Ia adalah lulusan FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Namun sampai sekarang belum menentukan sikap unt...
Ia adalah lulusan FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Namun sampai sekarang belum menentukan sikap untuk menjadi guru sesuai ijazah yang ia miliki. Ia masih gembira dengan kebebasannya sembari nongkrong dari satu warkop ke warkop lainnya, sambil merampungkan desain majalah untuk dijual secara online.
Menulis puisi ia tekuni semenjak aktif sebagai mahasiswa. Puisi baginya adalah jalan kembali setelah imajinasi ia rantaukan dalam kegetiran hidup, kekurangan jajan hingga sumpeknya lorong-lorong kota. Penyair yang lahir 21 Juni 1986 ini akrab disapa Brojo oleh kerabat dekat yang masih tekun menulis puisi dan mengirimkannya ke surat kabar. Serambi Indonesia adalah koran langganan puisinya dimuat.
Melalui puisi, Brojo seperti sedang merangkai potongan adegan yang mendeskripsikan kehidupan urban yang menekan, membebani namun menggoda. Rangkaian itu dengan telaten ia tabung hingga di akhir 2012 buku pertamanya berhasil dicetak secara indie oleh penerbit Tansopakopress. Buku antologi puisi itu berjudul, "Menerka Gerak-gerik Angin".
Buku ini menghimpun puluhan puisi dengan beragam. Dari urusan remeh asmara hingga politik lokal yang Brojo ungkapkan dramatis dan berlebihan. Ini dimungkinkan karena penyair masih dalam proses pencarian bentuk ungkapan khas. Proses itu bekerja dan berlansung sampai kapan pun, demikian ia nikmati. Brojo mengalami proses pencarian itu tak ubahnya menyeruput kopi sore di tepi kali, ditraktir sahabat lama. Baginya, memuisikan kota dalam potongan-potongan kejadian terkini mengenai kemiskinan, tata kota salah urus, politik perkoncoan dan tetek bengek urbanisme itu, lebih memusingkan dari menjadi pegawai rendahan yang dituntut disiplin tapi gaji kecil. Merekam ini semua butuh waktu dan pematangan ide yang lumayan makan waktu.
Untuk akhir tahun 2016 ini, Brojo akan kembali melahirkan sehimpunan puisi tunggal yang ia beri judul "POORBAN". 20 Puisi lebih akan memaknai keberadaan dirinya dalam bergumul di Banda Aceh. Membaca beberapa puisi dalam antologi ini, kita seperti diimami menelusuri lorong sempit Gampong Ateuk, Gampong Keuramat dan Gampong Laksana. Menyaksikan roda ekonomi di Peunayong bergulir dalam becek abadi bisa kita rasakan dalam beberapa puisi dalam buku yang proses lay-out-nya sedang berlansung.
Potret Urban Banda Aceh yang lusuh dengan ketimpangan mengemuka dengan kalimat-kalimat menggigil. Brojo punya potensi menjadi lensa kamera yang merekam kehidupan kota secara surealis namun kadang magis dan bahkan satire.
Baginya puisi bukan satu wadah suci yang enggan bicara becek dan kotor. Puisi juga bukan penyuci atas tindakan-tindakan penyelenggara kota yang otoriter, amoral dan koruptif. Puisi cuma alat. Baginya, "POORBAN" adalah kecintaan dalam bentuk lain atas kota yang melimpahinya dengan berbagai ide mencipta. Dan puisi, jalan yang ia pilih. (13H)
Menulis puisi ia tekuni semenjak aktif sebagai mahasiswa. Puisi baginya adalah jalan kembali setelah imajinasi ia rantaukan dalam kegetiran hidup, kekurangan jajan hingga sumpeknya lorong-lorong kota. Penyair yang lahir 21 Juni 1986 ini akrab disapa Brojo oleh kerabat dekat yang masih tekun menulis puisi dan mengirimkannya ke surat kabar. Serambi Indonesia adalah koran langganan puisinya dimuat.
Melalui puisi, Brojo seperti sedang merangkai potongan adegan yang mendeskripsikan kehidupan urban yang menekan, membebani namun menggoda. Rangkaian itu dengan telaten ia tabung hingga di akhir 2012 buku pertamanya berhasil dicetak secara indie oleh penerbit Tansopakopress. Buku antologi puisi itu berjudul, "Menerka Gerak-gerik Angin".
Buku ini menghimpun puluhan puisi dengan beragam. Dari urusan remeh asmara hingga politik lokal yang Brojo ungkapkan dramatis dan berlebihan. Ini dimungkinkan karena penyair masih dalam proses pencarian bentuk ungkapan khas. Proses itu bekerja dan berlansung sampai kapan pun, demikian ia nikmati. Brojo mengalami proses pencarian itu tak ubahnya menyeruput kopi sore di tepi kali, ditraktir sahabat lama. Baginya, memuisikan kota dalam potongan-potongan kejadian terkini mengenai kemiskinan, tata kota salah urus, politik perkoncoan dan tetek bengek urbanisme itu, lebih memusingkan dari menjadi pegawai rendahan yang dituntut disiplin tapi gaji kecil. Merekam ini semua butuh waktu dan pematangan ide yang lumayan makan waktu.
Untuk akhir tahun 2016 ini, Brojo akan kembali melahirkan sehimpunan puisi tunggal yang ia beri judul "POORBAN". 20 Puisi lebih akan memaknai keberadaan dirinya dalam bergumul di Banda Aceh. Membaca beberapa puisi dalam antologi ini, kita seperti diimami menelusuri lorong sempit Gampong Ateuk, Gampong Keuramat dan Gampong Laksana. Menyaksikan roda ekonomi di Peunayong bergulir dalam becek abadi bisa kita rasakan dalam beberapa puisi dalam buku yang proses lay-out-nya sedang berlansung.
Potret Urban Banda Aceh yang lusuh dengan ketimpangan mengemuka dengan kalimat-kalimat menggigil. Brojo punya potensi menjadi lensa kamera yang merekam kehidupan kota secara surealis namun kadang magis dan bahkan satire.
Baginya puisi bukan satu wadah suci yang enggan bicara becek dan kotor. Puisi juga bukan penyuci atas tindakan-tindakan penyelenggara kota yang otoriter, amoral dan koruptif. Puisi cuma alat. Baginya, "POORBAN" adalah kecintaan dalam bentuk lain atas kota yang melimpahinya dengan berbagai ide mencipta. Dan puisi, jalan yang ia pilih. (13H)
