Oleh: Sulaiman Juned Chairil Anwar Siapa yang tak kenal Chairil Anwar si `Binatang Jalang` pelopor Angkatan 45. Puisi-pusi Chairil ...
Oleh: Sulaiman Juned
![]() |
Chairil Anwar |
Siapa yang tak kenal Chairil
Anwar si `Binatang Jalang` pelopor Angkatan 45. Puisi-pusi Chairil sejak dari siswa
Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi menjadi bahan pembelajaran. Rasanya tak
habis pembicaraan tentang Chairil Anwar baik individunya maupun sajak-sajaknya.
Hari meninggalnya diperingati baik oleh lembaga pendidikan maupun seniman-seniman
yang berdomisili di Indonesia. Mengenang setiap tahun meninggalnya diadakan
lomba cipta/baca puisi, mengadakan
diskusi, sarasehan mengenai penyair yang mati muda itu. Tak terasa April tahun ini (2014) telah 69 tahun lamanya penyair revolusioner ini
menghadap sang Khalik. Tepatnya pukul 14.30 WIB pada
tanggal 28 April 1949 di RSUP CBZ
(Sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), setelah enam hari dirawat. Menurut
catatan rumah sakit, Chairil muda diserang typhus. Sementara dari keterangan
teman dekatnya ia sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi. Bahkan
yang membuat nyawanya terengut adalah radang ususnya pecah. Chairil telah
tiada, namun setiap tanggal 28 April seluruh seniman memperingatinya. Penulis
ketika menuliskan tulisan ini, juga sedang mengenangnya, melalui Komunitas Seni
Kuflet Padangpanjang melakukan diskusi tentang ‘semangat kepenyairan Chairil
Anwar’.
Boen S. Oemarjati (1983: 215) mengungkapkan, “Chairil
Anwar bukanlah orang yang meratapi nasib
diri sendiri, apalagi nasib orang lain. Ia mengagumi kehidupan yang dipertentangkannya dengan kematian. Ia mengagumi orang-orang yang berani dan mempunyai vitalitas, ia sangat berani
menempuh hidup sekalipun selalu dalam kesadaran akan maut mengancam”.
Berangkat dari pendapat
tersebut, Chairil merupakan penyair yang serius ia bersungguh-sungguh menciptakan sajaknya. Pernah ada berita,
untuk mencari kata-kata yang tepat dalam satu baris sajaknya menghabiskan waktu
berminggu-minggu. Jadi wajar bila puisinya berkualitas. Bagi Chairil menulis
harus melalui perencanaan, memikirkan kata-kata yang tepat dan perenungan serta
proses pengendapan (kontemplasi). Keteladanan dan semangat seperti ini harus dimiliki oleh setiap manusia yang
bernama seniman. Jika karya-karyanya ingin disebut berkualitas, tak terkecuali seniman
tari-teater-musik-karawitan-kriya-seni murni dan Televisi. Semangat pantang
menyerah dan harus berarti dalam menghidupi kualitas kesenimanannya haruslah
kita contoh dari si ‘binatang jalang’ ini. Semangat sekali berarti sudah itu
mati yang menjadi moto hidup Chairil, barangkali dengan semangat itulah ia
benar-benar berarti, sehingga dijuluki sang pendobrak sistim konvensi lama
dalam per-puisi-an Indonesia.
A. Teuw (1983:
217) mengungkapkan, “…Setelah runtuhnya penjajahan Belanda bukan hanya terjadi
revolusi politik yang menjelma kemerdekaan negara Indonesia, namun terjadi juga
revolusi sastra yang yang dirintis oleh penyair
Chairil Anwar”. Betapa besar sumbangan Chairil
Anwar bagi perkembangan perpuisian. Di Indonesia banyak penyair terpengaruh dengan
sajak-sajaknya. Ada memang beberapa yang melakukan pemberontakan setelah
mengunyah dan menangkap `roh` semangat Chairil. Ia ingin bebas dari kungkungan
kata, sehingga puisinya disebut `puisi gelap` yang mementingkan tipografi
(bentuk). Puisi-puisi Chairil memang membumi.
