Oleh: Kuss Indarto Perhelatan ArtJog di halaman Taman Budaya Yogyakarta. Lembaga kesenian seperti Taman Budaya Yogyakarta ini, sesungg...
Oleh: Kuss Indarto
BELAKANGAN ini, menilik beberapa Taman Budaya secara fisik tampak
makin memprihatinkan. Taman Budaya Sumatera Utara di Medan—kota terbesar ketiga
di Indonesia—tampak tak terawat dan terkepung sekian banyak bangunan megah.
Rencana tukar guling belum kunjung tuntas. Di Pontianak, banyak bangunan di
dalamnya kurang representatif. Bahkan untuk menggelar pameran seni rupa
berlevel propinsi pun tak ada ruangan yang memadai. Demikian pula dengan di
Makassar—sebagai kota terbesar di Indonesia Timur. Taman Budaya di kota itu
nyaris tersembunyi dan tenggelam dalam keriuhan perkembangan kota yang begitu
dinamis. Keadaan yang ironis juga terlihat kalau kita mengunjungi Taman Budaya
Sulawesi Tenggara di Kendari yang hingga tahun 2013 memiliki sekitar 11 gedung
namun hanya separuhnya yang berfungsi—lainnya nyaris roboh. Uniknya, kawasan
itu hanya berjarak sekitar 300 meter dari menara megah setinggi puluhan meter
dan berharga puluhan miliar rupiah. Belum lagi Taman Budaya di propinsi lain
yang keadaan fisiknya serupa dengan itu.
Memang, setidaknya dalam dua tahun terakhir sudah ada program
revitalisasi yang dilakukan oleh Kemendikbud, namun suntikan dana untuk
revitalisasi itu belum sepenuhnya menyentuh persoalan mendasar yang dibutuhkan
oleh berbagai Taman Budaya yang ada di Indonesia. Sebagai contoh kecil, galeri
baru di Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya yang didisain tanpa melibatkan
pihak yang memiliki kompetensi sehingga hasilnya kurang layak sebagai ruang
pameran yang representatif—apalagi sekelas kota yang mulai menginternasional
semacam Surabaya. Sementara Taman Budaya Yogyakarta mulai banyak ditopang oleh
Dana Keistimewaan (Danais) yang anggarannya tahun 2015 diduga hingga Rp 10
miliar, dan lebih dari itu—secara mendasar—banyak dibantu oleh SDM seniman yang
luar biasa berkualitas di kawasan tersebut.
Titik Balik Sejarah
Kemunculan Taman Budaya sendiri, secara historis, tak terlepas dari
kebijakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia dalam kurun 1970-an. Direktur Jenderal Kebudayaan kala itu,
Prof. DR Ida Bagus Mantra, menyaksikan bahwa di banyak negara lain pusat-pusat
kebudayaan dan kesenian begitu hidup dan berkembang marak. Pusat-pusat semacam
itu didukung prasarana dan sarana yang bagus seperti gedung pertunjukkan,
galeri seni rupa, teater terbuka, dan ruangan lokakarya yang sangat terpadu.
Kenyataan ini mengilhami pemikiran Mantra tentang pentingnya pusat kebudayaan
dan kesenian didirikan di setiap povinsi di Indonesia. Sekurangnya pusat-pusat
kebudayaan itu dapat menjadi etalase bagi kekayaan ragam seni budaya daerah di
negeri yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika ini.
Pada tahun 1978, dengan masukan dari kalangan seniman dan
cendekiawan, berdasarkan surat keputusan Mentreri Pendidikan dan Kebudayaan
berdirilah pusat-pusat kebudayaan yang disebut Taman Budaya di beberapa
propinsi di Indonesia. Ketika itu secara kelembagaan Taman Budaya adalah Unit
Pelaksana Teknis bidang kebudayaan yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal
Kebudayaan yang berkedudukan di Jakarta. Tugas Taman Budaya ialah melaksanakan
pengembangan kebudayaan daerah di provinsi. Tahun 1991, organisasi dan tata
kerja Taman Budaya mengalami perubahan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0221/O/1991.
