Oleh Syamsiah Ismail “Usia bukan satu hal menjadi penghalang dalam menyatakan cinta , ” begitu katanya pada suatu hari. Secara acak ...
Oleh Syamsiah Ismail
“Usia
bukan satu hal menjadi penghalang dalam menyatakan cinta,” begitu katanya pada
suatu hari. Secara acak aku pun bertanya, apa saja harapan-harapan yang mengitari di benaknya pada
seorang wanita paruh baya?
“Dia bisa
mengerti tentang diriku kapan dan dimana saja dia tinggal. Merasa nyaman
dan bahagia bila dekat dengannya. Dapat menjaga kepercayaan bila jauh denganku.
Dia mengerti body language suaminya.
Pandai beradaptasi penampilan sesuai
tempat keberadaannya. Komitmen pada apa yg menjadi kesepakatan, tidak menciptakan kisruh. Cantik, ceria, cerdas, menjadi teman
curhat,”jawabnya gamblang sambil
menerawang jauh..
Aku pun
hanya bisa tersenyum sambil menatapnya. Membiarkan diri dengan segala pikiran
merambahi otakku.Wajar dia memiliki banyak keinginan. Siapa pun lelaki atau
perempuan normal pasti mendambakan seperti ucapannya. Persoalannya, apakah
mampu membuktikan teori-teori menjadi kenyataan?
“Apa yang bisa anda berikan dengan segala hal yang anda harapkan pada
pasangan?” serangku lagi merasa ingin tau banyak tentang jalan pikirannya.
Sejenak kutatap matanya berbinar-binar. Bola matanya tersimpan banyak keinginan
dan harapanyang ingin diwujudkan. Beberapa saat kemudian meluncur kalimat dari bibirnya.
“Tanggung jawab sebagai kepala keluarga, seperti kebutuhan lahir batin. Perhatian pada anak dan istri, seperti pendidikan, biaya hidup, dan
kebutuhan lainnya,” berceceran kata
demi kata dari bibirnya. Aku pun mulai berpikir, siapa anak muda yang
sepuluh tahun lebih muda dariku? Bagaimana dia bisa punya banyak pandangan ke
depan yang belum tentu semua orang berpikir ke arah itu? Otakku berputar cepat
ingin mengumpulkan banyak pertanyaan yang akan kuajukan buatnya.
“ Cek...kopi satu!” teriak seorang pelanggan
dari arah luar. “Bentar, ya?” pamitnya sambil berlalu dari hadapanku. Kemudian dia beranjak ke dapur
warung. Dari balik rak dapur aku dapat menangkap rautnya. Dilepasnya satu sachet kopi ulee kareng dari gantungan yang berjejer di dinding. Tangannya
dengan cekatan merobek kemasan, lalu isinya dituang ke cangkir keramik putih.
Ditambahkannya sedikit gula. Secepatnya dia seduh dengan air panas. Bergegas
dia mengantar ke pelanggannya.
Usai mengantar minuman
di meja, dia kembali duduk di depanku. Pandanganku tajam menatapnya. Pikiranku
berkecamuk. Dipenuhi banyak pertanyaan. Jika pertanyaan itu nyata dapat diraba seukuran buah kelapa, mungkin tidak muat jika
diisi ke dalam lima karung goni. Pikiran konyol menghinggapi benakku.
“Bagaimana jika istri
anda wanita karir atau pekerja aktif di luar rumah? Nota bene dia memiliki
penghasilan sendiri. Apa anda merasa wajib memenuhi semua kebutuhannya?” tanyaku agak
tersendat.
Aku harus mengatur kata-kata kuatir dia
tersinggung. Adakalanya sebagian orang jika sudah menyinggung penghasilan,
tiba-tiba tensinya naik. Aku tidak ingin terjadi
dengan orang
yang berada didepanku.
“Bentar, ya?” dia pun
terburu-buru beranjak dari depanku sambil menyambar kain kotak-kotak hitam
putih. Alat kerjanya untuk membersihkan meja
yang tumpah oleh kopi atau teh.
Aku masih setia pada
kursi yang kududuki sekitar empat puluh menit yang lalu. Sesekali jariku
mengutak atik ponsel di tanganku. Berusaha membuang pertanyaan-pertanyaan di
benakku. Sempat ku berpikir, mengapa aku mau buang-buang waktu ngobrol dengan
penjaga warung? Pada hal masih ada pekerjaanku yang lebih penting lagi dari
pada itu.
Cop, jangan berpikir negatif! Sebagai manusia perlu belajar
banyak. Sumbernya bisa dari pengalaman, obrolan dengan orang-orang yang ada di sekitar, mendengar kisah pahit, sampai
melihat sendiri terjadinya suatu peristiwa. Cerpen ini juga lahir dari obrolan
biasa, tetapi menyimpan banyak makna yang mengesankan.
Druuuug... Bunyi kursi plastik yang diseret. Dia sudah berada lagi tepat di meja nangkringku.
“Maaf ya, terputus dengan kerjaan. Apa tadi pertanyaannya?” dia tersenyum padaku sambil
menghitung rupiah bayaran pelanggan. Aku mengulang kalimat yang ku lempar tadi.
“Penghasilannya terserah
dikemanakan. Saya akan memberi semampu saya. Orangnya tidak menuntut. Catatannya, jika dia sebelum bersama saya tidak memiliki karir, lalu berkarir setelah
bersama saya, itu akan menjadi pertanyaan,” sejenak dia menghela nafas sembari tersenyum padaku..
Sejenak aku seperti
berada diantara gambaran tokoh yang diumpamakannya. Profil wanita yang
diinginkannya menyerupaiku.
Ah...! Kutepis sekejap
ilusi yang melintas di benakku. Aku terlalu hanyut dengan apa yang kudengar.
“Oh ya, harapanku sesibuk
apa pun seorang istri tetap meluangkan waktu untuk memperhatikan suaminya.
Seorang suami ingin dimanja, menikmati kebersamaan, menciumi aroma tubuh
istrinya dengan penuh kasih sayang...” begitu ucapnya yang membuatku menunduk.galau melintasi pikiranku.
Aku melihat ketekunan,
percaya diri, dan kemandirian yang merajai anak muda itu. Karakter yang jarang
dimiliki anak muda di masa sekarang. Umumnya mereka hanya menadah tangan pada
orang tuanya. Bergayut pada kehebatan jabatan bapaknya. Bangga dengan harta pinjamankeringat
hasil orang tuanya.
Jam tangan ungu di
tanganku menunjukkan pukul 09.30 wib. Tiga puluh menit lagi aku harus masuk
kelas. Tentu para muridku telah menanti kedatanganku. Kuberanjak meninggalkan
warung hati dengan sejuta tanya melintas di benakku.
Semua ucapan seorang
pemuda yang kerap disapa “Cik”, membekas di benakku. Kalimat-kalimatnya
terngiang di telingaku. Antara harapan, impian, dan kekuatiran berkecamuk di dalamnya. Ku sadari bagaimana aku
harus menempatkan diri
jika sudah bicara soal hati. -sekian-
Syamsiah Ismail adalah cerpenis dan mahasiswa pascasarjana pada jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
