Oleh: Azhari Meugrob merupakan sebuah ungkapan kata yang dilakapkan oleh pelakunya sendiri pada sebuah ritual rateb atau zikir sambil...
Oleh: Azhari
Meugrob merupakan sebuah
ungkapan kata yang dilakapkan oleh pelakunya sendiri pada sebuah ritual rateb
atau zikir sambil menggerakkan badan. Meugrob secara arti kata adalah meloncat,
namun tidak ada satupun sumber tertulis dalam literatur sejarah yang menjelaskan
tentang Meugrob dalam bentuk seni tari budaya.
Beberapa sumber yang saya
dapatkan di Sigli dan Samalanga saat mulai melakukan produksi film Dokumenter
ini yang saya mulai sejak 2012 sampai sekarang, bahwa di Aceh pada tahun 50-an
memiliki sebuah tradisi Peutamat daröih
(menamatkan tadarus) atau khatam Qur’an (menamatkan Al-Quran), dan itu
dilakukan dengan berzikir dan menggerakkan badan serta meloncat-loncat juga. Kini
praktek Meugrob di beberapa daerah sangat bervariasi.
Di Samalanga Kabupaten
Bireuen dikenal sebuah praktek ritual yang diberi nama dengan Rabbani Wahed.
Tarian ini sudah ditetapkan sebaga warisan budaya nasional tahun lalu. Rabbani
Wahed sendiri merupakan nama lain dari Meugrob, masyarakat di Samalanga hanya
mengenalnya dengan Rabbani Meugrob. Sekilas tarian itu mempunyai kesamaan
dengan Rabbani Negar India yang dipimpin oleh al-shaik Muhammad Abdullah baba Hidayathullah. Adapun
Rabbani Meugrob di Samalanga pada tahun 1989 telah dirubah namanya menjadi
Rabbani Wahed oleh Alm TM. Daud Gade bersama Bapak Nurdin yang merupakan salah
satu Dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ) saat itu.
Dalam Film Dokumenter Sufi Bukan Sufi di sana juga
dijelaskan alasan oleh Almarhum TM. Daud Gade merubah nama Meugrob menjadi
Rabbani Wahed. Menurutnya, hal itu dikarenakan bahwa masyarakat masih trauma
dengan tarian Meugrob,
karena Meugrob pada tahun 50-an telah menelan korban jiwa, lantaran praktek
Meugrob yang pada awalnya untuk Ibadah menjadi ruang untuk memberikan hukuman
bagi pengantin Laki-laki yang jarang ke meunasah untuk shalat berjamaah. Pada
waktu itu, salah seorang pengantin yang tidak mau dirinya dipeugrob
(diperloncatkan) akhirnya mengambil rencong melalui mertuanya lalu menusuk para
pemain meugrob. Sejak saat itu, tradisi meugrob mulai tidak ada yang memainkan.
Peristiwa itu terjadi di daerah Jeunieb, Bireuen.
Di Desa Pulo Lung Teuga Kabupaten
Sigli, di sana juga pernah terjadi hal yang sama tapi tidak sampai memakan
korban, sebagaimana disampaikan oleh Pak Armia yang merupakan saksi hidup yang
sempat melihat Pengantin Laki di Peugrob di Balai Gampong, tapi sang
pengantinnya tidak melawan melainkan pasrah dan setelah itu sang pengantin jarang
pulang dan pindah dari gampong karena malu.
Salah seorang yang pernah menjadi warga Batee
Sigli bernama Ibrahim Hitam (120th) pada tahun 2012 menjelaskan, bahwa
tarian Meugrob sudah ada sejak nenek beliau hidup. Ibrahim Hitam yang sekarang tinggal
di daerah Peuneulet Kec. Mamplam itu juga menjelaskan bahwa di sana sekarang
tarian ini sudah tidak ada lagi. Menurutnya, itu terjadi sejak kejadian
pembunuhan terjadi saat praktek Meugrob belangsung, masyarakat mulai
meninggalkannya.
Beberapa peristiwa yang pernah terjadi itu telah
menciptakan trauma bagi sebagian masyarakat pecinta Meugrob. Perubahan jenis
tarian dari untuk Peugrob Linto (meloncatkan
pengantin laki-laki) yang awalnya merupakan sebuah bentuk hukuman atau sangsi sosial
bagi pengantin yang jarang bergabung ke Meunasah pun berlangsung setelah
beberapa peristiwa kelam itu terjadi. Tari Meugrob yang awalnya untuk linto
(Pengantin laki-laki) pun berubah dalam wujud dan maksud lain.
