Oleh Tu-ngang Iskandar Sumber foto: jewelry-planets.blogspot.com Diantara ratusan jenis perhiasan tradisional Aceh, terdapat satu ...
![]() |
Sumber foto: jewelry-planets.blogspot.com |
Perhiasan motif pinto Aceh ini awalnya muncul pada tahun 1926 di sebuah Satteling (pasar malam) terbesar yang digelar Belanda saat mereka masih berada di Kutaraja (Banda Aceh). Kegiatan yang diadakan di Lapangan Blang Padang guna mencari simpati masyarakat Aceh terhadap Belanda tersebut diisi oleh perajin emas dan perak untuk menggelar karya-karya hasil kerajinannya.
Sejarah terkenalnya perhiasan dari ornamen pinto Aceh tersebut setidaknya bisa kita tandai dari hadirnya Mahmud Ibrahim, salah satu warga Blang Oi yang memperoleh sertifikat untuk kesediaan mengisi stand pada acara yang diadakan Belanda di Blang Padang. Kesediaan memamerkan karya hasil olahan tangan Mahmud Ibrahim yang saat itu dikenal sebagai pandai emas dan perak pada acara tersebut merupakan tonggak bagi kehadiran berbagai seni kerajinan Aceh di kancah perhiasan, terutama perhiasan pinto Aceh yang akhirnya populer.
Ketenaran Mahmud Ibrahim yang lebih dikenal dengan Utoh Mud oleh masyarakat dalam perhiasan memanglah tidak terlepas dari adanya apresiasi petinggi-petinggi Belanda dan keluarganya sebagai pemesan yang menyukai perhiasan Aceh hasil tangan beliau. Utoh Mud yang saat itu telah mengantongi sertifikat bergengsi atas keterarnpilannya yang diakui Belanda pada tahun 1935 itupun pada akhirnya berani menciptakan perhiasan baru, yaitu "Pinto Aceh", yang motifnya diambil dari bangunan pinto khob, salah satu monumen peninggalan Iskandar Muda yang sekarang menjadi tempat rekreasi, terletak di tepi sungai (krueng) Daroy. Konon gerbang kecil tersebut merupakan tempat permaisuri Sultan Iskandar Muda dan dayang-dayangnya keluar masuk ke tepian untuk mandi pada masa itu.
Perhiasan yang dibuat Utoh Mud dengan ide yang berasal dari pinto khop tersebut semulanya hanya berupa satu jenis perhiasan saja, yaitu perhiasan pada bagian dada wanita atau biasa disebut bros. Jenis perhiasan berupa bros memang telah ada dalam jajaran perhiasan tradisional Aceh, namun awalnya dengan mengambil motif lain. Bros pinto Aceh dengan meniru pintu gerbang bersejarah tersebut berbentuk ramping dengan jeruji-jeruji yang dihiasi motif kembang ditambah lagi sebagai pelengkap dengan rumbai-rumbai sepanjang kedua sisi.
Bahan baku pembuatan perhiasan pinto Aceh awalnya adalah berupa emas berkadar 18 sampai 22 karat, sebelum akhirnya berganti dengan berbagai bahan lain seperti perak, tembaga dan bahan baku lainnya seiring perkembangan teknologi dan tempat produksi yang menyebar di berbagai kota di Indonesia. Kendati demikian, keunggulan emas murni (emas kertas) yang mudah berlipat-lipat, baik ketika membuatnya ataupun ketika memakainya masih menjadi catatan penting penggunaan emas sebagai bahan bagi pembuatan perhiasan yang melegenda tersebut.