Menurut HB. Jassin, (1983: 112) “…Cahiril Anwar menghasilkan karyanya sejak
1942 sampai 1949 hanya 70 sajak asli, 10 sajak terjemahan, 4 sajak saduran, 6
prosa asli dan 4 prosa terjemahan, 94 tulisan. Sungguh
sedikit yang dihasilkan dalam waktu enam tahun setengah. Ada juga karya
plagiat sebagai terjemahan dan saduran, namun yang membesarkannya adalah 70
sajak aslinya”.
Mengapa penyair `besar`
Chairil ada karyanya yang plagiat, apakah ini tidak memalukan. Apa yang sedang
terjadi dengan diri Chairil. Barangkali berjuta pertanyaan akan muncul dibenak kita, barangkali beribu sumpah
serapah akan tertumpah seandainya Chairil masih hidup. Begini, mungkin ini
hanya sebuah anekdot atau katakanlah pembelaan terhadap kepenyairannya. Chairil
Anwar hidup dalam situasi dan kondisi Indonesia
sedang mengalami transisi, mencari kerja sangat sulit. Cahiril terlalu
sering merasa lapar dan menderita, jadi untuk cepat mendapat honor maka ia
menyadur sajak orang. Sementara surat kabar dan majalah selalu saja memberikan
honor setiap Chairil mengantarkan karyanya. Beberapa redaktur koran dan
majalah yang menyediakan ruang budaya
berhasil di tipu Chairil. Kalau masalah tipu menipu memang Chairil sangat lihai
yang terpenting ia dapat makan. Pernah ketika ia bertamu ke tempat seorang
teman, dan temannya sedang sibuk menerjemahkan buku yang berbahasa Belanda dan
beberapa bahasa Asing lainnya. Sang teman meminta Chairil untuk
menerjemahkannya, ia bersedia asalkan
diberikan uang makan. Temannya menyanggupi, Chairil menerjemahkan buku
yang tidak begitu tebal hanya dalam waktu dua jam. Setelah mendapatkan uang
seperti yang dijanjikan dengan bersiul-siul Chairil pergi. Si teman sempat
heran menyaksikan kecepatan Chairil dalam menerjemah. Ia mulai memeriksa
pekerjaan Chairil, lembar pertama sampai dengan kelima belas sangat bangus hasilnya, tapi seterusnya
Chairil hanya menyalin saja. Begitu Chairil ‘si binatang jalang itu’, yang
seperti ini jangan di tiru. Ia menerjemahkan serta menyadur karya penyair asing
dengan mudah, namun itu semua dilakukan semata-mata untuk mengisi perut.
Chairil sangat gandrung dan menyenangi karya penyair
asing diantaranya; Marsman, Lorca, Aiten, T.S Eliot. Mari kita simak sajak
Chairil yang pernah menaruh curiga orang sepertinya terjadi persamaan dengan
sajak karya Lorca yaitu ‘Cardoba’. Judulnya Cintaku
Jauh di Pulau : // Cintaku jauh dipulau/gadis manis, sekarang iseng
sendiri/perahu melancar, bulan memancar,/dileher kukalungkan ole-ole buat si
pacar/angin membatu, laut terang, tapi terasa/aku tidak kan sampai padanya//
Diair yang tenang, diangin mendayu/diperasaan penghabisan segala melaju/ Ajal
bertahta, sambil berkata:/ “Tujukan perahu kepangkuanku saja”// Amboi jalan
sudah bertahun kutempuh!/ perahu yang bersama kan merapuh!/ mengapa ajal
memanggil dulu/sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?/ manisku jauh dipulau,/
kalau ku mati, dia mati iseng sendiri//. Sementara itu mari kita simak karya
Lorca dengan judul Cordoba: //sayub-sayub dan
sepi/ kudaku zanggi, bulan purnama/ dan buah zaitun di kantong pelana/ walau kukenal jaring jalannya/
berasa, tak lagi kucapai Cordoba// Memutus padang, menjuang angin/ kudaku
zanggi, bulan purnama./ Maut mengeram, mengintai didepan/ dari menara kota
Cordoba// Cordoba/ sayub-sayub dan sepi//.