Di Pulo Lung Teuga, masih di
Kecamatan Sigli. Meugrob sendiri adalah ruang untuk mempererat persatuan dan
kekompakan. Di sana, anak-anak muda yang ada di kampong ataupun yang sedang di
perantauan akan terpanggil untuk Pulang hanya karena Meugrob. Meugrob di Sigli
secara praktek juga sama dengan Rabbani Meugrob yang ada di Samalanga, namun
bedanya Meugrob di Sigli diawali sambil duduk setengah lutut lalu langsung
bangkit sambil membaca syair: “Ta beudeh deng
nibak taduk, hate yang khusyuk di dalam dada” (kita bangkit dari duduk,
hati yang khusyuk di dalam dada). Mereka juga melakukan gerakan-gerakan
mengayunkan tangan secara bersama sambil berhadap-hadapan, serta gerakan
memegang bahu satu sama lain sambil berjalan membentuk angka delapan, lalu dengan
gerakan memutar-mutar membentuk lingkaran yang padat serta melompat-lompat
sambil memeluk erat sesamanya.
Syair-syair yang dibacakan
dalam praktek Meugrob di Pulo Lung Teuga berbeda dengan yang ada di Samalanga,
di sana Meugrob menggunakan syair-syair kekinian berupa salawat kepada nabi
Muhammad SAW serta pesan-pesan tauhid serta moral. Menurut masyarakat di sana,
tidak ada yang tahu dari mana datangnya Meugrob, ini sudah menjadi warisan
turun-temurun dan tidak ada yang mecatatnya saat nenek mereka masih hidup
dahulu.
Praktek Meugrob pada
dasarnya hampir sama dengan permainan Seudati, terutama pada syair yang
digunakannya. Di Sigli sendiri, pernah terdapat sebuah seni tari yang
menyerupai Meugrob, namanya tarian Hasan-Husen, tapi masyarakat menyebutnya
dengan Tarian San-Usen. Syair
Hasan-Husen juga ada dalam buku Syair Rabbani Meugrob Samalanga, di sana disebutkan:“uroe siploh, beuleuen muharam, kesudahan
husen jamaloi, ha illallah”. Masyarakat Samalanga pun sampai sekarang juga
tidak tahu siapa yang membawa Meugrob ke dalam kehidupan mereka dan kapan
Meugrob ini mulai ada. Dalam taks Syair hanya dijelaskan bahwa Rabbani Meugrob
bagian dari ritual Tariqat Sammaniah.
Tarian Meugrob yang pernah populer
sebagai tarian rakyat itu juga terdapat di daerah Lampeuneurut Aceh Besar. Di sana
tarian Meugrob dimainkan pada malam-malam menjelang peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan di Nagan Raya, tepatnya di Gampong Udan Suka Makmur,
warga di sana menyebutnya dengan Meugrob Bensa atau Rateb Bensa. Meugrob bagi
mereka merupakan ruang untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan juga sebagai
ruang untuk mempererat persatuan sesama masyarakat. Meugrob di Nagan Raya di
mainkan pada malam 27 atau saat akan berakhirnya bulan ramadhan.
Sebelum melakukan praktek
Meugrob, gampong yang membuat Meugrob Bensa akan mengundang Gampong-gampong
tetangga untuk hadir dan melakukan proses pengumpulan uang untuk membeli
bahan-bahan yang akan dimasak, karena Meugrob Bensa akan berakhir menjelang sahur,
yaitu pada pukul 3 pagi, dan setelah itu mereka akan makan sahur secara
bersama-sama. Di Nagan Raya, pemimpin praktik Meugrob disebut Khalifah, berbeda
dengan masyarakat Sigli, Aceh Besar dan Bireuen, di sana mereka menyebutnya
dengan Syekh.
Syarat menjadi Khalifah
Meugrob Bensa di Nagan Raya haruslah sudah pernah berguru pada para pendahulu
(guru/mursyid=pembimbing), sama halnya dengan proses mengambil Tariqat, dimana
harus ada guru yang membimbing. Menurut Teungku Imum Paya Udan, proses itu
dilakukan karena Meugrob Bensa merupakan gabungan antara Agama dan Budaya, yang
bertujuan untuk mendapatkan keridhaan atau beribadah kepada Allah dengan berzikir
atau Rateb sebanyak 12 Rateb; satu rateb bisa dibaca ribuan kali itu tergantung
Khalifahnya.
Praktek Meugrob di Nagan
Raya bukanlah sebatas tradisi, akan tetapi sudah menjadi bagian dari salah satu
ibadah yang terus dilakukan setiap tahun. Sebelum meugrob Bensa dilakukan,
kalifah menjelaskan tatacara-nya, antara lain; Zikir yang dibaca tidak boleh
putus walaupun ada yang sudah pingsan, zikir haruslah terus berlanjut tanpa dibantu
oleh obat-obatan terlarang atau menggunakan ganja. Juga tidak dibolehkan dalam
proses ini mempunyai niat buruk untuk kawan atau orang lain.
