Mahasiswa Aceh Yogyakarta sedang berdiskusi (9/7/2014) [ Yogyakarta ] Melihat dinamika politik di Aceh menjelang pilpres, mahasiswa Ac...
![]() |
| Mahasiswa Aceh Yogyakarta sedang berdiskusi (9/7/2014) |
[Yogyakarta] Melihat dinamika
politik di Aceh menjelang pilpres, mahasiswa Aceh di Yogyakarta angkat bicara
melalui diskusi yang diadakan Taman Pelajar Aceh (TPA) pada (9 Juli, 2014) bertempat
di asrama Meurapi Duwa dengan tema "membaca aceh pasca pemilihan presiden
2014".
Berbagai pandangan putra Aceh yang sedang
menimba ilmu di Kota pendidikan ini mengalir dengan beragam, Dari perpecahan di
tubuh mantan kombatan GAM, kekerasan yang sering terjadi di Aceh, hingga
beberapa point terkait kebijakan Aceh bersama Indonesia yang perlu
direalisasikan.
Khusus mengenai isu perpecahan yang
terjadi di tubuh Partai Aceh (PA) dan perubahan peta politik Aceh pasca pemilu
di Tahun 2014 ini, mereka membahasnya dengan serius. Hal ini karena menurut
mereka persoalan ini akan berdanpak besar pada nasib MOU Helsinky dengan
point-poin hasil kesepakatan yang harus segera diwujudkan. Mengingat sejak
perjanjian itu disepakati pada 15 Agustus 2005, hanya sedikit saja butir-butir
di dalamnya MOU yang berhasil direalisasikan.
Mengenai banyaknya aksi kekerasan dan
belum terciptanya demokrasi yang mapan di Aceh, mereka menganggapnya sebagai
sebuah kewajaran di tengah banyaknya eks mantan kombatan GAM yang masih dominan
memaksakan kehendaknya dimasa damai untuk ikut andil dalam pembangunan Aceh
yang sebenarnya hanya membutuhkan para intelektual yang cerdas serta berwawasan
luas ketimbang para tentara terlatih dalam menggunakan senapan dan alat untuk
melakukan kekerasan. Kendati demikian, mereka yang berdiskusi sepakat untuk
mengkritisi kaum intelektual Aceh termasuk mahasiswa Aceh yang lebih banyak
diam dan penakut ketimbang berani menyuarakan berbagai kepentingan masyarakat
Aceh.
Energi pembangunan Aceh yang terletak pada
kaum muda berilmu berpendidikan dan berwawasan luas merupakan satu hal yang
perlu dipersiapkan untuk sebuah pembangunan Aceh jangka panjang, karena menurut
mereka energi tersebut sangat berguna untuk menggantikan peran-peran kekerasan
yang selama ini terus bergentayangan di Aceh.
Pergantian presiden menambah keresahan
mahasiswa Aceh di Yogyakarta. Kekhawatiran bahwa kepemimpinan baru tidak komit
menjalankan segala kebijakan terkait Aceh yang walaupun telah disepakati
bersama bukanlah tanpa dasar, mereka yang selama ini ikut memantau perkembangan
terkait kepentingan rakyat Aceh ini belum bisa percaya sepenuhnya kepada
pemerintah pusat karena disamping masih trauma terhadap banyaknya janji terkait
Aceh pada masa lalu yang tidak ditepati, juga telah ditunjukkan akhir-akhir ini
dengan tidak seriusnya pemerintah pusat mengesahkan berbagai kebijakan terkait
Aceh. “Mengenai simbol Aceh saja mereka terlihat sangat tertekan untuk
mengesahkannya, apalagi mengenai point-point lain, padahal semua itu telah disepakati
bersama dalam MOU Helsinky” ungkap salah satu peserta diskusi.
Menanggapi isu yang bergulir tentang
keretakan dalam internal Partai Aceh (PA), mereka mengharapkan adanya
konsolidasi yang baik diantara elit petinggi Partai Aceh maupun elit politik di
Aceh. Konsolidasi yang dibangun diharapkan mampu menyatukan visi dan misi untuk
terus melanjutkan perdamaian dalam rangka mensejahterakan semua rakyat Aceh.
Terkait sumber daya manusia yang perlu
dipersiapkan Aceh, menurut mereka harus mampu membangkitkan berbagai sektor
swasta dan tentunya dengan dukungan yang serius dari pemerintah Aceh. Beasiswa
yang diberikan diharapkan tidak menjadikan mereka pengemis yang setelah masa
studi masih mengharapkan pekerjaan pada pemerintah Aceh. Pengemis intelektual ini
yang menurut mereka perlu diarahkan secara serius, demi pembangunan yang
merata.
Mereka juga memberi sorotan dalam bidang
ekonomi, keamanan yang tidak terjamin dan tingginya angka korupsi menjadi
penghambat laju pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Aceh. Sehingga kekayaan
sumber daya alam dan banyaknya anggaran benar-benar belum mampu mengangkat Aceh
sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia. Untuk itu mereka mengharapkan
pemerintah Aceh bisa menyelesaikan itu semua jika tidak ingin masyarakat Aceh
lebih terpuruk.
Terkait mengenai peningkatan ekonomi,
mereka juga memberi tawaran bahwa Industri kreatif setidaknya mampu dimajukan
menjadi salah satu solusi dalam usaha meningkatkan angka kesejahteraan dan
pengangguran di Aceh. Hal ini menjadi pernyataan serius salah satu peserta
dalam diskusi tersebut. Dia melihat bahwa ekonomi kreatif yang telah lebih dulu
dikembangkan di daerah-daerah lain yang telah mapan seperti Solo, bandung dan
Yogyakarta menjadi bukti keefektifannya.
Dalam bidang pendidikan, mahasiswa yang
berasal dari berbagai kabupaten di Aceh ini juga menyorot masalah peringkat
paling bobrok di tahun 2014 menjadi hal yang memalukan bagi pemerintah Aceh.
Bahwa pendidikan yang baik, infrastruktur dan tenaga profesional belum merata
ke seluruh Aceh merupakan kenyataan yang harus segera diwujudkan.
Taufik Akbar selaku ketua TPA mengatakan
bahwa acara diskusi semacam ini akan semakin giat dilakukan di Yogyakarta dan
diharapkan akan mampu memciptakan kembali iklim kepedulian yang kritis terkait
Aceh, mengingat selama ini banyak mahasiswa Aceh di luar daerah semakin apatis
terhadap isu-isu keacehan.*
