Oleh Nazar * Sekumpulan kayu tersusun sedemikian rupa, membentuk sebuah tempat duduk dan bersandar. Di sinilah aku bersantai, untu...
Oleh
Nazar*
Sekumpulan
kayu tersusun sedemikian rupa, membentuk sebuah tempat duduk dan bersandar. Di
sinilah aku bersantai, untuk pergi sementara melalui alam pikiran dan khayalan ku. Kayu-kayu
tua dan rapuh ini memang terlihat artistik, dengan pori-pori yang tidak
teratur, warna yang antik dan tentunya sarat filosofi.
Sejenak
khayalan ku terbang dan mampir pada pohon-pohon tua, dengan akar yang mencakar
jauh ke dalam tanah. Pohon-pohon yang entah berantah itu, apakah kayu ini berasal dari sana? Jika ia, mengapa ia begitu rapuh? Ataukah mungkin ia berasal dari kayu yang
masih muda? Aku memperhatikan lagi serat-serat kayu yang menjadi tempat duduk
ku ini, untuk berusaha mencari tahu sebab musabab ia begitu rendah nilainya di mata-orang.
Aku
suka pada lobang-lobang kecil dan besar pada kayu ini. Juga pada warnanya yang
alami. Bahkan jika dilapisi dengan cat yang mahal, ia mungkin bisa mengkilap, indah, dan tidak terlihat busuknya, pikir ku. Tapi tetap saja aku sangat
membenci kerapuhannya. Walau bagaimana pun, keindahan jika disandingkan dengan
kerapuhan di dalamnya, ia tidak akan bertahan lama.
Aku
membayangkan diri ku yang rapuh, dengan ilmu yang tidak seberapa. Bisa
saja aku berpenampilan rapi, indah, dan mempesona dengan berbagai trik, tapi
apakah aku sedang jujur dan tidak menipu diri ku sendiri? Kebodohan itu
sejujurnya sedang kupelihara sejak lama. Sekarang, ingin rasanya aku memberontak.
Pada diri yang lapuk ini.
Kayu
yang lapuk ini, sungguh pori-porinya amat kasar ketika ku sentuh. Ia tidak ubahnya seperti manusia yang barbar dan tidak memiliki belas kasih.
Ruangnya sedemikian banyak, sehingga begitu mudahnya angin, rayap, dan air
memasuki untuk melunakkannya. Ia bahkan tidak mampu menghalaunya. Seumpama
rumah yang memiliki banyak pintu masuk dan tidak jelas pintu keluarnya, sangat mudah tersesat.
Dari
sini, aku terfikir dan bertanya lagi. Bukankah itu sama persis dengan diri ku
yang jika bodoh? Aku dengan sangat mudah dimasuki, dipengaruhi oleh bermacam
hal yang menghancurkan ku. Pantas saja selama ini aku begitu sulit memfilter segala hoax dan mencerna diri ku sendiri. Aku seperti terombang ambing dalam putaran kebingungan dan ketidakpastian
untuk menafsirkan sesuatu dalam realitas. Tapi aku tidak ingin tersesat terlalu jauh lagi.
Kondisi demikian amat buruk untuk masa depan ku.
Kayu-
kayu yang lapuk tidak ubahnya seperti sampah. Sangat sulit ia bertahan bila
diolah sekalipun. Amat mungkin diinjak-injak, dihina, dibakar, dan dihilangkan dari
peradaban. Tapi aku adalah manusia, yang memiliki otak untuk berfikir dan
tubuh untuk bergerak. Tidak seperti benda mati ini, yang begitu mudah dikuasai
energi jahat, lalu bicara tentang pesimisme dan kematiannya sendiri.
Aku
memang rapuh seperti kayu yang kududuki ini. Tapi bukankah kayu-kayu ini begitu
kuat ketika bersama? Ia seperti saling mensupport satu sama lain untuk berguna.
Aku mencintai tempat ini. Ah, betapa indah kebersamaan yang terajut seperti ini, di tempat yang selama ini kerap menjadi ruang bagi
anak-anak Gerakan Surah Buku (GSB) untuk belajar dan berbagi bersama-sama.
Sejak
pertama sekali digagas, ruang sederhana ini memang kerap didatangi oleh
kawan-kawan yang ingin berbagi dan belajar bersama. Saya dan kawan-kawan lain biasanya membaca dan berdiskusi di
sini, dari jam 22:00 WIB sampai menjelang matahari terbit. Sering aku terfikir, bahwa ini adalah tempat
yang murah dan cara yang mudah untuk belajar. Hanya bermodalkan seperempat kilo gula, sekilo ketela ungu, dan sekotak kecil teh poci, kita bisa duduk berjam-jam sambil belajar tanpa harus berfikir uang SPP. Di sini, aku bahkan menemukan sudut paling dalam dari diri ku. Ya, rasa mengasihi, bekerjasama, berempati, mengapresiasi orang lain, berbagi, dan kesetiakawanan.
Aku
ingin selalu mengenang proses belajar ku di tempat ini, lewat kayu lapuk yang
mungkin terdapat di mana-mana. Untuk kerapuhan yang disadari di luar sana,
ingin rasanya aku merangkul dan berkata; "Ayolah kita santai bareng sambil belajar bersama-sama di atas kayu lapuk ini. Kita tinggalkan kursi dan kasur yang megah itu sebentar saja".***
*Penulis
adalah Aktivis Gerakan Surah Buku (GSB), Mahasiswa Teknik Sipil Universitas
Teknologi Yogyakarta.
