Putra Gara Oleh Putra Gara Didong bukan sekadar kesenian rakyat Gayo yang memadukan unsur tari, vokal dan sastra. Didong telah...
![]() |
| Putra Gara |
Oleh
Putra Gara
Didong
bukan sekadar kesenian rakyat Gayo yang memadukan unsur tari, vokal dan sastra.
Didong telah menjadi salah satu urat nadi nilai-nilai yang berkembang dalam
masyarakat Gayo sejak zaman Reje LingeXIII.
Masyarakat
Gayo begitu menikmati saat berdidong. Dalam berbagai kesempatan, didong masuk
dalam agenda yang tidak boleh dilewatkan. Mungkin semua berawal dari sejarah
didong itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa kata “didong” mendekati
pengertian kata “denang” atau “donang” yang artinya “nyanyian sambil bekerja
atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian”. Dan, ada
pula yang berpendapat bahwa didong berasal dari kata “din” dan “dong”. “Din”
berarti Agama dan “dong” berarti Dakwah. Jadi didong dimaksud untuk dakwah agama
melalui kearifan lokal yang ada didaerah Gayo.
Terlepas
dari pengertian makna didong, pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi
penyebaran agama Islam melalui media syair pada saat Reje Linge XIII berkuasa,
sekitar tahun 1511 atau abad 16 M. Para ceh didong (seniman didong) tidak
semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai
estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat
memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang
sesuai dengan Islam.
Dalam
didong terdapat nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai
kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong para ceh tidak hanya
dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius akan tetapi juga harus
bisa bersyair dan memiliki suara yang merdu serta berperilaku baik. Pendek
kata, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di
segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam,
karena didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar agama islam.
![]() |
| Didong |
Permainan
Didong
Kelompok
kesenian didong atau pemain didong biasanya terdiri dari para ceh dan anggota
lainnya yang disebut dengan “penunung”. Jumlahnya dapat mencapai 30 orang atau
bahkan bisa lebih. Namun bila mencapai 30 orang, biasanya 4-5 orang terdiri
atas ceh dan sisanya adalah penunung.
Ceh
adalah orang yang dituntut memiliki bakat yang komplit dan mempunyai kreativitas
yang tinggi. Ia harus mampu menciptakan puisi-puisi dan mampu menyanyi.
Penguasaan terhadap lagu-lagu juga diperlukan karena satu lagu belum tentu
cocok dengan karya sastra yang berbeda. Anggota kelompok didong ini umumnya
adalah laki-laki dewasa. Namun, dewasa ini ada juga yang anggotanya
perempuan-perempuan dewasa. Selain itu, ada juga kelompok remaja. Malahan, ada
juga kelompok didong remaja yang campur (laki-laki dan perempuan). Dalam
kelompok campuran ini biasanya perempuan hanya terbatas sebagai seorang ceh. Peralatan yang dipergunakan pada mulanya
bantal (tepukan bantal) dan tangan (tepukan tangan dari para pemainnya). Namun,
dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menggunakan seruling, harmonika,
dan alat musik lainnya yang disisipi dengan gerak pengiring yang relatif
sederhana, yaitu menggerakkan badan ke depan atau ke samping.
Pementasan
didong ditandai dengan penampilan dua kelompok (Didong Jalu) pada suatu arena pertandingan.
Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang dilengkapi dengan
tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling mendendangkan
teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran. Dalam hal ini, para senimannya
akan saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah lawannya.
Mirip tradisi berbalas pantun di kalangan masyarakat Melayu.
Meski
pada awalnya didong dimainkan dalam rangka syiar Islam, namun dalam
perkembangannya didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan
rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam
mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang
diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki
yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pe-didong
harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan
cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpelihara.
Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan
kesenian didong.
Bahkan
pada saat Orde Baru berkuasa, seni didong pun dimanfaatkan untuk
mensosialisasikan program-program pemerintah. Lirik-lirik yang disampaikan
biasanya bertema tentang pendidikan, keluarga berencana, pesan pemerintah,
keindahan alam maupun kritik-kritik mengenai kelemahan, kepincangan yang
terjadi dalam masyarakat. Bila didong dilombakan, benar atau tidaknya jawaban
atau berbalas didong ini akan dinilai oleh tim juri yang ada, yang biasanya
terdiri dari anggota masyarakat yang memahami didong ini secara mendalam.
Pergeseran
Seni Didong
Sebelum
didong dimanfaatkan oleh Orde Baru (Rezim Suharto) untuk mensosialisasikan program
pemerintah, sebenarnya penampilan didong mengalami perubahan pada saat Jepang masuk ke Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan. Sikap
pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan”
bentuk kesenian ini. Pada masa itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan
bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi
masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku
kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang
bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang.
Pada
masa setelah proklamasi, seni pertunjukan didong pun dijadikan sebagai sarana
bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya
dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara. Selain itu, didong juga digunakan untuk
mengembangkan semangat kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana guna
membangun gedung sekolah, madrasah, mesjid, bahkan juga pembangunan jembatan.
Namun, pada periode 1950-an ketika terjadi pergolakan DI/TII, kesenian didong terhenti karena dilarang
oleh DI/TII. Akibat dilarangnya didong, maka muncul
suatu kesenian baru yang disebut saer, yang bentuknya hampir mirip dengan
didong. Perbedaan didong dengan saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan tari.
Tepukan tangan yang merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan dalam
saer.
Melestarikan
Didong
Dalam
melestarikan seni didong, masyarakat Gayo dewasa ini lebih mengembangkan kepada
nilai-nilai kekinian. Kendati demikian, muncul juga lirik-lirik yang hampir
sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes. Bedanya, dewasa
ini protesnya ditujukan kepada pemerintah berkaitan dengan korupsi, nepotisme,
dan juga harapan kesejahteraan yang banyak dinantikan oleh rakyat Indonesia.
Bahkan ketika sekian tahun pemerintah pusat menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, didong dimanfaatkan untuk
sarana protes terhadap kebijakan yang telah menyengsarakan rakyat. Meski didong
dijadikan sarana protes anti kekerasan pada saat konflik Aceh, namun protes
anti kekerasan sebenarnya bukan hanya terjadi pada kesenian didong, melainkan
juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh
.
Lestarinya
seni didong dalam mengangkat nilai-nilai kehidupan masyarakat Gayo tentu tidak
lepas dari peran para ceh didong. Ada pun para ceh yang turut berjasa
mengembangkan dan melestarikan didong di tanah Gayo yang masyarakat Gayo kenal
diantaranya adalah; Ceh Tjuh Ucak, Basir Lakkiki Abd. Rauf, Ecek Bahim, Sali Gobal, Daman, Idris Sidang Temas, Sebi, Utih Srasah, Beik, Tabrani, Genincis, S. Kilang, Ibrahim Kadir, Mahlil, Banta Cut, Dasa, Ceh Ucak, Suwt, Talep, Aman Cut, Abu Kasim, Syeh Midin, M. Din, Abu Bakar Gayo, Ishak Ali/CehSahaq, Aris Teruna Jaya, Tirmino Jaya, Mahlil Lewa, dan Ceh kucak Kabri Wali
.
Melalui
para ceh inilah akhirnya berbagai nilai-nilai yang ada di masyarakat Gayo
didendangkan, dilestarikan, dan disosialisasikan. Tak jarang ketika masyarakat
Gayo ingin menyampaikan suatu hal atau suatu pesan, seringkali kita mendengar -
“Yuk kita berdidong”.
Putra Gara adalah budayawan Gayo.

