(0leh Yandri Syafputra)* Masalah yang paling mendasar bagi seniman Indonesia yang bergelut di bidang musik, khususnya musik tradi...
(0leh Yandri Syafputra)*
Masalah yang paling mendasar bagi
seniman Indonesia yang bergelut di bidang musik, khususnya musik tradisional
adalah minimnya kelompok musik, tidak adanya manajemen serta manajer yang
mengatur dan mencarikan ruang tempat untuk pertunjukan. Hal ini mengakibatkan,
kreativitas dari para seniman ini tidak terpublikasikan. Banyak karya-karya
yang berpotensi, tidak bisa diapresiasi oleh masyarakat. Jumlah seniman atau
katakanlah komposer sangat banyak. Akan tetapi, jumlah komposer yang mempunyai
kelompok dengan personil yang tetap, proses latihan yang berkesinambungan,
serta mempunyai kekuatan secara hukum sangat sedikit.
Persoalan yang lain
adalah konsisten dalam berkarya. Konsisten berkarya, meskipun tidak ada job yang bisa mendatangkan uang.
Konsisten terhadap gaya musik dalam berkarya dan pencapaian estetika dalam
berkarya. Di Aceh, kita patut berbangga sudah ada kelompok musik etnis yang
bernama “Bur’am” (Budaya Rapai Aceh Meusuhu). Bur’am adalah salah satu kelompok
musik etnis yang konsisten berkarya di Aceh saat ini. Karya-karya dari kelompok
ini, patut menjadi salah satu barometer dan apresiasi bagi komposer muda yang
mendalami musik-musik yang ada di Aceh.
Pentingnya
Kelompok
Kelompok dalam berkesenian sangat
penting untuk mengembangkan daya imajinasi dan menjalin hubungan antara sesama.
Dengan adanya kelompok, seseorang bisa akrab satu sama lain. Bisa bertukar
pendapat dan berbagi pengalaman musik satu sama lain. Selain itu, bila dilihat
dari fenomena kesenian tradisional yang ada di Indonesia, sebagian besar bersifat komunal. Artinya, kesenian di
Indonesia tidak diklaim sebagai milik personal, namun milik masyarakat.
Misalkan: Rapa’I, Serunee, Rapa’I Daboh dan lain sebagainya
Maka, tak heran di
Indonesia banyak dijumpai kesenian-kesenian yang penciptanya akronim, NN (No Name). Hal ini bukan berarti, seniman
pencipta dahulu tidak mempunyai keinginan untuk memiliki ciptaannya. Bukan
juga, para senior dahulu tidak ingin menuliskan apa yang diciptakannya. Akan
tetapi, hampir semua kesenian tradisional di Indonesia mempunyai konsep
berkesenian tersendiri, yakni hidup untuk berkesenian, bukan berkesenian untuk
menghidupi diri sendiri, bukan pula memperkaya pundi-pundi kekayaan sendiri.
Pada dasarnya, seni yang bersifat komunalistik lebih dekat dan mudah dipahami
bagi masyarakat umum.
Membaca
Kreativitas Bur’am
Fundamental Tradisi yang kuat
adalah syarat terbaik menuju jalan baru musik (Suka Hardjana, 2002). Proses
kreativitas yang dilakukan oleh kelompok Bur’am patut menjadi catatan penting
di Aceh. Berawal dari pengalaman dan kemampuan tradisi yang kuat, kelompok ini
bisa menjadi salah satu acuan bagi calon komposer di Aceh saat ini.
Kelompok ini mempunyai jadwal latihan yang tetap, fokus karya yang jelas dan mempunyai gaya musik tersendiri. Hal lain yang menjadi kelebihan dari kelompok ini, yakni tetap berpijak terhadap musik-musik yang ada di Aceh. Musik yang enerjik dan mengandung pengajaran agama Islam melalui untaian lirik-lirik yang dinyanyikan. Bila dilihat dari karya-karya yang lahir dari kelompok ini, bisa ditarik konklusi sementara, bahwa gaya pendekatan yang dipilih adalah pendekatan Re-interpretasi Tradisi.
Kelompok ini mempunyai jadwal latihan yang tetap, fokus karya yang jelas dan mempunyai gaya musik tersendiri. Hal lain yang menjadi kelebihan dari kelompok ini, yakni tetap berpijak terhadap musik-musik yang ada di Aceh. Musik yang enerjik dan mengandung pengajaran agama Islam melalui untaian lirik-lirik yang dinyanyikan. Bila dilihat dari karya-karya yang lahir dari kelompok ini, bisa ditarik konklusi sementara, bahwa gaya pendekatan yang dipilih adalah pendekatan Re-interpretasi Tradisi.
Secara
sederhana, pendekatan karya Re-interpretasi Tradisi merupakan penggarapan
sebuah karya musik yang bersumber dari
musik tradisi. Sumber inspirasi penciptaannya bisa dari teks nyanyian, karakter musik, roh tradisi, dan lain sebagainya. Komposer sah-sah
saja mengolah materi tradisi sebagai sumber penciptaan ke dalam berbagai bentuk
dan gaya sesuai dengan aliran musik yang dikehendaki.