Memang beberapa sajak Chairil jelas-jelas merupakan
sajak saduran seperti; ‘Rumahku’ karya Slauerhoff, ‘Woninglooze’, kepada
peminta-minta karya Alsschot, ‘Catetan
th 1945 dari karya Donald Bain War Poet’, ‘Datang Dara Hilang Dara terjemahan
sajak Hsu Chih-Mo’ dan lain-lain. Begitulah Chairil,
namun dengan 70 sajak aslinya ia telah menjadikan dirinya pilar utama, pelopor
dan pembaharu kesusasteraan Indonesia. Ia telah meletakkan kepercayaan
kepenyairannya pada kualitas sajak-sajaknya serta turut menyemangati penyair
sesudahnya. Luar biasa, yang harus kita teladani adalah keseriusannya serta
siap sedia berkeringat dalam menyair.
Sajak-sajak Chairil Anwar dipenuhi dengan perenungan
yang mendalam karena dilakukannya melalui kontemplasi yang mengkristal.
Kekuatan pengalaman spiritual serta kepekaan intelektualitasnya semua itu dapat
di raih. Betapa tidak, Chairil selalu saja secara langsung mengalami kehidupan
malam di kota Jakarta. Ia tidak sekedar mengalami, merasakan serta meraba objek
tersebut melainkan ia turut menikmatinya. Kapasitas dirinya seluruhnya ia
serahkan dan masuk untuk larut dalam suasana itu, sehingga suasana itu masuk ke
dalam dirinya. Kemelaratan, kepedihan, kesengsaraan, derita ia gumuli dengan
kekaguman untuk menantang hidup. Mari kita simak sebuah puisi yang berangkat
dari hasil pengalaman spritualnya yang bersifat individual dengan pemilihan
kata ambiguitas ketika ia mengungkapkan cinta dan rindu. Sajaknya berjudul Pemberi Tahu : // Bukan makdsudku mau
berbagi nasib,/ nasib adalah kesunyian masing-masing/ kupilih kau dari yang
banyak, tapi/ sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring,/ Aku pernah ingin
benar padamu,/ Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,/ kita berpeluk
ciuman tak jemu,/ rasa tak sanggup kau kulepaskan./ Jangan satukan hidupmu
dengan hidupku,/ Aku memang tak bisa lama bersama/ ini juga kutulis di kapal,
di laut tak bernama!//.
Sajak ini sepakat kita menganggapnya sajak cinta kepada
seseorang gadis, gadis itu menerima Chairil. Mereka kabarnya sering bersama
bersepeda. Menurut pengakuan gadis itu, setiap mereka bertemu dan bersepeda,
Chairil selalu saja memakai pakaian yang sama namun ia tak pernah mencium bau
badan Chairil. Suatu ketika Chairil bertamu ke rumah gadis itu, dan bertemu
dengan ayah si gadis dengan maksud melamar. Si ayah langsung menjawab; “Nak
Chairil, carilah kerja tetap dahulu”. Chairil hanya mengangguk dan mengucapkan
terima kasih, ia langsung pergi dan tentu dengan berjalan kaki karena sepeda
yang sering dikayuhnya adalah milik si gadis itu. Barangkali dari pengalaman
spiritual itu lahirlah puisi dengan judul Pemberi Tahu.
Peristiwa kecilpun Chairil menyerahkan dirinya dengan
sungguh-sungguh. Daya konstemplasinya memang sangat kuat sehingga ia dengan
sempurna menangkap objek menjadi buah karyanya. Walau sebuah peristiwa kecil dijadikannya
pengalaman emperik yang dirasakan dan dinikmatinya jadi puisi. Ia selalu
menyeleksi karyanya. Ia begitu tegar dalam pencaharian, tidak pernah mau
menyerah apalagi kalah. Hanya saja sesekali kesal andaikan ada karyanya dianggap belum maksimal. Chairil
melakukan selektifitas individual terhadap sajak-sajaknya. Ia pernah mengirim surat kepada HB. Jassin yang
isinya begini; “Jassin. Yang kuserahkan padamu-yang kunamakan sajak-sajak!-itu
hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa
tingkat percobaan musti dilalui dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya”
(Chairil Anwar, 1996). Ini suatu bukti ia sangat selektif. Memang benar ada beberapa sajak Chairil
terjadi perubahan walaupun sudah diterbitkan. Lihat saja antologi Deru Campur
Debu, Kerikil Tajam, Yang terhempas dan yang
putus, Tiga Menguak Takdir, ada beberapa sajaknya terjadi perubahan.
