(Oleh Muhrain)* Teater Nol Unsyiah kembali mentas di Taman Seni dan Budaya Aceh, Jumat malam, 19 Mei 2017 dengan mengusung tema per...
(Oleh Muhrain)*
Teater
Nol Unsyiah kembali mentas di Taman Seni dan Budaya Aceh, Jumat malam, 19 Mei
2017 dengan mengusung tema perempuan sebagai tanda sebuah anasir kehidupan
dalam judul naskah "Cut Po Marissa" adaptasi
"Nyonya-Nyonya" oleh Wisran Hadi.
Ketika ditanya apa dan bagaimana kesan yang diperoleh dari suatu
tontonan seni khususnya teater, penonton umumnya akan menyatakan dalam bahasa
klise seperti: asyik, bagus, menarik dan jawaban lain yang serupa. Tetapi jika
ditanyakan menurut penonton, sudahkah mendapatkan "sesuatu" dari
tontonan? Inilah jawaban yang mengarah kepada "nilai seni".
Pementasan dimulai dari sudut kiri penonton berupa pekarangan
rumah, lighting yang cukup redup menghias akting pembuka dari Cut Po Marissa
selaku aktor utama serta sang lelaki tetangga yang sungguh sejak awal memulai
kisahnya sudah tampak gelagat aroma penggoda. Sikap memandang materi sebagai
Patron nilai tampak hadir menjadi penghubung keseluruhan cerita.
Masih diintriki oleh adegan seputar materialisme, jelang ke
konflik, alur cerita turut dihiasi celotehan-celotehan lincah dan memukau atas
kesanggupan para aktor menderai decak tawa penonton lewat getsture, mimik
maupun movement yang menggelikan. Bumbu pengulangan diksi turut juga menambah
'sedap'-nya permainan.
Meski sempat diwarnai desing chouse soundsystem, aktor tetap
terlihat konsen dalam berlakon, hanya saja beberapa penonton sempat terkejut
dan mengira itu efek suara belaka. Pentas pada bagian pertengahan alur tampak
didesain secara matang oleh Miswar selaku penata artistik. Kematangan garapan
Teater Nol Unsyiah kali ini secara keseluruhan terdapat pada setting panggung
dan penguasaan akting para aktornya. Adaptasi naskah "Nyonya-Nyonya"
oleh Wisran Hadi kentara sekali dari sisi dialek aktor, selain juga Beni Arona
selaku sutradara memberikan polesan dari sisi sentilan-sentilun disisipkan
dalam dialog adegan.
Kembali menyinggung tema perempuan dalam arti luas, penonton
mendapatkan satu pencerahan yang sesungguhnya didapatkan dari upaya mengkaji
simbol-simbol, tanda maupun petanda suatu ungkapan. Ditampilkannya keliaran
imajinasi atas fungsi akting bagi aktor untuk penonton tidak lain agar ungkapan
yang kasat mata dicoba perhalus kemudian dalam sebuah garapan bernama
teater.
Sehingga dari sinilah "sesuatu" yang dimaksudkan tulisan
ini di awal dapat terjawab, bahwa "perempuan adalah wajib menjaga
pusakanya, yakni harga dirinya", atau bahwa "setiap perempuan yang
teramat takut pusaka dirinya tercoreng sepatutnyalah didukung, dilindung"
dan terjemahan makna ain sebagainya yang oleh seniman teater menyebutnya dengan
kebebasan adalah apresiasi paling tinggi dari kata menikmati.
Setiap satu catatan perilaku manusia yang ditokohi para aktor di
panggung "Cut Po Marissa" malam tadi telah lunas menghadirkan
pergerakan teater Aceh denyutnya kian makin terus ada. Adalah wajar ketika
pendapat berkesenian dari seorang kritikus justru lebih memakai panggung kata
sebagai tim dan atribut titel, sedangkan bagi para tim produksi teater sekelas
Teater Nol Unsyiah yang bermotokan "Dari Tiada Menjadi Ada": PANGGUNG
ADALAH PEMBUKTIAN bahwa perempuan harus dibela dengan seni.
*Penulis adalah alumni PPs MPBSI Unsyiah 2016.