Oleh: Rasyidin, S.Sn “Seni pertunjukan sebagai salah satu aspek penting dari kehidupan manusia, perkembangannya sangat diwarnai oleh...
Oleh: Rasyidin, S.Sn
“Seni
pertunjukan sebagai salah satu aspek penting dari kehidupan manusia,
perkembangannya sangat diwarnai oleh berbagai faktor non seni, yang paling
signifikan adalah faktor politik, sosial, ekonomi" (R.M.
Soedarsoeno:1999.47).
Mari
kita terjemahkan pernyataan di atas. Asyiknya bila kita mengurai struktur dan
bentuk pertunjukan Tradisional Aceh. Di sana terdapat metodologi berupa bentuk,
konsep, dan gagasan cerita. Selain itu, juga terdapat manuskrip cerita dari
legenda yang belum terungkap, serta sejarah yang terpotong-potong hingga
pertunjukan yang bersifat “aliran senin-kamis ria”.
Adapun
terdapat delapan seni pertunjukan teater tradisional yang tercatat saat ini di
Aceh, namun hanya tiga diantaranya yang sudah mendapat perhatian secara serius
dalam dunia akademik. Tiga bentuk seni pertunjukan tradisional tersebut adalah Dangderia dari Kabupaten Aceh Barat Daya,
Mop-mop dari Kabupaten Aceh Utara dan
Kota Lhokseumawe, serta Dalupa dari Kabupaten
Aceh Barat (masih berstatus artikel dan literatur biasa). Sedangkan lima
lainnya antara lain; Phob dari
Kabupaten Pidie, Gelanggang Labu dar
Panton Labu Kabupaten Aceh Utara, Geudumbak
dari Kabupaten Aceh Jaya, Geunderang
Kleng dari Kabupaten Pidie, Peh Tem
dari Kabupaten Pidie, serta Sandiwara Aceh dan Totek dari Kabupaten Aceh
Singkil (masih dalam pencarian informasi). Hal tersebut terungkap dalam hasil riset
yang dituangkan Dr. Sulaiman Juned melalui buku Pemetaan Media Tradisional
Komunikatif Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi, yang diterbitkan KOMINFO (2011:191).
Dalam
Catatan Menuju Festival Teater Aceh, terdapat satu pertanyaan penting yang
harus kita jawab bersama, yaitu tentang bagaimana melanjutkan jejak perjalanan
teater modern Aceh. Hal ini tentunya untuk meneruskan tongkat estafet sejarah yang
selama ini seperti terputus. Ini penting, untuk menjadi cerminan bagi kita
dalam usaha menemukan ide atau gagasan-gagasan, untuk penguatan Teater Kampus,
yang mengawinkan materi dari masa dengan materi di masa modern, dan sekaligus
untuk penguatan nilai serta perkenalan terhadap nilai merdernitas motode
antropologisme ke-Acehan.
Sastrawan
Saini K.M pernah menyatakan, bahwa “Seni tradisional tumbuh dan berkembang
serta dibutuhkan untuk dan oleh masyarakat pendukungnya. Maka dalam gerak
hidupnya, ia bergiat bersama pertumbuhan masyarakatnya sehingga tradisi yang
tidak mampu berkembang adalah tradisi yang menyalahi kifrah hidupnya”. Pernyataan
beliau di atas bisa diartikan bahwa seni pertunjukan tradisional memiliki
idiom-idiom teatrikal yang perlu kita kenal dan kita pelajari. Upaya tersebut setidaknya
dapat memperkaya para kreator dalam mengembangkan konsep berkarya di dunia
teater modern saat ini. Pernyataan di atas sangat mungkin dapat mengilhami kita
agar tetap mengingat sejarah dan mengangkatnya sebagai kekayaan dalam
perjalanan Teater Dunia.
Akan
berlangsungnya Festival Teater Aceh pada tanggal 1-4 November 2016 di Taman
Budaya Aceh adalah sebuah jawaban atas hidupnya gagasan berkarya baru di Aceh. Tentunya
ini menjadi angin segar bagi dunia teater Nasional. Semoga semua akan terjawab
melalui karya-karya yang akan dihadirkan nantinya. Selamat menanti.
[Rasyidin, S.Sn adalah Ketua Komite Teater di Dewan
Kesenian Aceh, Mahasiswa Pascasarjana Institut Seni Indonesia Padangpanjang]