Dan perubahan besar terjadi mulai tahun 1999 ketika Taman Budaya di
seluruh Indonesia ditempatkan dalam struktur Pemerintah Daerah sesuai dengan
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000
tentang otonomi daerah. Implikasinya besar, karena Taman Budaya didanai oleh
masing-masing daerah, dan kebijakan tentang pendanaan itu sangat bergantung
pada interest tiap (kepala) daerah. Sayangnya, seni budaya bukanlah lahan
menarik bagi sebagian (kepala) daerah karena dianggap tidak membawa reward
ekonomi dengan cepat dan besar. Reward nilai-nilai kultural bagi generasi muda,
misalnya, tampaknya tak jadi banyak pertimbangan. Maka, dana “yang hanya
sekadarnya” yang dikucurkan untuk Taman Budaya.
Reposisi Taman Budaya.
Menilik lintasan fakta di atas, saya kira, ada beberapa problem
mendasar yang bisa dipetakan dan kemudian menjadi indikator awal untuk
menggagas Taman Budaya baru ke depan yang lebih baik. Pertama, problem dana
tampaknya menjadi masalah mendasar yang membelit berbagai Taman Budaya. Namun,
ini bisa menjadi excuse bagi banyak pengelola lembaga tersebut untuk menihilkan
kreativitas. Seolah dana adalah segala-galanya. Ini yang perlu dihindari dan
perlu strategi kreatif dari para pengelolanya untuk mengatasinya. Problem kedua
adalah meninjau kembali keberadaan Taman Budaya dalam relasinya dengan otonomi
daerah. Setelah sekitar 15 tahun lembaga ini beroperasi dalam payung otonomi
daerah, tampaknya tidak memiliki implikasi yang jauh lebih baik. Bahkan dalam
beberapa kasus malah terjadi kemunduran. Kalau betul bahwa otonomi daerah
menjadi kerikil pengganggu dalam pengelolaan Taman Budaya, ada baiknya
pemerintah pusat segera mengambil alih posisi itu. Atau diambil jalan tengah
dari tarik-menarik antara dua pihak itu.
Ketiga, visi dan misi dari keberadaan Taman Budaya perlu diturunkan
lebih membumi dan inovatif untuk mereposisi dirinya. Dalam konteks ini,
sebaiknya Taman Budaya tak sekadar diposisikan sebagai ruang presentasi bagi
seniman atau publik seni. Taman Budaya dimungkinkan bisa menjadi semacam art
lab (laboratorium seni, atau apapun namanya) yang bisa memfasilitasi seniman,
pekerja seni, periset seni, atau pihak lain dari berbagai lintas disiplin ilmu
untuk berproses di dalamnya—dengan tetap mengedepankan seni budaya sebagai
subyek persoalan utamanya. Hal yang melekat ada dalam art lab adalah semacam
pusat studi dan pusat dokumentasi. Dari ketersediaan atas hal itu para
pengelola Taman Budaya dan seniman bisa melakukan berbagai eksperimentasi
kreatif sehingga bisa memungkinkan kelahiran karya-karya seni yang lebih baru
dan kreatif. Kalau tiap Taman Budaya punya visi untuk mengedepankan aspek
tradisi dan lokalitas, maka pusat studi dan pusat dokumentasinya pun bisa lebih
fokus ke aspek tersebut.
Melihat perkembangan seni budaya global yang makin banyak
mengintrusi ke dalam seni budaya di Indonesia tentu akan mengayakan daya kreasi
para pekerja seni dan mendinamisasi daya resepsi bagi publik seni. Pada titik
inilah, tentu sayang kalau Taman Budaya masih statis keberadaan dan gerak
fungsinya seperti selama ini. Sebagai salah satu pemangku kepentingan (stake
holder) seni budaya sudah saatnya peka untuk mereposisi diri demi mewarnai
perkembangan zaman. Kalau tidak, Taman Budaya akan menjadi Taman Makam Budaya.
Penulis adalah Kurator
seni rupa, editor in chief www.indonesiaartnews.or.id
Sumber: www.indonesiaartnews.or.id
