Oleh: "Tu-ngang" Iskandar Sungguh kita akan menyaksikan suatu ingatan Aceh itu akan bertemu kembali dengan generasi pewaris...
Oleh: "Tu-ngang" Iskandar
Sungguh kita akan menyaksikan
suatu ingatan Aceh itu akan bertemu kembali dengan generasi pewarisnya di suatu
waktu, ketika anak muda Aceh secara sungguh-sungguh dapat mengisi sudut-sudut kosong
dari pembangunan yang semakin liar ini. Anak muda Aceh, walau di manapun harus
memiliki kesadaran revolusioner yang estetis, bahwa tiada guna bermanja-manja
atau bersibuk-sibuk menyusun caci maki untuk para penguasa, karena jika memang orang-orang
yang punya kemampuan besar lagi dalam posisi strategis tidak dapat berbuat
banyak untuk Aceh, mereka adalah manusia asing yang hidup hanya dari kemampuan
menjilat dan mengandalkan rasa kasian kita semata. Bukankah lebih menyedihkan
jika anak muda Aceh mengemis pada mereka? Lebih baik kita memutar otak sendiri,
melepas jangkar kesia-siaan itu dan berpetualang bersama pemuda-pemuda bersemangat
lainnya untuk menunjukkan bahwa Aceh masih punya masa depan yang lebih lebih
dapat diandalkan, lewat generasi yang pantang duduk di warung kopi sebelum
menghasilkan karya apapun untuk bangsanya.
Anak muda Aceh, walau
bagaimanapun harus merebut gudang ingatan Aceh, yang sebagian isinya telah tercecer
di jalanan berdarah dan menjadi bentuk trauma yang berkepanjangan bagi Aceh. Keping-keping
yang tercecer dan yang terdapat dalam gudang ingatan itu, jika tidak segera
kita pindahkan ke dalam medium-medium estetik seperti film, lukisan, lagu,
hikayat, puisi, dan berbagai bentuk seni lainnya, ia akan menjadi duri dalam
sejarah dan besar kemungkinan dapat menusuk jantung Aceh dalam perjalanan menuju
masa depan.
Menggempur Ingatan Orang Aceh
Berbicara mengenai itu semua,
sejenak kita akan mengingat kembali mengenai begitu lemahnya kita dalam hal
dokumentasi, terutama secara objektivitas. Katakanlah di zaman Belanda hingga
Jepang, kita begitu mengandalkan kekuatan ingatan dan lisan dalam
mendokumentasikan suatu fakta sejarah. Di zaman itu, kita secara bersamaan pun menjadikan
lisan sebagai media propaganda dalam melawan penjajah dan sekaligus juga untuk
merekam fakta-fakta atau realitas dari sejarah. Bercampurnya ingatan sebagai fakta
ataupun ingatan sebagai propaganda ini, secara tidak disadari telah
mempengaruhi tingkat autentisitas sebuah medium komunikasi untuk dipercayai
oleh masyarakat luas. Terutama karena begitu banyak distorsi atau perubahan
pada komunikasi lisan, baik yang dipengaruhi oleh aspek psikologis, ekonomi, politik,
ataupun lainnya.
Namun demikian, bukan berarti
orang Aceh saat itu kehilangan akal dalam melawan kecanggihan penjajah dalam
menggunakan media komunikasi. Berbagai fakta maupun propaganda telah juga
ditransfer melalui berbagai medium seni yang sarat kekuatan lisan, seperti
hikayat, puisi, pantun, syair dalam tarian, ataupun berbagai seni lainnya yang
mungkin tidak kita ketahui saat ini, oleh karena sedikitnya dokumentasi yang
bisa kita dapatkan. Sedangkan film-film yang dibuat Belanda ataupun Jepang,
baik melalui sutradara pribumi maupun bukan, telah lebih berpengaruh dalam
melahirkan sebuah pandangan secara luas, oleh karena media tersebut sangat
mudah dipindahkan untuk mentransfer suatu wacana yang ingin disampaikan. Sebuah
film tentang aceh yang dibuat masa Hindia Belanda tahun 1940 dengan judul “Rentjong
Atjeh” misalnya, ia telah diputar sampai ke British Malaya dan menjadi film
drama pertama tentang sejarah besar Melayu. Namun apa hendak dinyana, film tersebut
sebenarnya lebih dapat dikatakan sebagai materi dalam mengolok-olok bangsa Aceh
di hadapan orang lain, lewat tanda bajak laut, seperangkat kostum bergaya
Tarzan, serta berbagai hal lainnya yang boleh jadi berlawanan dengan citra yang
harus dibangun tentang Aceh. Itulah sebagian contoh yang bisa dijadikan sebab-sebab
mengapa kita selalu tersudutkan jika tidak berhasil menunjukkan kenyataan yang
sebenarnya.