Membacakan doa seperti
praktek samadiah yang umumnya dilakukan di Aceh adalah awal dimana sebuah
proses untuk Meugrob dimulai, karena setelahnya mereka akan bangkit sambil
menyebutkan Lailahaillallah sambil berulang-ulang,
dan juga sambil menggenggam tangan kawan yang disamping dan kakinya mulai
melakukan gerakan. Khalifah dalam hal ini memimpin zikir atau rateb dengan
mengatur ritme irama zikir. Begitu zikir mulai kencang, lalu para pelaku
Meugrob Bensa mulai membuat lingkaran, lingkaran dalam dua lapisan; pertama
lingkaran kecil yang padat sambil berpelukan dimana orang yang di dalamnya
tidak akan bisa keluar lagi dan lingkaran besar akan membentengi lingkaran
kecil yang makin lama makin kencang, sambil melompat-lompat dan pada akhirnya
ada yang pingsan tidak sadarkan diri karena kelelahan sambil berzikir dengan
meloncat.
Begitu ada yang pingsan, mereka
akan melakukan peugrob beramai-ramai
sambil menyebutkan zikir yang sangat keras sekali, ada sekitar 15 kali peugrob, hingga yang dipeugrob sudah tidak sadarkan diri. Setelah
itu, yang pingsan akan dibawa ke samping balai. Lalu lingkaran yang kedua
mengerucut membentuk lingkaran kecil, dan lingkaran besar dibentuk lagi yang
diarahkan oleh Khalifah. Itu dilakukan terus menerus hingga terkadang membuat
gerakan delapan berjalan sambil melompat dengan memegang bahu satu sama lain.
Di Samalanga Meugrob kini
berubah dalam bentuk sanggar, gerakan-gerakannya juga terjadi penambahan
gerakan baru namun syair-syairnya masih menggunakan Syair Meugrob. Dalam syair
Meugrob disebutkan nama-nama syekh dari tariqat Sammaniah, yaitu Syekh Muhammad
Saleh, Syekh Zamzami yang merupakan bilal di Makkah, Syekh Abdussamad (Palembang)
yang turun dari Arab untuk perang sabil ke Aceh, Sultan Mahmud yang juga bilal
Makkah, serta Ahmad kusyasyi yang merupakan khuthubul Madinah, dimana banyak
orang dari berbagai negara mengambil tariqat padanya. Lalu ada juga Syekhuna
Samman yang merupakan Syekh Muhammad Samman, negeri beliau bernama Madinah,
nama ayahnya Abdul Karim, gurunya Mustafa Bakri yang berasal dari negeri Mesir.
Syekh Muhammad Samman sendiri
pada dasarnya tidak membawa langsung tariqat Sammaniah ke Indonesia melainkan
dilakukan oleh murid mereka sendiri. Hal itu dapat kita ketahui dari sejarah
penyebarannya, yaitu dilakukan oleh Syekh Abdussamad al-Falimbani (wafat 1800
M). Menurut riwayat Tasawuf di Indonesia, sebelum ke Palembang Syekh Abdussamad
al-Falimbani dahulunya menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Aceh. Sejarah itu diperkuat
melalui Syair dalam buku panduan Meugrob. Syekh Abdussamad al-Falimbani telah mengajarkan
doa dan zikir yang didapatkannya dari Syekh Samman. Mulanya tarekat ini murni
mengajarkan zikir yang termuat dalam ratib Samman, namun dalam perkembangannya,
zikir itu dinyanyikan oleh sekelompok orang.
Meugrob bisa dikatakan
sebuah ritual keagaman yang sudah menjadi budaya, dan dilakukan dalam bentuk seni
tari gerak yang diawali oleh posisi duduk dan diakhiri dengan posisi berdiri
dengan berputar dan meloncat-loncat sambil berzikir.
