Cerpen, karya Teuku Afifuddin Cuco terus berlari melintasi kebun pisang dan menerabas ladang tebu. Ketakutannya membuat sayatan dau...
Cerpen, karya Teuku Afifuddin
Cuco terus berlari melintasi kebun pisang dan menerabas
ladang tebu. Ketakutannya membuat sayatan daun tebu tak berarti. Ia pacu
secepatnya hingga sampai ke tepi sungai yang telah lama tidak mengalir.
Matahari di atas kepala saat Cuco terhenti di pinggir sungai yang telah lama tidak mengalir itu. Sungai
ini tempat Cuco dan si Nyak melepas gerah sepulang sekolah. Hari ini
Cuco tidak menemani si Nyak di sekolah, dipersimpangan antara jalan masa depan
menuju sekolah dan jalan ghairah ke balai mulia
negeri Wa Geu Pap Cuco memisahkan diri. Cuco mengarah ke jalan
Ghairah. Sedangkan si Nyak melanjutkan perjalanan melewati jalan
masa depan menuju sekolah.
Dengan napas yang bisa dihitung satu dua. Cuco
mencoba menenangkan hati yang sedang tidak damai. Ia memandang ke arah sungai
keruh dan perlahan mendaratkan bokongnya di batang kelapa yang rebah karena di
hantam petir beberapa waktu yang lalu. Matanya memandang tajam ke arah air
keruh itu. Cuco masih saja teringat hasil keputusan sidang mulia
Majelis Tinggi Negeri wa geu pap tadi pagi. Sambil menatap air keruh Cuco mengadukan kekhawatirannya
pada tuhan.
“Tuhan, sepertinya negeri ini semakin ngeri. Aku secara tak berdosa
menguping orang-orang tua itu bersidang. Dalam sidang itu, Yang Mulia Unjuik
sang ketua majelis sidang memutuskan Lem Pap sebagai Pembesar Negeri Wa Geu Pap
tercinta ini, Tuhan. Menurut Yang Mulia Unjuik, keputusan pengangkatan Lem Pap
sebagai Pembesar berdasarkan surat
wasiat yang dibawa Lem Plok dari negeri Mas Broe. Aku tak mengerti apa hubungan
surat wasiat dari negeri Mas Broe dengan keberlangsungan Negeri Wa Geu Pap
tercinta ini. Tuhan kan tahu, itu Lem Pap telah berani mempermainkan Tuhan.
Pernah waktu aku mau ke sekolah, di warung Apa Seuman, Lem Pap
berkhotbah bahwa Tuhan adalah pemilik
segalanya, pemilik baik dan buruk. Jadi siapapun yang berbuat baik dan buruk
adalah milik Tuhan katanya. Sampai hutangnya pun milik mu tuhan. Begitulah Lem Pap berkhotbah. Itu tidak
sengaja aku dengar sambil berlalu ke sekolah, semoga
perbuatanku tersebut tidak masuk kategori dosa ya tuhan”. Paparnya. Cuco
berhenti sejenak dan membenarkan tempo napasnya. Entah berapa kilometer telah
di lewati dengan berlari.
“Tuhan, aku takut nanti dia jual Negeri Wa Geu Pap
tercinta ini kepada Mas Broe dengan alasan atas izin Tuhan. Seperti dikatakan
saat pidatonya usai pengangkatan menjadi
pembesar tadi pagi”. Kemudian Cuco berdiri dan menirukan
gaya Lem Pap saat berpidato tadi pagi yang sempat terekam dikepalanya.
“Saudara-saudara yang mulia sekalian, saya sangat
berterima kasih kepada tuhan atas kehormatan yang
diberikan kepada saya hari ini. Saya juga berterima kasih
kepada ketua Majelis Tinggi Negeri Wa Geu Pap Yang Mulia Unjuik atas
keputusannya menunjuk saya sebagai Pembesar Negeri Wa Geu Pap yang sama-sama
kita cintai ini. Itu juga karena izin Tuhan.” Cuco
menghembuskan napasnya dan menunduk, tubuhnya secara perlahan kembali pada
posisi semula. Kembali Cuco melepaskan pandangannya ke
sungai keruh. Ada yang mengganjal pikirannya dengan isi pidato Lem Pap.