Kita selalu terlambat dalam
menyadari tentang betapa penting sebuah fakta yang terdokumentasi, baik berupa
audio maupun visual. Sedangkan kita tahu, bahwa sebuah landasan fakta dari
dokumentasi, baik itu di masa lalu ataupun masa kini, begitu menentukan daya
jangkau kita terhadap kecemerlangan masa depan. Lihatlah betapa bangsa-bangsa
yang telah berdiri pada garis depan kemajuan pada masa lalunya adalah kaum yang
begitu peduli pada masalah dokumentasi. Bukan saja mengenai dokumentasi dirinya
sendiri, namun juga tentang orang lain. Dengan menggunakan cara yang tidak
lazim sekalipun. Dan dari mengamati itu semua, kita seharusnya bisa menyadari
bahwa betapa pentingnya segudang ingatan bagi sebuah bangsa. Ingatan-ingatan Aceh
yang masih tersebar dan terus terjebak dalam berbagai bentuk, selayaknya kita
bebaskan kembali, demi proses analitis dan kritisme yang tidak selalu menggilakan dan menyesatkan.
Konflik terbuka antara Aceh dan
Indonesia pun telah membuka lobang baru atas tertimbunnya berbagai sejarah masa
lalu Aceh. Penghancuran artefak, penghilangan sumber sejarah dan berbagai
tradisi yang menjadi landasan hidup manusia Aceh diabaikan begitu saja ketika
konflik berlangsung. Pun tidak Cuma dalam masa itu, setelah Aceh dan indonesia
islah, berbagai kekakayaan yang tersisa dan belum sempat didokumentasikan pun
terbengkalai, tidak mendapatkan perhatian serius dari orang-orang yang
dipercaya dan digaji untuk peduli terhadap itu semua. Kita melihat kesadaran
Aceh benar-benar belum sembuh betul ketika pagi telah pun hampir sampai pada
pelataran siang. Kita masih saja saja tergopoh-gopoh dengan nafsu ingin maju,
akan tetapi membiarkan berbagai ingatan tercecer keluar dari koper-koper ingatan
kita. Sedangkan orang-orang yang datang dengan keinginan berbeda, baik di masa
lalu, sekarang, atau pun di masa yang akan datang tidak saja ingin mengambil
hasil alam, namun melebihi itu semua, mereka akan lebih dulu menggempur ingatan
kita bersama, untuk kemudian mengambil semuanya di hadapan kita.
Melihat kenyataan tentang “orang-orang
kita” yang tidak berfikir panjang lagi dan seakan-akan isi tengkoraknya telah
terburai keluar pascakonflik yang terjadi sebelumnya, kita tentu sangat sedih,
melebihi kesedihan kehilangan semuanya tentang aceh. Karena sebenarnya kita
sadar, bahwa berlari menuju masa lalu pun tidak akan bisa, dan menuju masa depan
pun tidak akan sanggup, ketika kita tidak melakukan suatu hal yang terbaik di
masa sekarang.