Pembuatan perhiasan pinto Aceh sendiri memang tidak dapat dilakukan sembarang utoh saat itu, karena disamping pembuatannya yang memerlukan ketrampilan mapan, pelatihan sebagai pembumian perhiasan tersebut juga tidak dilakukan terbuka. Hal ini tentunya dipengaruhi juga oleh adanya persaingan sesama utoh saat itu. Maka Setelah Utoh Mud meninggal dunia dalam usia 80 tahun, keterampilan khusus pembuatan perhiasan Pinto Aceh hanya dilanjutkan oleh muridnya yang bernama M. Nur atau biasa disebut Cut Nu, yang juga penduduk Blang Oi.
Cut Nu melanjutkan pembuatan perhiasan tersebut sampai akhir hayatnya di usia 80 tahun. Toko mas milik H. Keuchik Leumiek merupakan tempat Cut Nu membina kelanjutan seni membuat pinto Aceh tersebut. Dari sanalah pinto Aceh kemudian mulai dikenal kembali dan mendapat apresiasi sebagai salah satu jenis perhiasan yang kaya seni dan mentradisi. Sepeninggal Cut Nu, keterampilan ini pernah dilanjutkan oleh seorang perajin yang bernama Keuchik Muhammad Saman.
Saat ini, seiring populernya perhiasan pinto Aceh, tempat produksi perhiasan tersebut tidak hanya berada di Aceh dan dibuat oleh orang asli Aceh, namun juga oleh orang luar Aceh, terutama di Pulau Jawa yang banyak terdapat tukang-tukang mahir dan peralatan yang canggih. Bahan-bahannyapun secara otomatis telah bervariasi, sesuai dengan tingkat ekonomi pembeli dan kekayaan bahan-bahan sebagai tempat aplikasi.
Cut Nu melanjutkan pembuatan perhiasan tersebut sampai akhir hayatnya di usia 80 tahun. Toko mas milik H. Keuchik Leumiek merupakan tempat Cut Nu membina kelanjutan seni membuat pinto Aceh tersebut. Dari sanalah pinto Aceh kemudian mulai dikenal kembali dan mendapat apresiasi sebagai salah satu jenis perhiasan yang kaya seni dan mentradisi. Sepeninggal Cut Nu, keterampilan ini pernah dilanjutkan oleh seorang perajin yang bernama Keuchik Muhammad Saman.
Saat ini, seiring populernya perhiasan pinto Aceh, tempat produksi perhiasan tersebut tidak hanya berada di Aceh dan dibuat oleh orang asli Aceh, namun juga oleh orang luar Aceh, terutama di Pulau Jawa yang banyak terdapat tukang-tukang mahir dan peralatan yang canggih. Bahan-bahannyapun secara otomatis telah bervariasi, sesuai dengan tingkat ekonomi pembeli dan kekayaan bahan-bahan sebagai tempat aplikasi.
Perkembangan bahan tentunya juga semakin berpengaruh pada penempatan motif pinto Aceh. Motif pinto Aceh yang awalnya hanya berada dalam beberapa jenis seperti tusuk sanggul, gelang, subang, cincin, kalung, peniti, jepitan emas untuk dasi, dan lainnya kini telah berkembang dalam berbagai produk lain seperti kaos, kemeja, kopiah, undangan, meja, kursi, kosen pintu, jilbab, kebaya, bagian bawah celana, berbagai hiasan rumah tangga dan sauvenir khas Aceh lainnya.
Pembuatan perhiasan motif Pinto Aceh yang semakin populer memang tidak pernah lepas dari peran Haji Keuchik Leumiek yang bukan cuma menampung utoh-utoh pada tempatnya, namun juga mengoleksi benda-benda hasil kerajinan dari putra terbaik Aceh hingga saat ini. Pernak-pernik dari toko mas yang berlokasi di Jalan Perdagangan Banda Aceh (sekarang Jalan Tgk. Chik Pante Kulu) milik beliau telah dikenal sampai ke luar Aceh semenjak tahun-tahun 1950-an. Sekarang, anaknya masih melanjutkan tradisi pembinaan dan pelestarian tersebut.***
Tulisan ini diolah dari berbagai sumber.
Tulisan ini diolah dari berbagai sumber.