Banda Aceh - Pembahasan mengenai bioskop kembali mengemuka di Aceh, khususnya di media sosial dan tempat-tempat berkumpul anak muda s...
Banda Aceh - Pembahasan mengenai bioskop kembali mengemuka di Aceh, khususnya
di media sosial dan tempat-tempat berkumpul anak muda seperti warung kopi. Kali
ini hadirnya Walikota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin
Djamal dan sejumlah anggota DPRK Banda Aceh
beserta keluarga untuk nonton bareng film “Surga Menanti” di bioskop XXI di
Jakarta pada Senin (30/5/2016) sebagai penyebabnya.
Berbagai kalangan mengkritik perempuan yang akrab dipanggil Bunda Illiza, yang dianggap hanya peduli pada kebutuhan pribadinya dan tidak mau peduli pada nasip masyarakat Banda Aceh yang membutuhkan bioskop. Seperti yang kita ketahui, di Film "Surga Menanti" yang ditonton Bunda Illiza di Jakarta tersebut, selain salah satu lokasi syutingnya di Banda Aceh, Illiza juga bermain dalam film sebagai Walikota di bagian akhir cerita dan ikut mengisi soundtracknya yang berjudul "Wasiet Bunda".
Kritik hingga yang bernada olok-olok terhadap pengemudi "Kota Madani" itu telah mulai menghiasi laman-laman media sosial dan situs-situs berita media online di Aceh sejak adanya kabar dan tersebarnya foto pada saat nonton bareng Bunda Illiza di Bioskop XXI Jakarta. Salah seorang pelaku film dokumenter Aceh, Jamaluddin Phonna, yang juga Direktur di Aceh Documentary (ADC) yang mengetahui perihal tersebut pun angkat bicara. Ia bahkan tidak membela kalangan yang sedang membutuhkan bioskop. Justru dirinya menganggap bahwa tidak penting ada bioskop di Aceh.
Hal ini diungkapkan Jamaluddin Phonna ketika berkunjung ke kantor acehmediart.com pada Selasa malam (31/6/2016). Menurutnya, jika pun ada bioskop di Aceh, ini hanya menguntungkan segelintir orang saja. "Bioskop itu tidak penting ada di Aceh, yang kita butuhkan hanya ruang pemutaran film alternatif" ungkap Direktur ADC tersebut.
Lebih lanjut dia menjelaskan alasannya tentang bioskop yang dianggapnya tidak penting ada di Aceh tersebut. Dia beranggapan bahwa jika bioskop ada di Aceh, ini akan membunuh antusias terhadap film-film lokal yang sedang menggeliat akhir-akhir ini. "Ini kita sedang membangun Apresiasi terhadap film-film lokal dulu, khususnya film-film dokumenter. Jika bioskop ada di Aceh, otomatis orang-orang akan beralih untuk mencintai film-film asing dan enggan untuk menonton film-film lokal. Realitasnya sekarang kan kita begitu, sangat mudah meninggalkan kelokalan kita. Untuk sekarang yang kita butuhkan adalah ruang-ruang seni gratis dan mudah dijangkau. itu saja dulu" ungkapnya.
Berbagai kalangan mengkritik perempuan yang akrab dipanggil Bunda Illiza, yang dianggap hanya peduli pada kebutuhan pribadinya dan tidak mau peduli pada nasip masyarakat Banda Aceh yang membutuhkan bioskop. Seperti yang kita ketahui, di Film "Surga Menanti" yang ditonton Bunda Illiza di Jakarta tersebut, selain salah satu lokasi syutingnya di Banda Aceh, Illiza juga bermain dalam film sebagai Walikota di bagian akhir cerita dan ikut mengisi soundtracknya yang berjudul "Wasiet Bunda".
Kritik hingga yang bernada olok-olok terhadap pengemudi "Kota Madani" itu telah mulai menghiasi laman-laman media sosial dan situs-situs berita media online di Aceh sejak adanya kabar dan tersebarnya foto pada saat nonton bareng Bunda Illiza di Bioskop XXI Jakarta. Salah seorang pelaku film dokumenter Aceh, Jamaluddin Phonna, yang juga Direktur di Aceh Documentary (ADC) yang mengetahui perihal tersebut pun angkat bicara. Ia bahkan tidak membela kalangan yang sedang membutuhkan bioskop. Justru dirinya menganggap bahwa tidak penting ada bioskop di Aceh.
Hal ini diungkapkan Jamaluddin Phonna ketika berkunjung ke kantor acehmediart.com pada Selasa malam (31/6/2016). Menurutnya, jika pun ada bioskop di Aceh, ini hanya menguntungkan segelintir orang saja. "Bioskop itu tidak penting ada di Aceh, yang kita butuhkan hanya ruang pemutaran film alternatif" ungkap Direktur ADC tersebut.
Lebih lanjut dia menjelaskan alasannya tentang bioskop yang dianggapnya tidak penting ada di Aceh tersebut. Dia beranggapan bahwa jika bioskop ada di Aceh, ini akan membunuh antusias terhadap film-film lokal yang sedang menggeliat akhir-akhir ini. "Ini kita sedang membangun Apresiasi terhadap film-film lokal dulu, khususnya film-film dokumenter. Jika bioskop ada di Aceh, otomatis orang-orang akan beralih untuk mencintai film-film asing dan enggan untuk menonton film-film lokal. Realitasnya sekarang kan kita begitu, sangat mudah meninggalkan kelokalan kita. Untuk sekarang yang kita butuhkan adalah ruang-ruang seni gratis dan mudah dijangkau. itu saja dulu" ungkapnya.