Chairil Anwar etnis Minangkabau yang dilahirkan di Medan
26 Juli 1922. pernah mengecap pendidikan MULO tapi tidak tamat, mantan redaktur
Gelanggang, siasat, dan Gema Suasana.
Merupakan manusia yang kutu buku. Buku apa saja ia baca walaupun totalitasnya berada dalam dunia
kepenyairan. Ia banyak dikenal orang bahkan ia bergaul dengan pengemis,
gelandangan, tukang becak serta pelacur. Pergaulannya digunakan untuk kepentingan
proses kreatif kesenimanannya. Chairil manusia yang tidak tahan kalau kehabisan
bahan bacaannya, ia konon kabarnya rela mencuri disebuah toko buku. Buku yang
dicuri tentunya dalam bahasa asing. Barangkali semangat membacanya boleh ditiru
tetapi semangat mencurinya jangan. Puisi yang ditulis menjelang kematiannya
menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap walau usianya baru 26 tahun,
sajak itu berjudul Derai-Derai Cemara:
//Cemara menderai sampai jauh/ Terasa hari jadi akan malam/ ada beberapa dahan
di tingkap rapuh/ dipukul angin yang terpendam.// Aku sekarang orangnya bisa
tahan,/ sudah berapa waktu bukan kanak lagi/ tapi dulu memang ada suatu bahan,/
yang bukan dasar perhitungan kini.// hidup hanya menunda kekalahan,/ tambah
terasing dari cinta sekolah rendah,/ dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,/
sebelum pada akhirnya kita menyerah//.
Penyair yang pada
usia 20 tahun dengan lantang meneriakkan keinginan ‘hidup seribu tahun lagi’
namu pada usianya 26 tahun ketika ajalnya mau dijemput menyadari bahwa ‘hidup
hanya menunda kekalahan…sebelum pada akhirnya kita menyerah’. Sajak ini
diungkapkan dengan sikap yang sudah
mengendap, inilah yang dinamakan proses kreatif yang memisahkan dirinya dari
masa lampau. Proses itu begitu cepat. Chairil mengamsalkan suara deraian cemara
sampai dikejauhan yang menyebabkan hari terasa akan jadi malam. Sementara dahan yang ditingkap merapuh itu
pun dipukul angin yang terpendam. Chairil memilih kata merapuh, ditingkap, dipukul, terpendam untuk menyatakan aku lirik (akunya penyair).
Ia menyadari bahwa sepenuhnya hari belumlah malam, tapi akan terjadi malam
(maksudnya; usianya masih muda tetapi ia
berfirasat semakin dekat dengan ajal). Benih perenungan semakin matang
dalam sajak ini, Chairil mengungkapkan rahasia kehidupannya dengan teknik
persajakan yang telah dikuasainya dengan baik. Chairil lebih menonjolkan sosok
yang penuh dengan semangat hidup serta sikap kepahlawanan. Ia merupakan penyair
yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.
Betapa
cerdas Chairil dalam menyembunyikan objek dirinya menjadi objek siapa saja yang
membaca karyanya. Bagi rekan penyair,
semangat dan kerja keras Chairil mari kita teladani, walau siapa saja tetap
terasa akan jadi malam. 64 tahun ia telah tiada, puisinya tetap hidup dan lantang menggema. Begitulah
seharusnya seniman. Semoga!
Sulaiman Juned adalah Penyair,
Esais, Dramawan, Sutradara Teater, Pendiri/ penasihat Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang Sumatera
Barat, Dosen Jurusan Seni Teater ISI Padangpanjang. Sekarang tercatat sebagai
mahasiswa Program Doktoral Pascasarjana Program Studi Penciptaan Seni Teater
ISI Surakarta.
DAFTAR PUSTAKA
A. Teeuw, 1983. Tergantung pada Kata, Jakarta: PT.
Gramedia
Chairil Anwar, 1996. Antologi Puisi Aku ini
Binatang Jalang, Jakarta: Gramedia Utama
HB.Jassin, 1985. Kesusasteraan Modern dalam Kritik
Esai II, Jakarta: Gramedia
------------, 1983. Sastra Indonesia sebagai Warga
Sastra Dunia, Jakarta: Gramedia
------------, 1996. Chairil Anwar Pelopor Angkatan
45, Jakarta: Gramedia Widia Sarana