Oleh: Muhammad Aziz* “Sebuah peradaban yang besar, selalu dibangun di atas pijakan pemikiran yang besar pula”-Anonim Bagi setia...
Oleh: Muhammad Aziz*
“Sebuah peradaban
yang besar, selalu dibangun di atas pijakan pemikiran yang besar pula”-Anonim
Bagi setiap anak yang pernah
merasakan dunia santri di Aceh, kata “surah” pastinya bukan suatu hal yang asing
lagi ditelinga mereka. Karena tradisi “surah-menyurah” merupakan sesuatu hal
yang akrab di setiap Dayah (Pondok Pesantren Tradisional) di negeri Aceh
Darussalam, dan pastinya takkan pernah ditemukan bahkan menjadi suatu kerinduan
bagi setiap anak-anak Aceh yang merantau ke negeri orang. Harus diketahui pula
tradisi yang berbentuk “Surah” ini merupakan tradisi keilmuan yang lebih dulu
ada sebelum pendidikan formal berkembang di masyarakat Aceh.
Awal mulanya mendapatkan
informasi Gerakan Surah Buku (GSB) yang di inisiasi oleh rakan-rakan Asrama
Aceh “Sabena” di Yogyakarta, penulis selaku pelajar yang sedang belajar di kota
pendidikan inipun merasa diingatkan kembali akan tradisi menimba ilmu yang
pernah penulis lakoni dahulu di sebuah Dayah daerah penulis semasa SMA. Sontak
saja, informasi GSB itupun seakan memanggil jiwa penulis untuk berhadir ke
acara tersebut seraya menyambung tali ukhuwah dengan rakan-rakan Aceh di Jogja,
bil-khusus di asrama Sabena yang telah lama tak penulis kunjungi.
Sebelum lebih jauh, sebagai
tambahan informasi, kata “Surah” sendiri berasal dari akar kata “syarah”
(bahasa arab) yang berarti “penjelasan/penerangan”, jika tradisi Surah yang
berlaku di setiap Dayah biasanya sesuatu (kitab) yang di surah hanya dalam alur
satu arah, dimana pen-surah umumnya seorang Tengku (Ustadz) menerangkan isi
kitab yang sedang dikaji oleh murid-muridnya (santri). Namun berbeda ihwalnya
dalam GSB ini, dimana setiap peserta yang berhadir dalam forum ini berhak dan
bebas menjelaskan, menerangkan, serta memperalamkan sesuatu yang sedang menjadi
objek pembahasan berdasarkan sudut pandang yang dimilikinya secara
bersama-sama.
Sekalipun buku pertama yang
sedang disurah dalam forum GSB ini ialah MADILOG karyanya Tan malaka, yang
ditengarai sebagai salah satu pemikir komunis di Indonesia. Bahkan tak sedikit
dari kawan-kawan mahasiswa yang penulis temui, mereka yang telah mengkonsumsi
dengan cara menelan mentah-mentah isi buku ini membuat jiwa keislaman mereka
luntur, terutama teori-teori yang ter-alamkan dalam bab “Logika Mistika &
Filsafat” benar-benar membentur fikiran mendasar setiap orang yang membacanya.
Sehingga hal itupun membuat kawan-kawan dari kalangan Islamis sedikit “alergi”
dengan MADILOGnya Tan. Namun bagi penulis disinilah tantangan menariknya,
bukankah ini salah satu cara untuk menguji kembali fikiran mendasar (akidah)
yang telah tertanam di kepala kita rakan? Bukankah ini merupakan bentuk
evaluasi akan seberapa kuat fondasi “keimanan” yang telah kita bangun untuk
diri kita dan seberapa dalam “islam” yang selama ini telah kita kaji selama
ini?
Jika apa yang diutarakan Tan
Malaka dalam MADILOG-nya mampu kita filter dan kritisi dalam kacamata islam, dipastikan
hasilnya akan membuat iman (akidah) kita semakin mantap dan keyakinan kita akan
kebenaran ajaran-ajaran islam semakin kuat. Tetapi jika keyakinan kita
tergoyahkan disinilah letak pertanyaannya. Seberapa dalam islam yang telah kita
kaji selama ini? Tetapi tak perlu risau, inilah salah satu fungsinya wadah GSB,
kita akan saling membangun jembatan keledai, bertukar pandangan terhadap
fikiran yang diperalamkan Tan dalam MADILOGnya. Tak perlu khawatir akan menjadi
seorang “materialis”. Buktinya dalam pertemuan yang ke “sekian” kami malah
menyimpulkan bahwa Tuhan sebagai salah satu unsur mistik, benar-benar ada dan
berkehendak atas segala ciptaannya.
Terlepas dari apa yang kita
bicarakan di atas, perkumpulan serupa GSB ini sebenarnya sangat jarang kita
temukan di asrama-asrama daerah lain, bahkan beberapa teman dari daerah lain
yang juga terlibat sebagai pegiat GSB mengapresiasi dan sangat cemburu melihat aneuk-aneuk Aceh memiliki forum yang
sangat kental akan nuansa berbagi keilmuan serta pertukaran pemikiran seperti
GSB, mereka juga ingin perkumpulan seperti ini ada di asrama daerah mereka.
Selain itu, dalam membaca ulang GSB menurut Tungang Iskandar atau yang akrab
disapa “Pak is” selaku Presiden GSB, esensi utama dari Gerakan ini sebenarnya
tak sekedar wadah untuk men-surah buku, bahkan ia dapat kita maknai lebih dari
itu. Mulai dari Gerakan Santai Bareng (GSB), untuk membuat ikatan ukhuwah kita
anak-anak Aceh yang sedang belajar di Jogja semakin terjalin dalam hal keilmuan,
terlebih hari ini kita berada dalam zaman individualism yang akut, dimana setiap
orang hanya mementingkan dan mengejar obsesi-obsesi dirinya sendiri. Ataupun
Gerakan “Sinau” Bersama (GSB) -inilah intinya-, mengingat jogja merupakan kota
pendidikan yang mempertemukan pelajar-pelajar dari berbagai daerah.
Lewat GSB inilah kita belajar
bersama untuk menciptakan tradisi keilmuan dalam format yang lebih progresif,
yang akan kita persembahkan untuk Aceh kedepannya. Selaku aneuk lam rantoe bukankah kita ingin memberikan sumbangsih fikiran dalam
membangun kembali Peradaban Aceh dari puing-puing reruntuhannya? Jikalau bukan dengan
pemikiran dan tradisi keilmuan, tolong beri tau aku dengan apa lagi kita harus
membangunnya rakan?***
*Penulis adalah Pegiat Gerakan Surah Buku, Mahasiswa STEI HAMFARA Yogyakarta.