A.D. Pirous & Andri Satria Pada kesempatan ini acehmediart.com berkesempatan mewawancarai seorang seniman besar Indonesia, yang b...
![]() |
A.D. Pirous & Andri Satria |
Pada kesempatan ini acehmediart.com berkesempatan mewawancarai seorang seniman besar Indonesia, yang bernama lengkap Abdul Djalil Pirous atau biasa disingkat A.D. Pirous, lelaki kelahiran Meulaboh, Aceh pada tanggal 11 Maret
1932. Ia menyelesaikan pendidikannya di Departemen Seni Rupa, Institut Teknologi
Bandung (ITB), 1964. Lalu melanjutkan studi tentang printmaking dan desain grafis di
Rochester Institute of Technology, Rochester New York, Amerika Serikat (1969),
dan sekembalinya ke tanah air, merintis pendidikan desain grafis di Seni Rupa
ITB, serta mendirikan studio seni dan desain bernama Decenta (1973). Selanjutnya,
menjabat sebagai Dekan pertama Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1984-1990),
dan dikukuhkan sebagai guru besar ITB sejak 1994.
Perjalanan kariernya sebagai
pelukis dilakukan dalam masa yang panjang sejak 1960, dan karya-karyanya telah
dipamerkan dalam ratusan kali pameran berskala nasional maupun internasional.
Pameran tunggalnya telah dilaksanakan lima kali termasuk di antaranya: Pameran
Retrospektif I untuk karya 1960-1985, di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tahun 1985 dan Retrospektif
II untuk karya 1985-2002, di Galeri Nasional, Jakarta pada tahun 2002. Selain
itu, beberapa kali ditunjuk sebagai ketua delegasi, anggota juri, dan kurator
pameran seni rupa tingkat internasional, mewakili Indonesia. Ia memperoleh banyak
penghargaan atas prestasinya sebagai seniman dan budayawan, diantaranya
adalah: Anugerah Seni oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1985), dan
Satyalancana Kebudayaan oleh Presiden Republik Indonesia (2002). A.D. Pirous hingga sekarang (2015) masih tetap produktif dalam berkarya, di umurnya yang ke 84 Tahun.
Wawancara dilakukan oleh Andri Satria pada tanggal 16 Juni 2016, di Serambi Pirous, Jalan Sangkuriang, Bandung. Andri Satria menyambangi A.D. Pirous yang sedang memamerkan karya-karya lukis terbarunya. Sekedar bersilaturrahmi dan mencari pencerahan terhadap dunia seni di Aceh, Andri kemudian memulai pembicaraan dengan melemparkan pertanyaan tentang seni rupa Aceh. Pertanyaan yang sontak mengganggu pikiran A.D. Pirous, yang saat itu sedang menjawab berbagai pertanyaan lain dari orang-orang yang sedang mengerumuninya untuk bertanya berbagai hal tentang seni rupa Indonesia. Saat itulah, Andri ditarik untuk berbicara lebih lanjut ke meja diskusi, untuk menceritakan tentang perjalanan hidupnya bersama seni rupa dan Aceh. Berikut petikan wawancaranya:
Pak A.D. Pirous, siapa sebenarnya A.D. Pirous?
Saya adalah seorang pelukis. saya belajar seni rupa selama 5 tahun
di Akademi Seni Rupa. Hanya mengetahui seni rupa yang tertua di Indonesia
dari kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasil pendidikan itu menjadikan saya sebagai seorang pelukis
layaknya semua pelukis di Indonesia. Selepas dari itu, saya baru mengetahui teori dan praktik sebagai
seorang pelukis yang berstandar akademik.
Kapan bapak
menemukan identitas diri sebagai A.D. Pirous?
Saya menemukan diri saya ketika saya terpanggil menggali kaligrafi di atas bumi Aceh yang mulia. Itu yang membawa saya seperti sekarang
ini. Ketika di New York tahun 1970, saya terdampar di sana, hingga terdapatlah pertanyaan
dalam diri saya, di mana seni
lukis Indonesia itu? di mana seni rupa Indonesia itu? Kalau kamu pelukis, siapa pelukis Indonesia itu? di mana kamu, jika kamu adalah pelukis Indonesia? Suatu ketika
saya pernah datang pada suatu pameran besar metropolitan di New York, Manhattan. Di situ tiba-tiba
saya melihat pameran seni Islam tradisional yang besar sekali, yang menyangkut karya-karya dari seniman Afrika Utara, baik kaligrafi, naskah dan macam-macam. Ketika melihat itu tubuh saya gemetar, seperti mendapat suatu
jalan dari pertanyaan saya itu. Di situ saya
membuat akad bagi diri saya, dan sejak saat itu saya langsung kembali ke Aceh, saya harus
mengeksplore kaligrafi, di mana saya
sudah akrab sebelumnya.