“Tuhan, apa benar engkau yang mengizinkan
Lem Pap menjadi Pembesar Negeri Wa Geu Pap ini. Aku tidak percaya
itu, tuhan. Aku tidak percaya bahwa engkau yang menulis surat wasiat yang
dibawa Lem Plok dari negeri Mas Broe. Lem Pap boleh berkata apa saja, mau atas
izin Tuhan atawa atas izin hantu belawu. Bagiku, penetapan
Lem Pap sebagai Pembesar Negeri Wa Geu Pap penuh dengan unsur Politek. Kenapa
aku berkata demikian, karena menurut Polem, Politek itu landasannya fitnah dan
tujuannya kekuasaan. Jadi bila aku perhatikan proses sidang tadi tuhan, sidang
tadi penuh dengan unsur politek sesuai dengan apa yang dikatakan polem padaku
saat kami paroh tuloe di sawah” Cuco mencoba
mengingat pesan polemnya. Polem baginya
adalah seorang yang bijaksana dan patut di dengar. Cuco mengambil ranting patah
lalu menggigitnya seperti apa yang dilakukan Polem.
“Cuco, kalau kah sudah gedek nanti jangan cuba-cuba ikot
Politek ya. Politek itu keujam, landasannya fitnah dan tujuannya kekuasaan”
Begitu kata polem yang mampu di ingat Cuco. Cuco kembali menyambung keluhnya
kepada Tuhan.
”Nah kalau aku lihat kejadian sidang tadi pagi, jelas
sekali bahwa apa yang dilakukan Lem Pap untuk menjadi Pembesar
Negeri Wa Geu Pap ini murni Politek! Kenapa demikian?
karena dia menjadi pembesar bedasarkan surat wasiat dari negeri Mas Broe. Bukan
karena dia memang pantas menjadi Pembesar. Kalau bukan karena surat wasiat itu,
pasti Lem Pap tadi pagi ada di keudeu kopi Apa Seuman. Bersama si Pa’ak dan
Kaplat, Duek dari pagi sampai sore
dengan segelas kopi hutang. Itu baru satu poin yang aku lihat wahai Tuhan.
Selanjutnya saat dia pidato, jelas sekali aku merasakan dia sedang melakukan
apa yang disebut oleh Polem. Bahwa landasan politek itu adalah fitnah. Dia
dengan tanpa berdosa telah menfitnah engkau wahai tuhanku demi satu tujuan,
yaitu kekuasaaan”.
Dalam pidatonnya, Lem Pap mengatakan bahwa
pengangkatannya sebagai Pembesar atas izin tuhan. Perkataan itu tidak dapat di
terima penuh oleh Cuco “Menurutku, tidak mungkin engkau tuhan ku akan
memberikan izin kepada Lem Pap melalui surat wasiat dari negeri Mas Broe. Aku
tidak bodoh wahai tuhan, karena menurut Teungku, Tuhan tidak ada di negeri Mas
Broe. Co, Tuhan yang suci itu ada di tempat yang paling tinggi, dia mengetahui
segala apa yang kita lakukan Begitu
kata Teungku.
Nah jadi mana mungkin Tuhan yang suci ada di negeri Mas
Broe. Itu pasti rekayasa Lem Pap yang di bantu Lem Plok, tuhan. Oh ya, tuhan,
jujur aku memang anak kecil yang tidak banyak tahu tentang Politek itu. Persis
sama seperti kata si Nyak kemarin saat aku ajak untuk melakukan dosa menguping
gelar sidang majelis Tinggi Negeri Wa Geu Pap ini tuhan. Aku bilang sama si Nyak.
"Nyak masa depan kita bakal runyoh alias suram” Tuturku
“Apa pasal suram Co” Tanya si Nyak
“Kalau kah tidak sekolah itu baru suram, macam Apa ta’ak.
Disuruh sekolah malah pergi mancing kepiting” Begitu lanjut si Nyak, tuhan.
Padahal maksud aku bilang suram karena hari ini akan ada
sidang mulia pengangkatan Lem Pap sebagai pembesar. Aku juga
bilang kalau nanti Lem Pap yang jadi Pembesar Negeri Wa Geu Pap, maka masa
depan negeri ini akan runyoh alias suram. Si Nyak malah jawab begini ; Itu
menurut kah, jangan banyak kali ikot politek Co. Kita anak miet ini janganlah terlalu cepat ikot
urusan orang-orang tua itu Co, yang peunteng sekarang kita loncat dalam krueng. Begitu kata si Nyak sambil dia plung! dalam krueng, tuhan.
Padahal bila dilihat dari umur, aku dan si Nyak bukanlah
anak miet lagi. Karena kami sama-sama sudah
pernah mimpi basah, Aku tahu itu, tuhan. Teungku
juga pernah bilang bahwa seseorang disebut dewasa bila dia sudah pernah
mengalami mimpi yang menyebabkan cairan keluar dari alat kelaminnya. Nah, aku
tahu si Nyak juga sudah.