Snouck Hurgronye pernah
menulis sebuah praktek keagamaan yang mana orang Aceh menyebutnya Meugrob:
“ Mula-mula mereka berkumpul dengan irama sedang
mendendangkan ayat-ayat yang memuja kebesaran Allah, tetapi lambat-laun irama tadi
bertambah cepat, ayat-ayat yang tidak henti-hentinya diulang bertambah pendek
(misalnya: 'huu Allah! hu da'em! hu!, dan lain-lain), suara pun makin keras dan
memekik. Mereka yang berteriak-teriak dengan fanatik itu berkeringat karena
kerasnya gerakan, kadang-kadang berdiri, kemudian duduk kembali, melompat lompat
dan menari-nari, akhirnya banyak diantara mereka jatuh pingsan oleh karena
kegembiraan yang meluap-luap yang timbul dalam memikirkan sesuatu yang bersifat
ketuhanan, menurut kehendak atau anggapan masing-masing. Keadaan demikian itu
oleh orang Aceh dinamakan do'), dan bentuk rateb saman yang riuh rendah itu
diberi nama rateb mensa atau kuluhe't”
Menurut Snouck Hurgronje(orientalis
yang menulis tentang Islam di Indonesia), Syekh Samman menulis sejumlah ratib
yang terkenal dengan nama Ratib Samman. Di Aceh, Ratib Samman dan atau Hikayat
Samman sangat populer. Ratib Samman inilah yang kemudian berubah menjadi suatu macam
permainan (tarian) rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian), (Usman
Said, 1981, 286). Tarian Saman ini hingga kini sangat terkenal di seantero
nusantara.
Snouck menulis bahwa ratib
yang dimainkan tersebut adalah ratib saman. Dia menyebutkan dalam bukunya Aceh
Di Mata Kolonial Jilid I; trawèh
(sebutan orang Aceh) tidak dilanjutkan - seperti biasanya - oleh meudaröih
(tadarus), tetapi oleh rateb yang riuh sekali. Rateb Saman (dari Samman,
pendiri sebuah tariqat yang meninggal di Madinah th 1152 Hijrah).
Dapat dikatakan bahwa Meugrob
adalah sebuah nama yang diberikan oleh para pemain atau penduduk yang
menyaksikan tarian tersebut karena adanya gerakan-gerakan meloncat. Di sisi
lain, Meugrob yang pada awalnya merupakan ritual telah berkembang menjadi ruang
untuk memberikan sangsi kepada anak-anak muda atau kepada pengantin Laki-laki
yang jarang bergabung atau shalat berjamaah di mushalla/mesjid oleh masyarakat
tempat tinggal istrinya. Lelaki yang melangsungkan perkawinan ke tempat di mana
terdapat Meugrob pada malam setelah perkawinannya akan dijemput oleh anak-anak
muda untuk diajak ke meunasah (mushalla), di sanalah dipeugrob akan dilangsungkan. Begitu permainan meugrob ini memasuki
gerakan berdiri sambil memutar-mutar maka sang pengantin tadi langsung dimasukkan
ke dalam lingkaran tersebut lalu diangkat-angkat dalam waktu yang cukup lama.
Itulah yang dikatakan dengan Peugrob
Linto. Sebuah proses yang kemudian dinamakan seni tari. Adapun
sumber-sumber sejarah yang menulis ini sangat sulit ditemukan, kecuali salah
satu referensi yang mengupas tentang ini adalah Buku Aceh dimata Kolonial Jilid
I dan II, dan dalam tulisan-tulisan tentang sejarah perjalanan Tariqat di Aceh.
Menurut Khalifah di Nagan
Raya, bahwa Meugrob Bensa adalah bagian Tariqat yang berasal dari Syekh Abdul
Qadir Jailani, karena di sana hanya menggunakan kalimat Zikir “Lailahaillallah…
Allah-Allah…Allah Qadim,..”dan seterusnya. Di Bireuen menggunakan kalimat “Allah
Hu..Allah Hu,..”. Sedangkan di Sigli, penulis
hanya menemukan kalimat dalam bahasa Aceh, yang dilakukan saat-saat memutar,
yaitu; ”,,,Linto Baroe ka Di peugrob.” Itu diulang-ulang beberapa kali.
Praktek Meugrob di Nagan
Raya, Sigli dan Bireuen secara praktek dapat dikatakan sama, namun yang berubah
adalah fungsinya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut; Praktek Meugrob
Bensa di Nagan Raya fungsinya untuk perayaan pada acara kegamaan dan hanya
dimainkan khusus pada bulan Ramadhan akhir, di Kabupaten Sigli lebih kepada
kebudayaan atau tradisi, walaupun ada syair-syair penuh dengan pesan-pesan
moral, tauhid dan dimainkan di malam Hari Raya Puasa. Sedangkan praktek di
Samalanga lebih ke sisi ekonomi, dimana praktek Meugrob di sana dilakukan oleh
sanggar, walaupun belakangan mereka mulai mengajarkan pada tingkat SMA dan SMP
di Kabupaten Bireuen. Namun di Samalanga sendiri syair-syair masih menggunakan
Syair Meugrob yang digunakan lama. Perubahan hanya lebih banyak terjadi pada
bentuk-bentuk gerak, karena biasanya disesuaikan dengan orang yang mengundang
serta jenis event yang dihadiri.
Azhari adalah Pegiat Film Dokumenter pada Yayasan Aceh Documentary, pembuat film dokumenter Meugrob.