JAKARTA __ Festival Film Indonesia (FFI) merupakan ajang penghargaan tertinggi bagi dunia Perfilman di Indonesia. FFI pertama kali dis...
JAKARTA__ Festival
Film Indonesia (FFI) merupakan ajang penghargaan tertinggi bagi dunia Perfilman
di Indonesia. FFI pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955 dan berlanjut
pada tahun 1960 dan 1967 (dengan nama Pekan Apresiasi Film Nasional), sebelum
akhirnya mulai diselenggarakan secara teratur sejak tahun 1973.
Pada setiap
penyelenggaraan FFI, Piala Citra akan dibagi untuk 16 kategori yang dimenangkan
oleh para nominator. Kali ini, untuk kategori Documenter Pendek, di mana anak
Aceh ikut ambil bagian, film yang berjudul “1880 MDPL” yang disutradarai oleh
Riyan Sigit W dan Miko Saleh (SMA N 15 Takengon, Binaan Negeri Antara) berhasil
masuk menjadi salah satu dari lima nominator lainnya. Film yang menceritakan
tentang tidak suburnya tanah yang menyebabkan perkebunan kopi di kampung Merah
Jernang menjadi tidak produktif dan memaksa para masyarakat membuka lahan baru
di hutan ini diproduksi oleh yayasan Aceh Documentary (Adoc).
Sutradara film “1880
MDPL” yang dihubungi acehmediart.com pada Sabtu (14/10/2016) merasa terkejut,
Riyan Sigit W mewakili temannya mengatakan bahwa ia berasa tidak percaya kalau
film ini masuk nominasi FFI 2016. “Perasaan kami tentu sangat bangga dan
bahagia, harapannya bisa mendapat piala citra, tetapi sudah masuk nominasi saja
kami sudah sangat senang.” Ujarnya
Menurut Zuli Aris
Setiyanto, Supervisor film “1880 MDPL” yang dihubungi bersamaan mengatakan
bahwa sangat mungkin film ini masuk nominasi karena film ini memiliki dampak
besar pada perekonomian di daerah dimana film tersebut dibuat. “Kehidupan yang
sangat keras tergambar dalam film ini” ungkapnya.
Berita ini menjadi
kabar baik bagi dunia film di Aceh. Munzir selaku manager Aceh documentary
Junior (ADJ) 2016 yang juga dihubungi acehmediart.com mengatakan bahwa dia
merasa senang dengan terpilihnya film “1880 MDPL” sebagai salah satu nominasi
film FFI 2016. “Saya selaku manager ADJ 2016 merasa seperti berhasil membina
mereka bersama kawan-kawan lain dari Aceh Documentary. Ini merupakan terobosan
yang luar biasa bagi pelajar yang baru belajar film. Semoga ke depannya mereka
semakin semangat dalam menghasilkan film-film dokumenter, dan mampu bersaing
dengan karya-karya di tingkat Nasional maupun Internasional.” Ungkapnya.
Mulai tahun 2013 hingga
sekarang, Aceh Documentary sebagai inisiator dan dengan program-program
unggulan terus melahirkan sineas-sineas dan karya-karya yang beragam, khususnya
Genre Documenter. Menurut Jamaluddin Phonna, selaku Ketua umum Yayasan Adoc,
kabar baik di hari menjelang akan diadakannya perhelatan akbar Aceh Film Festival 2016 di Banda Aceh ini mewakili perasaan untuk semua masyarakat Aceh.
“Usaha anak Aceh dalam pengembangan film di Aceh telah menunjukkan kemajuan
yang signifikan, ini satu kebanggaan bagi kita semua” ujarnya melalui pesan
singkat Facebook pada Jumat malam (14/10/2016)
.