(Oleh : Fadhli Espece )* Sangat banyak alasan untuk menjawab mengapa hingga kini Aceh belum juga merdeka. Merdeka merupakan seb...
(Oleh : Fadhli Espece)*
Sangat banyak alasan untuk menjawab mengapa
hingga kini Aceh belum juga merdeka. Merdeka merupakan sebuah kata yang sangat sensitif bagi telinga
rakyat Aceh. Aceh pernah tergila-gila dengan imajinasi negara merdeka, harapan yang hingga kini belum kesampaian. Setelah Suharto lengser
dari singgasana kekuasaannya semangat akan kemerdekaan kian meledak-ledak dalam
benak rakyat Aceh. Tapi tetap saja hasrat besar tersebut menjadi isapan jempol
belaka. Mengapa Aceh belum juga merdeka?
Syarat pertama bagi tercapainya kemerdekaan
suatu bangsa adalah keinginan untuk merdeka. Mustahil suatu bangsa akan
mencapai kemerdekaan tanpa keinginan untuk melepaskan diri dari genggaman dan jajahan kolonial asing. Setiap bangsa yang ingin merdeka di muka bumi ini harus
memperjuangkan sendiri kebebasannya dengan segenap kemampuan yang dimiliki,
dari harta, tenaga hingga nyawa. There is no free lunch in the world.
Lantas apakah kegagalan Aceh untuk merdeka karena tidak ada keinginan untuk
merdeka? Tunggu dulu!
Gelombang besar Gerakan Aceh Merdeka bisa
dikatakan saat euforia reformasi menggelora. Bukan tanpa alasan, bergabungnya banyak
pemuda lebih karena faktor perlawanan terhadap sikap
militer yang merajalela pada saat itu, tidak sedikit bukan karena faktor ideologis. Saat berlakunya Daerah Operasi Militer (DOM) periode
1989-1998, militer Indonesia telah
berlaku semena-mena terhadap rakyat seperti
binatang tanpa rasa perikemanusiaan. Hal ini membuat mereka tak punya pilihan
lain selain ikut naik gunung bergabung menjadi kombatan.
Kelemahan yang paling mendasar dari gerakan ini adalah kegagalan dalam menanam dan menumbuhkan ideologi Aceh
Merdeka atau yang lebih dikenal dengan Nasionalisme Aceh kepada para kader, baik militer maupun yang
sipil. Keberadaan kader ideologis sangat penting bagi sebuah gerakan. Jauh
sebelum mendeklarasikan ulang kemerdekaan Aceh, Hasan Tiro telah menyusun
kerangka ideologi sebagai garis perjuangan. Konsep jak peubleut mata aneuk
nanggroe telah lama dipikirkan oleh Hasan Tiro. Tetapi dalam perjalanannya
perjuangan mereka lebih kepada perlawanan terhadap tindak kekerasan dari
TNI/POLRI yang dibungkus dengan isu kemerdekaan.
Tidak sedikit dari mereka yang memperjuangkan
kemerdekaan belum memahami betul bagaimana konsep dan gagasan nasionalisme
Aceh. Sehingga apa yang kita lihat setelah itu, risalah kemerdekaan yang
digagas oleh Hasan Tiro dapat lenyap begitu saja. Putusnya rantai transmisi ideologi ini adalah pukulan telak yang harus menjadi pelajaran besar bagi kader-kader ideologis yang masih memperjuangkan kemerdekaan bagi
Aceh.
Hasan Tiro membangun kerangka ideologi dengan
memperkenalkan kembali identitas Aceh yang mulai memudar, identitas Aceh
sebagai sebuah bangsa berperan penting untuk mengangkat jati diri Aceh agar
mengetahui siapa Aceh sebenarnya.
Maka dari itu status Aceh yang dideklarasikan ulang oleh hasan Tiro adalah successor
state atau negara sambungan dari kerajaan Aceh yang megah di masa silam,
bukan negara baru atas persamaan senasib dan sepenanggungan.
Romantisme sejarah yang digaungkan oleh Hasan
Tiro harus diakui cukup berhasil dalam mengangkat rasa superioritas bangsa Aceh
di hadapan bangsa lain. Dua aspek inilah yang sangat fundamental menjadi
konstruksi ideologi Aceh Merdeka.
Ketika masih bergerilya aspek tersebut menjadi
doktrin utama perjuangan. Selain juga mengajarkan ilmu politik kepada kader
awal. Melampaui kader, identitas dan rasa superioritas ini juga ditransfer
kepada masyarakat sipil melalui selebaran-selebaran yang disebarkan ke
kampung-kampung terdekat.
Namun ketika membludaknya para pemuda yang
bergabung, para elite senior GAM tampak kewalahan dalam meneruskan kembali
risalah kemerdekaan yang pernah didoktrin oleh Hasan Tiro—mungkin gencarnya
tindak kekerasan dan sikap represif oleh militer Indonesia yang menjadi alasan
utama terhambatnya proses tansmisi ini.
Baik militer maupun sipil lebih fokus pada upaya menyelamatkan jiwa dan raga
dari serbuan peluru dan amunisi militer Indonesia.
Dengan tersendatnya proses transmisi ideologi ini mengakibatkan
penyebarannya tidak merata. Oleh karena itu konsekuensinya adalah risalah
pembebasan ini tidak sampai kepada masyarakat luas sebagai sebuah kesadaran dan
sistem pengetahuan. Kesadaran ideologi merupakan landasan pokok untuk
mengeluarkan masyarakat dari zona nyaman. Kurang maksimalnya dukungan dan
keterlibatan dari masyarakat kelas mapan (dominannya daerah perkotaan) karena
keengganannya keluar dari zona nyaman, seakan tidak mau tahu-menahu mengenai
hal ini. Kita tahu bahwa selain perang fisik dan tentunya diplomasi, hal yang
paling penting untuk mencapai kemerdekaan adalah dukungan dari rakyat.
Setelah penandatanganan MoU Helsinki rakyat Aceh selalu saja
dicekoki dengan peralihan pola perlawanan, dari perlawanan senjata menjadi
perlawanan kotak suara (baca : politik), katanya. Kata damai dan perdamaian
menjadi sangat seksi diperbincangkan, semua mengaku memperjuangkannya. Dulu
semua sepakat memperjuangkan kemerdekaan nasional Aceh. Demi Aceh semua rela
dipertaruhkan. Tetapi apa yang terjadi pasca damai atau perlawanan melalui
jalur politik? Apakah kemerdekaan Aceh masih diperjuangkan? Jika benar,
bagaimana sebenarnya mekanisme pemerintah dalam berupaya menuntut kemerdekaan
dalam kondisi internalnya yang tidak akur ini? Jika tidak, apakah tepat kondisi
seperti sekarang ini disebut dengan masa damai atau perdamaian? Atau jangan-jangan
perjuangan kemerdekaan telah keok dipecundangi Indonesia yang kemudian
bersembunyi dengan kedok perdamaian dibalik nota kesepahaman MoU Helsinki. Tetapi
masih ada satu kemungkinan lagi, ya, Aceh sudah merdeka, merdeka dalam bingkai
NKRI. Aihhh!
*Fadhli Espece adalah peminat kajian sosial-politik dan filsafat,
penikmat sastra, seni dan budaya, aktivis di Gerakan Surah Buku (GSB).