Selain itu, komposer dapat juga mengubah, menambah, mengurangi atau mengkolaborasikan sumber tradisi tersebut ke dalam berbagai bentuk warna bunyi yang baru, menghadirkan alat musik di luar materi tradisi itu sendiri. Dalam artian, pendekatan ini memberikan ruang sebebas-bebasnya untuk komposer melakukan kreativitas, eksplorasi meskipun berpijak pada musik tradisi yang ada. Namun demikian, bebas dalam pengertian disini bukan bebas tidak bertanggung jawab dan asalan. Bebas dalam artian merujuk ke proses kreativitas. Bebas dalam wilayah paradoks, bebas yang terikat.‘Tidak ada kebebasan tanpa etika, pengetahuan dan keterampilan’.
Selain itu, komposer dapat juga mengubah, menambah, mengurangi atau mengkolaborasikan sumber tradisi tersebut ke dalam berbagai bentuk warna bunyi yang baru, menghadirkan alat musik di luar materi tradisi itu sendiri. Dalam artian, pendekatan ini memberikan ruang sebebas-bebasnya untuk komposer melakukan kreativitas, eksplorasi meskipun berpijak pada musik tradisi yang ada. Namun demikian, bebas dalam pengertian disini bukan bebas tidak bertanggung jawab dan asalan. Bebas dalam artian merujuk ke proses kreativitas. Bebas dalam wilayah paradoks, bebas yang terikat.‘Tidak ada kebebasan tanpa etika, pengetahuan dan keterampilan’.
Dari
karya yang dihasilkan oleh kelompok Bur’am, tentu kelompok ini sudah memahami
‘batasan’ yang ada dalam musik tradisi. Dengan
ditunjang fundamental kemampuan musik tradisi yang mapan tersebut, pemilihan
pendekatan karya Re-interpretasi Tradisi untuk menuangkan ide ke dalam
komposisi musik mempunyai landasan yang kuat.
Kelenturan
Musik Tradisi
Pada dasarnya, kebudayaan bersifat
dinamis. Ia selalu bergerak mengikuti perkembangan zaman. Begitu juga dengan
musik sebagai salah satu unsur kebudayaan, sudah pasti memiliki sifat yang
lentur. Musik tradisi bukan harga mati yang tidak boleh ditawar. Musik tradisi
mempunyai kekayaaan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa digarap dan
dikembangkan.
Kelenturan yang terdapat dalam musik tradisi tersebut, dilihat oleh kelompok Bur’am sebagai peluang untuk mengembangkan musik tradisi yang ada di Aceh baik secara konsep musikal, melodi, ritme, struktur dan sebagainya. Namun, bukan berarti musik tradisi yang telah ada tidak mempunyai kualitas, tidak bagus, kaku dan sederhana. Seberapapun hasil karya musik tradisi, ia mempunyai nilai tersendiri. Begitu juga dengan karya musik baru yang berpijak pada musik tradisi. Kedua-duanya memiliki ruang lingkup masing-masing.
Kelenturan yang terdapat dalam musik tradisi tersebut, dilihat oleh kelompok Bur’am sebagai peluang untuk mengembangkan musik tradisi yang ada di Aceh baik secara konsep musikal, melodi, ritme, struktur dan sebagainya. Namun, bukan berarti musik tradisi yang telah ada tidak mempunyai kualitas, tidak bagus, kaku dan sederhana. Seberapapun hasil karya musik tradisi, ia mempunyai nilai tersendiri. Begitu juga dengan karya musik baru yang berpijak pada musik tradisi. Kedua-duanya memiliki ruang lingkup masing-masing.
Lebih jauh dapat
ditegaskan, bahwa proses kreativitas yang dilakukan oleh kelompok Bur’am untuk
menciptakan karya musik baru, tidak serta-merta memarjinalkan musik tradisi
Aceh yang ada sebagai musik yang ketinggalan zaman. Justru
sebaliknya, dengan munculnya karya-karya baru dari kelompok Bur’am semakin menguatkan
musik Aceh itu sendiri, sehingga bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat,
bahwa musik yang ada di Aceh sangat berpotensi bila digarap dan digali secara
komprehensif.
Estafet
Budaya
Gebrakan yang dilakukan oleh
kelompok Bur’am hendaknya bisa menjadi inspirasi bagi komposer muda di Aceh
lainnya. Kita berharap ada generasi penerus yang mengikuti jejak kelompok
Bur’am dengan membuat kelompok-kelompok musik untuk mengembangkan musik-musik
yang ada di Aceh secara holistik. Dengan demikian, karya-karya musik yang lahir memang mewakili lokal genius kebudayaan
Aceh. Karya-karya yang diciptakan hendaknya dekat dengan masyarakat dan
diterima oleh masyarakat umum. Sudah saatnya seniman atau komposer menghasilkan
karya yang tidak melulu eksklusif dan membuat penonton mengerutkan kening
ketika mendengarkan musik yang diciptakannya. Sudah saatnya seniman menyadari,
bahwa apresiasi masyarakat Indonesia terhadap seni terbatas.
Langkah yang bisa
ditempuh untuk membuka wawasan dan apresiasi bagi masyarakat awam tersebut,
komposer bisa mensiasatinya dengan menggunakan konsepsi dasar musik yang ada di Aceh menjadi
ide dalam membuat suatu gubahan musik. Niscaya,
lambat-laun musik-musik yang ada di Aceh
bisa menjadi salah satu tolak ukur bagi perkembangan musik kontemporer di
Indonesia. Sehingga kita sadar, bahwa musik kontemporer di Indonesia, khususnya
Aceh tidak bisa lahir, jika bertolak dari teori-teori atau kaidah musik Barat.
*Penulis
adalah Dosen di Jurusan Seni Pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI)
Aceh, Kritikus dan Komposer
