Yogyakarta _ Rembulan meredup, pertanda ramadhan akan berakhir. Gema suara pengajian masih terdengar dari bilik surau seberang pen...
Yogyakarta_ Rembulan meredup, pertanda
ramadhan akan berakhir. Gema suara pengajian masih terdengar dari bilik surau
seberang pendopo. Riuh rendah suara cengkrama diselingi tertawa semakin
terdengar dari teras rumah Raden Mas Acun Hadiwijojo, dibelakang Pendopo Ndalem
Notoprajan. Teras rumah milik kerabat kraton mataram tersebut dipenuhi oleh
mahasiswa dari Aceh dan Papua serta para pemuda Yogyakarta. Malam itu (Sabtu,
11/Juli/2015), poros istimewa Aceh-Jogja-Papua menggelar Acara Silaturahmi dalam Bertutur masih dengan
tema “Humanis, Berbudaya dan Beradab”.
Silaturahmi dalam bertutur
bukanlah silaturahmi biasa. Budaya bertutur membuat silaturahmi tidak dibatasi
dengan pakem yang baku dan suasana yang kaku Ragam ekspresi budaya tutur
bertemu menjadi stimulus untuk berbagi pengetahuan menganai kekayaan bahasa dan
kisah di nusantara, terutama di Aceh, Yogyakarta dan Papua sebagai potos
istimewa. Budaya tutur juga dijadikan sarana pengungkapan rasa kemanusiaan
sebagai penyelesaian masalah bersama. Menertawakan kegetiran dengan MOP yang
satir dan menghayati kemanusiaan lewat tutur puitik
Malam apresiasi budaya tutur itu
dimulai dengan sambutan dari Mas Totok, mewakili Raden Mas Acun sebagai tuan
rumah. Mas Totok yang juga sekretaris yayasan Janabadra menggambarkan keragaman
budaya sebagai cita rasa khas Yogyakarta. Bahwa keberagaman adalah khas Jogja
sebagai kota pelajar. Ucup dari perwakilan pelajar Papua mengamini hal itu.
Ucup mengungkapkan bahwa malam silaturahmi ini adalah upaya konkrit untuk
mempertehug solidaritas antar kelompok mahasiswa. Membuat ia merasa dihargai
dan diakui sebagai bahagian dari keberagamanan Jogja.
Dari kelompok pelajar Aceh, Zulfitri Adli menyampaikan
pendapatnya mengenai keistimewaan budaya dari Aceh, Jogja hingga Papua.
Terutama Aceh dan Jogja yang sudah menjalin hubungan baik sejak masa
kasultanan. Zulfitri Adli juga menyinggung perihal mahasiswa Aceh yang mendapat
banyak bantuan dari keraton. Namun kini ada kondisi khusus yang membuat
mahasiswa Aceh merasa tak nyaman. Kondisi ini adalah sengketa tanah yang di
atasnya sudah dibangun gedung asrama mahasiswa. Awal mula konflik ini terjadi
pada awal 2013, saat terdapat sekelompok oknum (ormas) yang berupaya menduduki
Asrama Mahasiswa Aceh di dekat pasar Kranggan. Ketiga perwakilan tersebut
sepaham bahwa acara-acara poros istimewa adalah ragam ekspresi budaya untuk
merekatkan ruh dan merendahkan jiwa dari ketinggian hati untuk saling menyapa
dan menyatu atas nama kemanusiaan.
Setelah itu acara berlanjut dengan penampilan teman-teman
Papua yang menyajikan Mop, budaya tutur “khas” Papua yang terkenal jenaka dan
satir. Mereka pun saling lempar-melempar Mop—kisah-kisah humoris mengenai
kondisi sosial budaya masyarakat di Papua sembari mengudap buah pinang. Para
tamu berserta tuan rumah pun ikut tertawa. Suasana pendopo menjadi meriah.
Diberbagai sudut kota mungkin semua orang sibuk dengan kegetirannya. Namun,
disudut pendopo ndalem Notoprajan ini, kegetiran ditertawakan dengan satir.
Cinta berwujud canda yang dituturkan dengan jenaka dan dipahami dengan tawa.
Malam sudah semakin pekat, namun acara belum usai. Dengan
rancak Muhammad Iqbal mengalunkan tiga puisi andalannya pada malam itu. Suaranya tidak meledak-ledak tapi menyemburkan penghayatan, membawa pulang kerinduan dan membuncahkan
rasa, lewat puisi berjudul "Ibu" milik Almarhum WS Rendra yang ia bacakan. Dilanjutkan dengan
puisi-puisi karya Mustafa dan terakhir karyanya sendiri. Ada berjuta pikir dan
tafsir atas puisi-puisi yang dibacakan olehnya.
Puisi Iqbal menghantarkan diskusi pada essensi fitrah
manusia sebagai tafsir atas nilai kemanusiaan. Sebuah tafsir atas maraknya
penindasan atas nama kemajuan peradaban. Kemajuan yang diikuti peminggiran
nilai-nilai kemanusiaan. Puisi Iqbal menghangatkan kembali nilai-nilai
kebersamaan. Para participant dipandu pembawa acara dan dipantik oleh Mas Totok
hanyut dalam serangkaian ide-ide tentang kemanusiaan dan kebudayaanya sebagai
pengikat kebersamaan.
Meski diskusi ditutup bukan berarti acara telah berakhir.
Para partisipan diarahkan untuk saling bersilaturahmi dalam lingkar-lingkar
kecil yang lebih intim. Apem Jogja menjadi menu favorit yang sungkan untuk dilewatkan,
tersaji pula aneka panganan lain dan gerobak mie ayam. Para partisipan melebur
dalam forum-forum kecil. Gusti Acun bersama rombongan kecil pemuda Aceh sibuk
membahas batu akik. Mas Totok bersama rombongan kecil dari Papua mendiskusikan
acara bersama. Bang Ibnu ketua pemuda Kelurahan Terban, Kota Yogyakarta, berbaur
dalam kelompok mahasiswa Papua membahas seni bela diri tradisional. Sembari mengudap,
para undangan duduk melingkar membuat forum-forum kecil informal yang
masing-masing sibuk membahas isu-isu dan masalah yang tengah dihadapi oleh
daerah asal maupun kelompok pelajar.
Semua orang bebas menuturkan
keresahannya dan mengekspresikan isi pikirnya lewat ragam bentuk bahasa tutur,
saling membagi energi. Semua orang terpagut kebersamaan. Malam itu, ndalem
Notoprajan bukan lagi sudut bisu tapi episentrum dari energi besar kemanusiaan
yang terpapar lewat ragam bentuk budaya tutur.
