Yoppi Andri sedang latihan musik bersama musisi sitar Djarot Efendy Berikut adalah sebagian hasil wawancara singkat acehmediart.com den...
![]() |
Yoppi Andri sedang latihan musik bersama musisi sitar Djarot Efendy |
Berikut adalah sebagian hasil wawancara singkat acehmediart.com
dengan Yoppi Andri, salah seorang musisi Aceh asal Kabupaten Simeulue yang
setelah bencana dahsyat pada 26 Desember Tahun 2004 gencar melakukan pembelaan
terhadap kata smong yang dianggapnya kata yang lebih bijak untuk
menggambarkan bencana gempa dan terjangan air laut yang terjadi pada akhir
Tahun 2004 di Aceh.
Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui lebih dalam tentang
apa yang sebenarnya telah membuat seorang musisi ini begitu ngotot
memperjuangkan salah satu jenis seni sastra tutur di Simeulue tersebut hingga
berani berkorban apapun untuk itu. Berikut adalah rekaman wawancaranya:
Bang Yoppi, lagi sibuk apa sekarang bang?
"Masih bermain musik dan memperjuangkan kesenian yang saya
anggap memiliki imbas besar bagi masyarakat."
Saya ingin kembali menyinggung masalah sebutan smong dalam
seni Nandong yang sudah lama abang perjuangkan untuk menggantikan kata tsunami bersama
kawan-kawan seniman dan bahkan masyarakat di berbagai kota di Indonesia juga
terlibat. Sebenarnya bagaimana cerita awalnya hingga kata tsunami dari bahasa
Jepang menjadi populer untuk menggambarkan bencana dahsyat pada Tahun 2004 di
Aceh dan kata smong yang berasal dari bahasa Devayan di Simeulue tidak
digunakan, padahal bencana semacam itu sudah pernah terjadi sejak Tahun 1883 dan
Tahun 1907 di Simeulue, dan orang-orang di sana telah menamakannya lebih dulu
dengan bahasa lokalnya, yaitu smong. Bahkan menurut cerita, orang-orang
Simeulue yang sedang berada di Banda Aceh saat air laut surut setelah gempa
begitu ngotot memperingatkan masyarakat dengan menyoraki smong dan menyuruh
orang-orang untuk lari ke tempat yang lebih tinggi menyelamatkan diri. Apakah
ada yang salah dengan kata smong hingga sepertinya bahasa asing lebih berhak
menggantikannya, bang Yoppi?
“Yang pertama, saya ingin mengatakan bahwa kita harus
lebih dulu mengakui bahwa selama dalam isolasi konflik bersenjata, kita begitu
sulit mensosialisasi tentang hikayat smong yang ada dalam kesenian nandong Simeulue, sehingga kata smong sulit mencapai puncak konvensi. Kita harus sadar bahwa berbagai
rekaman mengenai kearifan masyarakat tersebut belum tercatat dalam kondisi sebelumnya,
karena dari dulu juga kita masih mengandalkan rekaman tutur saja. Maka setelah
peristiwa gempa yang disusul air laut surut pada 26 Desember 2004 itu, para
bemberita mungkin mulai mencari kata yang tepat untuk menggambarkan peristiwa tersebut
dalam waktu cepat lewat catatan-catatan tertulis, hingga ditemukanlah kata tsunami yang berasal dari kata dalam bahasa Jepang. Ini tidak salah bagi
mereka, namun itu semua masih terletak pada diri kita untuk segera
memperbaiki kelemahan itu.”
Lantas apa yang bang Yoppi lakukan setelah melihat kata
tsunami lebih populer dari kata dalam bahasa salah satu Kabupaten di Aceh itu?
“Saya sendiri saat itu mulai menulis dan telah
menyelesaikan buku tentang smong serta kesenian nandong Simeulue yang memuat
hikayat bencana tersebut di samping terus merekamnya dalam berbagai lirik lagu,
lalu ikut juga dalam mensosialisasikan kearifan yang ada dalam kesenian nandong
tersebut dengan seni musik dan sastra tutur lewat road show NUSANTARA BERKISAH The
Smong Legend from Simeulue to The World ke berbagai kota yang rawan bencana
di Indonesia. Terakhir saya juga diundang ke Jepang, namun belum bisa ke sana.”
Apa yang penting dari kata smong ini bang Yoppi, sehingga
kita perlu menggunakan kata ini untuk menggantikan kata dalam bahasa Jepang
tersebut?
“Selain persoalan identitas yang sangat penting, saya
melihat kata tsunami ini adalah suatu ancaman terhadap kesenian nandong Simeulue
yang telah ada ratusan tahun yang lalu dan telah banyak memuat tentang kearifan
bagi kita untuk menangani bencana. Kita telah melihat bahwa setelah bencana yang
berhasil menyelamatkan banyak orang-orang dari Simeulue, banyak orang-orang luar
negeri terutama dari Jepang mulai meneliti tentang kesenian nandong yang memuat
sastra bencana ini. Saya sendiri pernah beberapa kali berhubungan dengan
peneliti dari Jepang dan merasakan bahwa mereka begitu antusias ingin
mengetahui ini, karena di negara mereka kesenian seperti ini tidak ada.”
Apa harapan abang untuk pemerintah, khususnya Pemerintah
Aceh mengenai persoalan kata tsunami yang telah disematkan pada banyak tempat bersejarah
yang berhubungan dengan bencana pada 26 Desember Tahun 2004 tersebut?
“Saya berharap pemerintah kita sadar bahwa kata tsunami
selain bisa menjadi artefak kata untuk merendahkan kearifan lokal Aceh, juga perlahan
bisa membunuh rasa kecintaan kita terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan
kelokalan kita yang khusus dan unik, terutama bahasa dan kesenian. Untuk itu lebih baik berbagai pihak terkait berani merubah kata “TSUNAMI” tersebut dengan kata “SMONG” dalam
bahasa lokal kita, karena ini belum terlambat.”
Terimakasih bang Yoppi atas waktunya, semoga tetap sehat dan selalu bersemangat memperjuangkan berbagai hal yang berkaitan dengan hajat hidup masyarakat.
Terimakasih Is atas bincang-bincangnya, semoga bermanfaat.
****
Wawancara ini dilakukan pada tanggal 15 Oktober, 2014 oleh Tu-ngang Iskandar, Pimpinan Redaksi acehmediart.com yang sebelumnya terlibat dalam tim road show NUSANTARA BERKISAH "The Smong Legend from Simeulue to The World".