Pernah waktu kami berdua tidur di meunasah malam jum’at
kliwon, si Nyak bangun dengan celana basah dan buru-buru pergi ke sumur tuha di samping
meunasah untuk mandi. Tapi, dasar emang si Nyak lagi sial. Hal itu ketahuan
sama aku, tuhan. Saat
sampai di depan pintu sumur dia harus menunggu lama. Si Kaplat
di dalam lagi mandi. Si Kaplat kalau mandi cukop lama. Dia tunggu dulu sampai
badannya kering di hembus angin atau dibakar matahari. Kaplat mandi nggak
pernah bawa handuk. Entah apa yang membuat kaplat itu pagi cepat pergi mandi.
Padahal biasa dia mandi saat matahari sedang memanjat atap meunasah. Jadilah si
Nyak nunggu sampai Kaplat selesai mandi.
Ah! sudahlah tuhan, itu tidak terlalu penting, tapi ini
lebih penting, tuhan. Soal jika dijual Negeri Wa geu Pap oleh Pembesar Lem Pap.
Lalu aku dan si Nyak mau tinggal dimana tuhan? Tuhan, lihatlah si Nyak yang
begitu polos, dia tidak mengerti soal politek. Sama juga seperti aku. Cuma aku
sedikit batat berani melakukan dosa atas rasa keingintahuan. Maafkan aku ya
tuhan. Atas batatnya aku. Kalau negeri ini dijual oleh Lem Pap, maka si Nyak
akan merubah nyanyiannya tuhan. Kalau
tadi pagi saat mau berangkat kesekolah si Nyak bernyanyi.
Di sini senang, disana senang, dimana-mana hatiku senang
mungkin nanti sore setelah negeri ini jadi milik Mas Broe dia akan bernyanyi
disini susah, disana susah, dimana-mana hidupku susah, kan susah itu lagunya,
tuhan. Cuco kemudian terdiam dan termenung. Tiba-tiba matanya yang polos
berkaca-kaca.
“Tuhan, kasihanilah kami ini. Kalau negeri ini menjadi
milik Mas Broe, bagaimana nasib aku dan si Nyak, tuhan. Sungguh malang nasib
kami ini, sudah tidak memiliki ayah dan ibu, kami juga harus kehilangan tanah
kelahiran kami ini. Semenjak orang tua kami pergi bersama ie beuna kami
menumpang tidur di balee. Rumah dan
harta benda sudah tiada lagi. Kata Polem, aku tidak bisa memiliki rumah karena
rumah yang kami tempati tersebut adalah rumah sewa. Jadi tidak dapat dibangun
rumah bantuan. Sedangkan si Nyak, rumahnya di pindah tangankan oleh orang tak
di kenal.
Selama ini kebutuhan hidup kami polem yang bantu. Mulai makan sampai
biaya sekolah. Polem sudah seperti orang tua bagi aku dan si Nyak, Tuhan.
Sebentar lagi aku dan si Nyak akan menyelesaikan sekolah, walau untuk kuliah
kami belum tentu mampu setidaknya kami bisa mencari rezeki di tanah tumpah
darah leluhur kami, tuhan. Sekedar mengisi kehidupan dan membesarkan pelurus
Negeri Wa Geu Pap tercinta ini”. Sambil terisak-isak, Cuco
menghapus air mata yang membasahi pipinya.
Cuco memungut batu kecil dan melayangkan ke dalam sungai.
Satu persatu batu kecil itu meluncur kesungai bersama keluhnya.
“Semua orang-orang tua itu sepertinya tidak berakal lagi,
tuhan. Negeri ini adalah tumpah darah leluhur kami, tuhan. Mereka tidak pantas
menjualnya. Mereka tidak pantas menguasai negeri ini. Mereka
itu biadab! Leluhur kamilah yang menyumbangkan nyawa agar negeri ini tetap ada.
Lalu seenaknya mereka akan menjual kepada Mas Broe. Tuhan! Apa yang harus aku
lakukan? Aku sendiri disini, Tuhan. Si Nyak pun belum datang.
Padahal biasanya bila mentari telah melewati kepalaku kami sudah disini.
Tuhan…
Si Nyak…
Dimana kalian…”
Cuco tersungkur rebah ke tanah, kesedihannya begitu
mendalam. Rasanya tidak rela kalau negeri Wa Geu Pap yang merupakan warisan
perjuangan leluhurnya harus pindah tangan kepada orang lain. Apalagi harus
jatuh ke tangan Mas Broe yang berasal dari negeri paling terkenal biadab. Di
negeri Mas Broe Tuhan sudah tidak ada di sana. Rakyat
tidak percaya adanya tuhan. Bagi mereka tuhan itu hanya mitos saja. Tiba-tiba
Cuco mengangkat kepalanya. Ada ekspresi kaget dan
takut di wajahnya. Saat kepalanya menyentuh tanah tanpa sengaja
telinganya mendengar bunyi seperti kuda yang sedang berlari. Didekatkannya kembali
telinga ke tanah untuk memastikan.