Mesjid tempat saya belajar agama, makam-makam di dekat saya penuh dengan khat yg indah, cantik, yg tidak pernah menjadi perhatian saya sejak saya masuk di Akademi. Terputus hubungan saya dengan kampung halaman, terpaut kembali ketika saya berada di New York. Saya sadar saya di situ rupanya. Ketika saya kembali ke Indonesia, saya letakkan koper di rumah saya di Bandung dan saya kembali ke Aceh, ke Kampung Pande, Lhoksemawe, Geudong, Peurlak, saya kunjungin semuanya. Dua tahun setelah itu, di tahun 1972, lahirlah pameran pertama di The Chace Manhattan Bank di Jakarta. Untuk pertama sekali di Indonesia ada sejarah lukisan kaligrafi Islam. Sejak saat itu semua seniman melihat dan ikut dalam seni lukis kaligrafi Islam, sehingga pada tahun 1979 tepatnya 7 tahun setelah itu menjadi wabah Nasional. Ada pameran besar kaligrafi di semarang dan di Istiqlal Jakarta. Setelah itu, di Aceh waktu itu juga ada MTQ Nasional Tahun 1981. Jadi semua ledakan-ledakan ini “dari gampong geutanyoe”, semua saya menggali itu. Jadi saya besar bukan karena saya belajar di luar, akan tetapi di Aceh.
Andri, jangan mimpi ketika Andri ingin sukses, merasa harus belajar di Bandung, kamu bisa belajar di mana saja, tapi yg kamu
gali itu apa? Di mana kamu
berdiri? Di mana kamu
dilahirkan? Aceh
sangat kaya pada aspek itu. Itu barangkali yang menolong saya untuk dikenang. Sehingga sekarang itu
saya tidak bisa menolak kalau saya dibilang sebagai seorang seniman seni rupa modern Islam. Sejarah telah mengubah saya. Jadi pada
kesimpulan itu, itu ada pada tangan kita sendiri, pengolahan itu kita lakukan. Ya memang
koper test study saja, bagi kaum pemuda Aceh, yang ada di Bandung, Jakarta, Jogja, Semarang, Malang, dan di tempat-tempat lainnya. Sering
melihat, wisata harus sering dilakukan, simak apa yang terjadi, kalau itu
dilakukan insya Allah itu bisa mendapatkan
suatu pencerahan.
Menurut bapak, apa itu kesenian, dan bagaimana
membangkitkan kesenian di Aceh?
Yang dikatakan
kesenian itu adalah cerminan diri kita sendiri. Kalau kita belajar dari diri
kita sendiri ya itulah diri kita. Kesenian adalah penggabungan antara pengetahuan, skill, dan eksperimen. Suatu ketika, rombongan guru-guru besar dari Aceh pernah datang ke rumah saya, Alm Habballah M Saad, Prof Darwis Meulaboh, dan beberapa
orang lagi dari Dinas Pariwasata, mereka bercerita tentang minta advise bagaimana mendirikan Dewan Kesenian di Aceh atau mendirikan Sekolah Institute Kesenian di Aceh (IKA). Di situ saya sarankan supaya menghubungi Institute Teknologi Bandung untuk kerjasama dan saya bersedia menjadi penasehat
untuk tim bekerja dengan satu resep. Bikinlah suatu
resep yang
standar Nasional, dengan local contes ke-Acehan. Apa itu ke-Acehan? saya akan susunkan, sehingga tersusunlah sebuah konsep pendikakan Institute Kesenian Aceh. Di Bener Meriah itu mau diadakan dulu, akan tetapi itu
gagal. Sekarang ada yang lain di Jantho (ISBI Aceh), itulah konseb yang saya maksud pada saat itu. Berikanlah dan ajarkanlah standar
standar, ya paling tidak menjadi Institute Kesenian seperti itu. Tapi jangan
lupa berikan nafasnya, jiwanya, yaitu spirit Aceh. Apa itu? Itu yg harus kita cari. Itulah yang bisa digali, yang sudah jarang kita lakukan, baik arsitektur atau lainnya. Itu yang dicari, diramu kembali sehingga tumbuh kembali local contes yang ada di Aceh.
Apakah karya bapak merupakan simbol tentang pesan Tuhan kepada
umatnya?
