Oleh Yandri Syafputra* Keberadaan Institut Seni Budaya Indonesia di Aceh merupakan sebuah anugerah untuk masyarakat Aceh umumny...
Oleh Yandri Syafputra*
Keberadaan
Institut Seni Budaya Indonesia di Aceh merupakan sebuah anugerah untuk
masyarakat Aceh umumnya, khususnya bagi masyarakat seni Aceh. Dengan adanya
lembaga institusi seni formal ini disinyalir dapat mengembangkan seni dan
kebudayaan Aceh dan Indonesia, serta bisa menjadi salah satu pusat kajian dan
pengembangan budaya melayu yang bernuansa Islami di hari kelak.
Para pendiri
ISBI dan pemerintah pusat melihat potensi seni dan budaya di Aceh yang sangat
kuat dan beragam. Kuat secara kultur dan sangat kuat untuk menjadi daerah yang
memiliki ciri khas tersendiri, yakni seni berbasis islami. Hal ini juga
ditunjang oleh keberadaan para seniman yang terampil dan kreatif di bidangnya
masing-masing, serta memiliki seniman yang senantiasa mengamalkan nilai-nilai
islami di setiap sendi kehidupannya. Dialog yang alot tentang letak ISBI di
Aceh juga menarik dan akhirnya, ISBI disepakati diletakkan di kota Jantho,
Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh.
Lika-liku ISBI Aceh
ISBI
Aceh telah berusia kurang lebih tiga tahun. Secara umur, memang masih muda dan
harus banyak melakukan evaluasi dan harus terus berproses. Proses yang berkualitas
dan berkesinambungan. Terlepas dari usia nya yang masih dini, ISBI Aceh telah
mampu menunjukkan eksistensinya melalui karya-karya mahasiswa-mahasiswi nya di
level lokal dan nasional. Hal ini tentu ditunjang oleh kerja sama berbagai
pihak, terutama kejelian ISBI dalam proses seleksi dosen yang berkompeten di
bidangnya untuk mengajar di ISBI Aceh.
Dosen yang berkompeten tentu bisa
memberi stimulus dan motivasi kepada mahasiswanya. Prestasi yang menjadi
catatan penting atau tidak berlebihan bila dikatakan sebagai prestasi yang
prestisius bagi sivitas akademik ISBI Aceh adalah keikutsertaan seluruh prodi
yang ada di ISBI Aceh dalam Festival Kesenian Indonesia di Padangpanjang tahun
2016 yang lalu. Melalui ajang FKI (Festival Kesenian Indonesia) tersebut dapat
dibaca dan dipahami, keberhasilan ISBI ke depannya hanya menunggu waktu. Proses
tidak akan mengingkari hasil.
![]() |
| (Peletakan Batu Pertama ISBI Aceh. Dok: Mauly, 2016) |
Dari
hasil keikutsertaan ISBI Aceh sebagai salah satu peserta dalam ajang FKI
tersebut, ISBI patut bangga dan sedikit percaya diri, oleh karena karya-karya
yang dibawa (pertunjukan maupun pameran), menunjukkan indikasi dan kegairahan
lembaga ini serius untuk menapak ISBI ke depannya. Keikutsertaan ISBI Aceh patut
menjadi motivasi dan apresiasi bagi seluruh sivitas akademik di ISBI Aceh untuk
terus berjuang membangun ISBI ke arah yang lebih baik ke depannya.
Tak sampai
di ajang FKI saja, semangat berkarya dari dosen dan mahasiswa juga berlanjut
dalam perayaan ulang tahun ISBI Aceh pada Desember silam. Meskipun masih dalam ruang
lingkup sivitas akademika ISBI Aceh, paling tidak melalui perayaan ulang tahun
ISBI Aceh/dies natalis dapat dilihat,
bahwa potensi-potensi yang luar biasa sudah dimiliki oleh para dosen dan
mahasiswa.
Keistimewaan ISBI
Aceh
Tak tanggung-tanggung,
Aceh langsung mendapat kesempatan untuk mendirikan lembaga seni formal dengan
predikat Institut. Beda dengan wilayah lainnya, seperti Padangpanjang, Solo,
Yogyakarta dan Bali yang harus merangkak dari status akademi ke Sekolah Tinggi
dan baru ke tahap yang mapan, yakni Institut. Terlepas dari persoalan terburu
dan terkesan prematur, keberadaan ISBI di Aceh, dapat dipandang sebagai
kesiapan Aceh yang mempunyai vokabuler-vokabuler seni yang sangat kaya dan berpotensi
tentunya.