"Tuhan, sepertinya aku mendengar bunyi puluhan kaki
kuda yang sedang berlari menuju kemari. Itu, itu pasti mereka, tuhan. Itu pasti
Pembesar Lem Pap bersama pengawal barunya sedang menuju kemari. Pasti mereka
tahu kalau aku tadi melakukan dosa menguping sidang mulia . Bahaya ini, tuhan.
Bisa-bisa mereka akan mebunuhku. Karena mereka juga tahu aku mengadu padamu” Mata Cuco
melirik ke kanan dan kiri seperti orang mencari tahu.
"Tapi tunggu dulu, bukankah Tuhan juga ada saat
sidang mulia tersebut. Pasti ini kali mereka mencari Tuhan, bukan mencari aku.
Tuhan, Aku tahu engkau pasti hadir pada sidang Majelis
Tinggi Negeri Wa Geu Pap tercinta tadi pagi. Engkau lihatkan, begitu pandai Lem
Plok memainkan perannya dalam sidang tersebut. Meyakinkan Yang Mulia Unjuik
tentang keramatnya surat wasiat tersebut. Bahkan katanya surat wasiat tersebut
lebih keramat dari kuburan keramat. Cukop bahaya itu surat wahai tuhanku. Aku
tak tahu darimana Lem Plok bisa mendapatkan surat itu dan apa isi surat itu
sehingga dapat membuat Yang Mulia Unjuik mengambil keputusan bahwa Lem Pap lah
yang pantas menjadi Pembesar Negeri Wa Geu Pap tercinta ini. Sudah lucu mereka,
bagaimana mungkin orang yang setiap hari kerjanya duduk di warung Apa Seuman
dengan buku catatan harian hutang yang tebal bisa jadi Pembesar.
Apakah sudah tidak ada lagi orang yang bijaksana yang
dapat diangkat sebagai Pembesar negeri wa Geu Pap. Apa seluruh orang padai hari
ini sudah menjadi tupai yang suka meloncat berpindah dari satu pohon uang ke
pohon uang yang lain. Atau orang-orang pintar di negeri ini sudah bangai semua. Benar kata mendiang
kakekku dulu, bahwa banyak pintar, banyak putar, banyak akal banyak nakal.
Waktu itu aku tak mengerti dengan ucapannnya. Aku waktu itu masih
beringus, saat kakek mengucapkan itu setiap selesai nonton dunia
dalam berita. Tapi setelah aku melihat apa yang terjadi saat sidang mulia tadi,
aku jadi paham maksud kakek. Bahwa setiap orang yang terlalu pintar kan lihai
dalam memutar balikkan fakta, begitu juga dengan yang terlalu banyak akal, akan
menjadi nakal” Cuco terdiam, suara sepatu kuda yang
berlari semakin keras terdengar. Sepertinya pasukan berkuda sudah semakin
dekat.
“Aduh, Tuhan. Suara sepatu kuda mereka semakin dekat,
bagaimana ini tuhan. Aku yakin mereka mencariku. Karena tadi saat aku
menguping, lamiet mengetahui
keberadaanku. Ini bisa membahayakan nyawaku, Tuhan. Engkau harus berbuat sesuatu,
tuhan. Agar mereka tidak menemukanku”. Cuco
terlihat gusar. Dia berlari-lari kecil ke kanan dan ke kiri, juga ke belakang
dan kembali ke posisi semula.
"Tuhan, suara itu sepertinya sudah dibelakangku. Aku
pasti mati tu..." kalimatnya terputus. Tiba-tiba terdengar suara letusan.
Sambil memegang dada.
"Ohh, Kan betul, Tuhan. Mereka membunuhku.
Mereka takut rahasia mereka engkau ketahui. Padahal engkau juga hadir pada
sidang itu. Hanya saja si lamiet tidak
melihat engkau. Jadi hanya aku yang dikejar dan dibunuh. Tuhan, jangan beri
tahu mereka kalau aku tahu semuanya ya, Tuhan".
Tubuh Cuco tersungkur ke tanah, Cuco merasa sekujur
tubuhnya dingin dan beku. Lidahnya mulai kelu. "selamat tinggal, Tuhan.
Tolong jaga si Nyak agar nasibnya tidak seperti aku. Mati diterjang peluru
pasukan murtad itu” Nada Cuco semakin
perlahan temponya.
“aku bahagia, tuhan. Selamat tinggal Wa Geu Pap!”
Tubuh Cocu terbujur kaku, darah membasahi sekujur
tubuhnya. Pasukan berkuda yang dipimpin lamiet
meninggalkan tubuh Cuco yang tak bergerak itu tengkurap di pinggir sungai dan
menyebabkan sebagian air yang keruh berubah menjadi merah karena darah Cuco
yang mengaliri sungai yang tak lagi mengalir itu.
*) Penulis
adalah Dosen Prodi Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh.