Satu lagi, film yang diangkat dari kisah nyata seorang bocah karateka korban tsunami Aceh akan segera ditayangkan di bioskop mulai 22 Me...
Satu lagi, film yang diangkat dari kisah nyata seorang bocah karateka
korban tsunami Aceh akan segera ditayangkan di bioskop mulai 22 Mei 2014 dalam rangka peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei.
Ary Ginanjar merupakan produser eksekutif film berseting Aceh, Bali hingga
Jepang ini. Ia mengatakan bahwa film ini berpesan tentang kebangkitan dan
nasionalisme yang kental. Hal itu ungkapnya “terlihat dari kisah Madi sang
tokoh utama yang merupakan anak korban tsunami tapi justru bangkit dan menjadi
juara karate internasional”.
Film “Sang Pemberani” mengisahkan kehidupan satu keluarga yang terpuruk
akibat tsunami yang melanda Aceh. Tokoh utama
dalam film ini adalah Madi, pemeran pendatang
baru yang juga atlet karate asli Aceh yang bernama asli Ahmad Reza Hariyadi. Ia
adalah remaja yang berjuang hidup bersama ibunya (Artika Sari Devi) dan adik
perempuannya (Annisa Asegaf) setelah ayah dan kakak laki-laki yang juga juara
karate meninggal dunia terkena Tsunami 26 Desember 2004.
Madi yang tekun belajar karate tersebut berjuang menata hidupnya dengan membantu
rekannya di Pasar Atjeh. Sampai kemudian Madi berteman dengan suami-istri warga
Jepang yang ditolongnya di Bali yang diperankan sineas kenamaan Jepang Rina
Takeda dan Kaname Kawabata.
Skenario film ini ditulis Salman Aristo yang juga pernah menggarap
film-film inspiratif seperti "Ayat-Ayat Cinta", "Laskar
Pelangi", dan "Garuda di Dadaku" itu disebut sebagai film Karate
Kid-nya Indonesia.
"Sang Pemberani ingin menyampaikan pesan tujuh budi utama Karate
seperti keadilan, keberanian, kesetiaan, kesopanan, ketulusan, tanggung
jawab, dan harga diri" kata Bakhtiar yang juga merupakan salah satu produser eksekutif.
Sinopsis
Film “Sang Pemberani”:
Madi Ghafur, bocah SMP yang pemberani,
terobsesi menjadi juara karate nasional seperti Diwa, sang abang yang meninggal
diterjang t. Medali emas Kejuaraan Karate
peninggalan sang abang dibawa Madi kemanapun pergi. Sarifah, ibunda Madi,
sebenarnya bangga dengan cita-cita putranya. Namun mental remaja yang masih
labil, menyebabkan Madi kalah dari Nirza pada seleksi karate daerah.
Merasa
dirinya layak masuk PELATDA,
Madi membungkam semua teman yang menertawakan kekalahannya, dengan kemampuan
beladirinya! Walhasil, Sarifah yang mencari nafkah dengan menjadi kuli cuci,
kehilangan pelanggan setia, karena Madi membuat anak-anak pelanggannya babak
belur. Sarifah makin marah ketika Aisyah, adik perempuan Madi, ikut-ikutan
berkelahi dengan anak laki-laki.
Tak diberi uang iuran latihan karate, Madi
bertekad mencari uang sendiri. Diam-diam, Madi menjadi centeng Bang Adoi, teman
almarhum ayahnya, yang banting setir menjadi keamanan pasar pasca Tsunami. Dengan
kemampuan karatenya, Madi mampu membekuk pencopet dan bromocorah pasar yang
berbadan lebih besar dari dirinya.
Karena
lebih banyak berada di pasar, nilai-nilai pelajaran Madi menurun drastis. Madi
mendapat peringatan dari kepala sekolahnya. Bukannya belajar giat, Madi makin
kejar setoran agar bisa melunasi iuran Dojo.
Selama
diskors Dojo akibat menunggak iuran, Madi bertekad menimba ilmu karate dari
Sensei Azwar, sensei kawakan yang lama menghilang dari jagat perkarate-an Aceh.
Tsunami yang menewaskan anak dan istrinya, mengubah Sensei Azwar menjadi
pribadi yang tertutup dan sensitif. Sensei Azwar yang dulu disegani lawan di
atas matras, sekarang takut mendengar suara gemuruh hujan. Ia lebih banyak
bercengkrama dengan motor gedenya, ketimbang berbicara dengan orang lain.
Sampai suatu hari, Madi membantu Suya,
asisten bengkel Azwar, dari serangan sekelompok preman yang mencoba merampok
bengkel. Madi mati-matian menghadapi para preman, hingga tersungkur kesakitan.
Saat itulah Azwar muncul. Memperlihatkan kematangan teknik karate yang sudah
lama tak digunakan. Madi kagum melihat tendangan maegeri Sensei Azwar, yang
sangat perkasa.
Akhirnya,
Madi berhasil menjadi murid tunggal Sensei Azwar. Madi seperti menemukan ‘dojo’ baru.
Berbagai alat latihan dirakit dari bahan-bahan yang ada di bengkel. Suya pun
sesekali jadi “Sparing Partner”.
Selain
Suya, tak ada yang tahu Madi berlatih karate dengan Sensei Azwar, kecuali Nirza
yang sesekali mengunjungi Madi ke bengkel Sensei Azwar, untuk sekadar bermain
dan curhat. Madi terkejut ketika mengetahui orangtua Nirza bertemu dan jatuh
cinta di atas matras. Meski kemampuan karate Nirza cukup bagus untuk bocah
seusianya, Madi melihat Nirza lebih senang menggeluti hobi roboticnya. Saking
sukanya mengutak-atik alat elektronik, Nirza bisa mereparasi berbagai alat
elektronik, termasuk televisi Sensei Azwar yang sudah lama rusak.
Saat
giat berlatih dan mengumpulkan uang, Sarifah mengetahui pekerjaan Madi. Sarifah
demikian terpukul, ingat almarhum sang suami dan anak sulungnya Diwa yang jadi
korban Tsunami, yang menjadikan ilmu karate sebagai sarana mempertinggi
prestasi dan menguasai emosi, bukan untuk gagah-gagahan dan mencari uang dengan
menjadi preman pasar!
Di
waktu yang nyaris bersamaan, guru karate di Dojo mempersulit Madi ikut seleksi
ulang, meski dirinya sudah melunasi tunggakan iuran. Dalam keadaan kalut, Madi
ingat ucapan Sensei Azwar, seorang karateka harus bisa menguasai diri, dan
mengalahkan hewan buas yang ada di dalam hati dan pikiran. Madi pun pasrah jika
Tuhan memang belum menakdirkannya ikut seleksi ulang. Kepasrahan itu, ternyata
membawa nikmat dan berkah. Tak hanya hubungannya dengan ibu dan sang adik yang
kembali harmonis, peluang untuk ikut kejurnas di Bali pun, tiba-tiba terbuka,
lantaran Nirza mengundurkan diri dari pelatda. Sensei Ryan mengabarkan kepada
pelatih di Dojo, bahwa Madi bisa mengikuti seleksi ulang. Akhirnya, Madi
berhasil menjadi wakil terakhir Aceh yang ikut pelatnas.
Bergabung dengan puluhan karate muda berbakat
di pelatnas, membuat Madi canggung. Dari anak kuli cuci yang hidup serba keras
sebagai centeng preman pasar pasca Tsunami Aceh, Madi harus bergaul dengan anak
orang kaya yang semuanya berambisi menjadi yang terbaik di atas matras. Di
tengah intrik-intrik di dalam pelatnas, Madi berteman erat dengan Azim dan
Vina. Mereka bertiga lolos menjadi 8 karateka muda yang berhak ikut Bali Open.
Tiga
hari menjelang Bali Open, Madi memanfaatkan waktu liburnya untuk mengunjungi
Sensei Kusnadi, guru karate terkenal di Bali. Sensei Kus yang pernah menurunkan
ilmu karatenya kepada almarhum ayah Madi, awalnya enggan melatih Madi, lantaran
melihat tipikal karateka zaman sekarang, yang cenderung mengutamakan teknik
karate untuk memenangkan pertandingan, tapi melupakan sumpah karate yang
menjadi dasar keluhuran budi seorang karateka. Namun setelah melihat keseriusan
Madi memperdalam teknik dan filosofi karate
akhirnya Sensei Kus mau melatih Madi.
Suatu
malam di Pantai Kuta, Madi dan Sensei Kus melihat dua turis Jepang di keroyok
preman lokal. Momen itu digunakan Madi untuk menjajal kematangan teknik dan
intuisi karatenya, pasca digembleng Sensei Kus. Dengan mudah, Madi membuat para
preman tunggang langgang. Madi tak menyangka orang yang ditolongnya adalah Ken,
Kawabata penyanyi terkenal Jepang yang juga seorang karateka. Jelang Bali Open,
Madi, Ken dan Naomi, latihan karate bersama.
Didukung
talenta dan gemblengan dua Sensei ternama Azwar dan Kus, di atas kertas Madi
bisa menjadi kampiun di kelasnya. Namun menjadi juara sejati, dibutuhkan tekad
dan keberanian, untuk mengubah nasib disaat-saat genting. Dibutuhkan lebih dari
sekadar skill untuk bangkit pasca berulangkali tersungkur dijatuhkan lawan. Disaksikan
ibu, adik, Nirza, Bang Adoi, guru dan teman-temannya, Madi bangkit untuk
melancarkan serangan balik. Lawan pun terjungkal tak berkutik. Madi berhasil
menjadi juara pertama. Selain berhasil meraih medali emas, Madi berhak
mengikuti kejuaraan karate tingkat anak-anak di Jepang.
Trailer Sang Pemberani