Film dan Masa Depan Aceh
Sebuah film yang
mendokumentasikan diri kita sama pentingnya dengan seribu peluru ketika berhadapan
dengan musuh. Sebuah ingatan yang terus bisa dijaga dan dibagi adalah modal
besar dalam menghadapi berbagai tantangan. Terdapat berbagai hal penting dalam
gudang ingatan seperti film, yang bisa menjadi landasan bagi pembangunan Aceh. Setidaknya
dalam beberapa tahun setelah konflik dan tsunami melanda Aceh, ratusan film
dokumenter telah dibuat oleh anak-anak muda Aceh dengan berbagai tema. Peristiwa
ini menjadi yang paling besar dalam sejarah dokumentasi audio visual Aceh, dan
tentunya walaupun sangat dipengaruhi oleh hadirnya teknologi informasi dan dokumentasi,
peran anak muda Aceh pada garis depan sangat penting untuk kita catat dalam
sejarah Aceh masa kini.
Festival Film Aceh (Aceh Film
Festival) yang akan diadakan pertama kalinya di aceh menjadi sebuah tonggak
besar dalam sejarah perfilman di Aceh. Kita tidak perlu mentangisi tentang
terlambatnya kita dalam mengadakan acara ini, karena jika kita kembali lagi
untuk mengingat sejarah tentang dunia perfilman dunia, Indonesia sendiri baru dapat
mengadakan festival film Indonesia yang pertama (1955), yaitu genap ketika 55
tahun hadirnya film pertama yang dicatat dalam sejarah di Indonesia (1900). Sedangkan
untuk Aceh sendiri, bukan tanpa alasan baru dalam 60 tahun kemudian, acara
festival semacam itu baru dapat dilaksanakan di Aceh, yaitu di tahun 2015 ini. Kendati
demikian, Festival Film Aceh bukanlah baru pertama kali diadakan untuk aceh,
setidaknya pada tahun 2003 ketika Aceh sedang berkecamuk dengan letusan senjata
karena Darurat Militer (DM) diberlakukan Pemerintah Indonesia, Festival Film Aceh
(FFA) diadakan di Yogyakarta. Festival film yang diadakan oleh Bungong Society ini
melibatkan sedikitnya 8 judul film, yaitu; Abrakadabra, Desa ku di Ufuk Barat,
Puisi Tak Terkuburkan, Perempuan di Wilayah Konflik, Tjoet Nya’ Dhien, Penyair
dari Negeri Linge, Pena-Pena Patah, dan Ceh Kucak Gayo.
Lahirnya puluhan sutradara muda Aceh
dan terwujudnya ratusan jenis film dokumenter berlatar Aceh selama tiga tahun
terakhir ini menjadi angin segar bagi dunia perfilman di Aceh. Hal ini menandakan
bahwa anak muda Aceh begitu serius dalam mengisi kekurangan dokumen tentang
Aceh. Ke depannya, semoga kita tidak cuma memiliki kebanggaan terhadap anak muda
kreatif dan bersemangat ini semata, namun juga memiliki kepekaan rasa untuk
bisa mengapresiasi karya-karya hebat mereka di hadapan meja film asing yang
terus menggempur waktu istirahat dan liburan kita.
Berbicara tentang film Aceh,
tentunya kita harus juga berbicara tentang berbagai genre film yang ada di Aceh.
Sebuah festival ataupun acara apresiasi tidak harus melahirkan diskriminasi di
kemudian hari. Karena terkadang sebuah gerakan, entah apapun namanya, sangat
mungkin berbesar kepala dan bersikap sinistis terhadap sesuatu di luar dirinya.
Semoga kita yang terlibat dalam membangun Aceh lewat film ini tidak mengabaikan
berbagai jenis bumbu lainnya yang mampu membuat sebuah ramuan film atau acara apresiasi
terasa begitu nikmat. Terhadap itu semua, secara khusus, kita berharap bahwa
acara Aceh Film Festival (AFF) di 2015 ini menjadi contoh terhadap sebuah iklim
film yang akan berkembang di Aceh. Sebuah kerjasama yang kuat antara berbagai
bidang dalam dunia kesenian sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan kepekaan
estetik dalam rangka melahirkan karya berkualitas dan acara yang berkelas. Salam
sinema.
Penulis adalah Mahasiswa Pengkajian Seni di Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, bergiat di Komunitas Seniman Perantauan Atjeh (SePAt) di Yogyakarta.