Keberadaan ISBI di Aceh adalah untuk menampilkan keindahan hakiki
dari seni-seni yang ada di Aceh tersebut, menguak kekayaan di dalamnya,
memunculkan katarsis (kesucian) dari seni Aceh itu sendiri. Keberadaan ISBI di
Aceh bukan hanya untuk melahirkan sarjana yang teknokratis, mendewakan
kepandaian dan kelihaiannya dalam menari, memainkan rapa’i, kutu buku, pembaca
ribuan buku, menguasai berbagai teori-teori seni. Akan tetapi, keberadaan di
ISBI juga untuk mencetak dan menjadikan ’manusia‘ yang memiliki bekal tentang
pendidikan hati. Pendidikan ala seni. Ini sesuai dengan hakikat seni, yakni seni adalah wahana
pendidikan hati.
Dengan seni, manusia bisa mengenali dirinya, mampu menggunakan
daya imajinasinya untuk berkreativitas, mampu mencipta. Menciptakan karya yang
bisa dijadikan inspirasi bagi masyarakat. Membuat karya-karya yang mampu
mendamaikan umat manusia. Karya-karya yang membuat masyarakat mendapatkan
inspirasi setelah menonton atau membaca karyanya.
ISBI Aceh juga bertujuan
untuk menelurkan agen-agen perubahan ke arah yang lebih baik untuk seni di
Indonesia, khususnya bagi kelangsungan kesenian
Aceh ke depannya. Dengan keberadaan ISBI di Aceh, dapat diprediksi
lulusan dari lembaga ini ke depannya sangat bermanfaat di tengah-tengah masyarakat
dan memiliki daya kompetitif dengan lulusan lainnya. Hal ini tentu harus
ditunjang dengan keseriusan mahasiswa-mahasiswi yang mampu menggali
sedalam-dalamya ilmu dari dosen-dosen di ISBI, yang notabenenya masih muda dan
tentu bisa diajak diskusi dan berbagi pengalaman.
Nasib ISBI Aceh Saat ini.
Saat ini, ISBI Aceh
masih menempati gedung milik DISBUDPAR (Dinas Budaya dan Pariwisata) sebagai
ruang untuk perkuliahan dan ruang adminitrasi. Segala kegiatan sivitas akademik
ISBI Aceh ’sementara’ (belum tau entah
sampai kapan) berpusat di gedung yang harus mendapat perawatan khusus dari
instansi terkait ini. Tampaknya, 3 tahun setelah ISBI disahkan secara
konstitusional, sivitas akademika ISBI Aceh harus berharap dan menunggu
beberapa bulan, setahun atau puluhan tahun lagi agar mimpi indah bisa menjadi
kenyataan. Mimpi memiliki gedung yang ’megah’ yang berdiri di atas tanah 30
hektar itu. Apakah kendala untuk merealisasikan gedung itu?
Selanjutnya, bila
dilirik fasilitas yang dimiliki oleh ISBI Aceh juga cukup memprihatinkan, tapi
masih bisa dimaksimalkan oleh para dosen dalam memberikan sedikit ilmu dan pengetahuan kepada para mahasiswa-mahasiswinya. Namun persoalan fasilitas, bukanlah
persoalan yang akut, akan tetapi berpotensi menjadi penyakit yang serius, bila tidak
segera ditangani.
Dari segi sumber daya manusia/dosen, ISBI Aceh sudah ideal.
Hal ini, bisa dibuktikan dengan dosen-dosen tetap yang sebagian besar adalah
lulusan Magister Seni (M.Sn) dari perguruan tinggi seni yang cukup berwibawa di
Indonesia. Misalkan dari ISI Solo, ISI Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, USU
Medan dan ISI Padangpanjang. Tentu, para dosen yang ada bukan magister seni
yang asalan. Dosen yang ada di ISBI Aceh saat ini, siap diuji dan mampu
mempertanggungjawabkan kelimuannya secara moral dan akademik. Dosen yang ada di
ISBI Aceh sekarang berasal dari berbagai wilayah yang berbeda. Ada yang dari
wilayah Aceh, Padang dan Jawa.
Kita berharap,
perjuangan para seniman Aceh dalam
mewujudkan lembaga seni tidak sia-sia. Tindak lanjut dengan segera dari
instansi terkait sangat ditunggu oleh sivitas akaemika ISBI Aceh untuk
memperhatikan kebutuhan sarana dan prasarana untuk menunjang proses
perkuliahan. Kelak di hari depan, ISBI Aceh menjadi salah satu lembaga formal
sebagai pusat seni dan budaya Aceh. Kebanggan masyarakat Aceh, Indonesia dan
Dunia.
*Penulis adalah Dosen di Fakultas
Pertunjukan Institut Seni Budaya (ISBI)
Aceh.