Di situ tertera (menunjuk tulisan kaligrafi pada lukisannya),
wa la tamsyi fil ardhi...“janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan menadah dagu ke atas”, itu adalah teguran
kepada orang yang tak tau diri. Di sebut dengan bahasa simbolnya sebagai teguran yang
keras. Jadi sebenarnya lukisan
lukisan saya itu mempunyai tiga unsur, tiga pilar yang harus dipegang. Yang Pertama, kemampuan
melukis, baik
otodidak maupun akademik. Yang Kedua,
kemampuan bereksplore dalam khat kaligrafi, itu ada ilmunya, itu seni yang terpisah
yang sukar sekali ditaklukkan oleh kita. Ketika sudah ditaklukkan, itu dikawinkan. Ketika dia dikawinkan, lukisan itu jadi berbunyi karena ada tulisan. Ketika tulisan itu
dibaca, dia
harus mengatakan sesuatu. Ketika dia mengatakan sesuaatu, ada wawasan di sana. Dan yang Ketiga, ada pesan (message), diungkapkan melalui kaligrafi
dengan tema yang terbaca. Jadi setiap lukisan itu mempunyai message, enak dilihat tapi juga suatu pesan yang membuat
kita kaya berfikirnya dan sekaligus itu mengatakan sesuatu ketika menjadi aktual, kontekstual dengan
siatusinya. Kalau saya merasa masyarakat kita mulai terlihat dalam situasi
kosombongan,
setiap orang tidak tau dirinya sedang
mencari apa yang
dikatakan dalam Alquran terhadap situasi itu. Sederhananya seperti ini. Jadi dalam lukisan ada
yang mau dikatakan, tau bagaimana mengatakan, bagaimana mengatakan itu dengan kemampuan teknik. Tapi yang paling penting
setelah itu sebenarnya kamu mau mengatakan apa dengan karya itu?
Pak A.D. Pirous, haruskah sebuah lukisan itu selalu digunakan
sebagai media penyampaian pesan oleh seorang pelukis?
Bagi saya, kalau karya
itu tidak memberikan suatu pesan, itu seperti pohon yang subur berdaun lebat tapi
tidak berbuah, jadi tidak bisa dicicipi buahnya itu.
Bicara mengenai obsesi, adakah sesuatu yang belum pak A.D Pirous capai, dan masihkah pak A.D. Pirous mempunyai obsesi tersebut?
Kalau dalam kesenian itu, makin ke sini saya makin tidak mmbicarakan kesenian, tapi apa yang berarti untuk kemanusiaan melalui kesenian. Kemudian ada pertanyaan, objek atau tema apa yang saya ingin capai? ada, yang lama sekali ingin saya capai untuk membuatnya, yaitu tentang kisah pohon yang ada di langit ketujuh, yang setiap lembar daunnya salah satunya adalah nama kita sendiri, yang jatuh ketika ajal menjemput kita. Itu tidak berani saya lukiskan. Nafsu untuk melukis itu luar biasa ada dalam diri saya, tapi sekali lagi saya tidak berani untuk menggambarkannya. Paling-paling saya sampai ke Lauhul Mahfudz.
Sebelumnya pak A.D. Pirous pernah menceritakan tentang belum bisa melukiskan tsunami, kenapa bapak belum bisa melukiskan itu, apa alasannya?
Itu karena terlalu banyak penderitaan di sana. 70% keluarga saya hilang, bagaimana saya melukiskan itu, takut saya, emosi murah itu keluar. Paling-paling yang berani saya buat adalah ada kasat yang dibawa air dan berlumuran lumpus, mesjid yang tertinggal seperti di Lhoknga, makam-makan di Kampung Pande dan di Geudong yang hancur di makan tsunami. Itu yang saya gambarkan, tidak jauh dari itu.
Jika semua yang terjadi di dunia ini adalah pesan, apa yang menjadi pesan tsunami untuk pak A.D. Pirous?
Pesan bagi saya sangat besar, yaitu tsunami mengantarkan pada kita betapa jayanya kerajaan Aceh, dengan pasar internasional itu terkubur satu meter di bawah laut, dibongkar oleh ombak, keramik-keramik sebagai pertanda, bahwa saya kumpulkan kembali, saya susun menjadi lukisan-lukisan.
Bagaimana pak A.D. Pirous menangkap perasaan dari Tsunami itu, yang menurut pak A.D. Pirous telah mengantarkan budaya?
Pada saat itu memang ada perasaan yang kasar. Jadi kebudayaan itu ada dua, yaitu dari pusat ke atas, dan dari pusat ke bawah. Pahamilah sendiri.
Apa yang pak A.D. Pirous ingin
sampaikan kepada generasi muda Aceh?
Ingatlah kembali pesan dari sang pencipta, banyak bertanya. Nabi saja dengan Jibril juga bertanya, tentang kenapa dia harus membaca. Banyaklah membaca. Iqra.
*******