalam air sumur itu, seketika itu pula airnya naik dan akhirnya memudahkan
untuk berwudhu.
Setelah
merampungkan wudhunya Syaikh al Jazuli bertanya: “Dengan apa engkau memperoleh
karamah (kemuliaan) ini?” Jawabnya: “Karena saya memperbanyak membaca shalawat
kepada Nabi Muhammad SAW, yang mana jika seseorang berjalan di daratan yang
tiada makanan & air, bergantunglah binatang-binatang buas kepadanya”. Lalu
beliau bersumpah untuk mengarang sebuah kitab shalawat Nabi SAW, pelindungku,
yang melebihi ilmu Aqliyah dan Naqliyah. Jadilah kitab Dalail Khairat tersebut. Cerita di atas dikutip dari http://nurulmakrifat.blogspot.co.id.
Mengapa
“Dalaè Khairat” dianggap sebagai salah satu kesenian?
Unsur estetika yang terlihat jelas ketika kita menyimak
cara orang membaca atau melantunkan Dalaè Khairat telah mampu mengantarkan
persepsi kita bahwa Dalaè Khairat adalah sebuah bentuk kesenian. Disaat yang sama mereka juga
sangat memperhitungkan unsur harmonisasi pada irama-irama yang digunakan dan
selanjutnya mengkolaborasikan rentak irama lagu-lagu yang dibawakan dengan
gerakan-gerakan tubuh pembaca dengan kompak telah mempertegas bahwa Dalaè Khairat bisa disebut sebagai
sebuah kesenian yang lahir dari peradaban islam di Aceh.
Dalam
kajian seni islami, sah-sah saja ketika kita menganggap Dalaè Khairat sebagai satu bentuk pertunjukan seni. Karena memang
dalam setiap pertunjukannya tidak ada hal yang bertentangan dengan aqidah
Islam. Dimana dalam konsep seni islami dapat kita lihat bahwa kehadiran satu
bentuk karya seni tidak boleh bertentangan dengan aqidah secara Islam.
Dalam
setiap pertunjukannya Dalaè Khairat mengutamakan
adab dalam melakukan kesenian ini. Seperti mereka haruslah berwudhu dan suci
dari najis. Hal ini di karenakan mereka dalam pertunjukannya melantunkan
nama-nama Allah SWT dan menyampaikan shalawat nabi. Kefasihan seorang pembaca Dalaè Khairat menjadikan kesenian ini
amat sakral sehingga menjadikan kesenian ini merupakan sebuah kesenian yang
serius karena jika dibawakan dengan semena-mena dan salah dalam hal makhratz
maka akan berdosa.
Merujuk pada rukun atau struktur pertunjukannya, dibagian akhir Dalaè Khairat membawakan kisah-kisah islami yang disepakati dengan
istilah bagian Dzikir. Ini menunjukkan bahwa secara fungsi sosial Dalaè Khairat sangat kuat unsur fungsi
religi/syiar Islam.
Dari
beberapa hal diatas dapat disimpulkan bahwa Dalaè
Khairat bisa dikatakan sebagai satu bentuk kesenian Islami yang khas di
Aceh. Dan ini merupakan satu bentuk kesenian yang harus dijaga kelestariannya mengingat
Aceh menjadi salah satu kota dengan konsep wisata religi.
Tentunya perhatian pemerintah sangatlah diharapkan dalam hal ini. Mungkin
pemerintah harus mulai sering melakukan ajang-ajang atau event yang bisa melibatkan Dalaè Khairat. Seperti melakukan
kegiatan lomba antar kecamatan atau bahkan tingkat kabupaten yang dengan
demikian akan terlihat generasi penerus yang lahir untuk kesenian Dalaè Khairat ini. Semoga.
Penulis adalah
Mahasiswa Jurusan Seni Pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh.