Oleh M. Chandra Rizqi Ramlan Surbakti mengemukakan ada dua pengertian ideologi yaitu ideologi secara fungsional dan ideologi seca...
Oleh M. Chandra Rizqi
Ramlan
Surbakti mengemukakan ada dua pengertian ideologi yaitu ideologi secara
fungsional dan ideologi secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan
seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara
yang dianggap paling baik. Ideologi secara fungsional ini digolongkan menjadi
dua tipe, yaitu Ideologi yang doktriner dan Ideologi yang pragmatis. Ideologi
yang doktriner bilamana ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Ideologi itu dirumuskan
secara sistematis, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai
atau aparat pemerintah. Sebagai contohnya adalah komunisme. Sedangkan Ideologi
yang pragmatis, apabila ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Ideologi
tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, namun dirumuskan
secara umum hanya prinsip-prinsipnya, dan Ideologi itu disosialisasikan secara
fungsional melalui kehidupan.
Pada
era perkembangan ideologi di dalam dunia seni terdapat banyak kebimbangan bagi
seorang seniman mempertahankan nilai fungsional ideoliginya atau terus melebur
bersama pengaruh tatanan kehidupan global yang semakin liberal atau terus
mempertahankan untuk kebaikan bersama atau hanya untuk kepentingan pribadi. Paradigma pola kehidupan masyarakat global yang tengah merambah pada
dunia dewasa ini nampaknya lebih dipahami sebagai peristiwa dan proses
kebudayaan. Hal ini berarti pula berhubungan dengan lembaga, sistem, dan
strategi global dari pelakunya. bukan hanya merupakan fenomena budaya melainkan
juga fenomena komersial yang membentuk keseragaman tertentu sekaligus
membutuhkan perbedaan tertentu sebagai identitas dalam permainan suatu sistem kehidupan
masayarakat. Dalam konteks ini bukan saja tenaga dan pemikiran yang dijual
tetapi komitmen dan loyalitas dari peran seniman. Kesadaran individu versus kesadaran hidup bersama, lokal
versus global bertemu dalam satu arena.
Implikasi
fenomena tersebut dalam jagad seni agaknya lebih merupakan suatu pertarungan
ideologi, terutama ideologi senimannya. Pemikiran ini lebih didasarkan oleh
kenyataan fenomena sosial, bahwa kini kekerabatan telah runtuh dan digantikan
oleh kepentingan pribadi untuk terus dikenal atau mengekspos diri sendiri oleh
dirinya sendiri dari pada mementingkan proses bentuk soliditas dalam mewujudkan
tatanan dunia kesenian ke arah yang lebih baik tanpa ada kepentingan pribadi di
dalamnya. Ini bukan saja mengindikasikan pergeseran
nilai-nilai sosial budaya tetapi yang lebih penting adalah pertaruhan ideologi.
Fenomenanya dalam dunia kesenian sudah tampak dari pergeseran sikap dan
orientasi seniman, pergeseran dari kolektivitas ke individualitas, pergeseran
dari motif sosial ke motif ekonomi, dari kemapanan nilai kepada kebebasan
nilai, dan sebagainya. Kebudayaan tidak lagi dipahami secara substantif, melainkan
proses untuk melihat praktik-praktik dalam penciptaan dan pembuatan kembali
ruang identitas (Friedman, 1995).
Keberagaman
sebagai fenomena budaya, berada pada peradaban komersial, membentuk keseragaman tertentu dan sekaligus
membutuhkan perbedaan tertentu sebagai identitas dalam permainan suatu sistem
tatanan sebuah komunitas seni. Hal ini akan melibatkan lembaga, sistem, dan
strategi global dari para pelakunya. Sebab, di dalam kebersaman bukan saja
tenaga dan pemikiran yang dijual, tetapi komitmen dan loyalitas dari peran
kepudulian kita untuk berproses bersama menuju pada suatu target visi dan misi yg telah dipikirkan bersama. Kesadaran individu versus
kesadaran hidup bersama, lokal versus global bertemu dalam satu arena. Secara sosiologis, kini kekerabatan telah runtuh dan digantikan
oleh ego pribadi, sedangkan posisi kebersamaan pun telah runtuh digantikan oleh
peran individu.
Terlepas
dari paradigma tatanan kehidupan di era global dan pola pemikiran individualis
seorang seniman, kita tetap berharap difungsionalkan secara pragmatis dan dirumuskan
secara sistematis tanpa ada pengaruh dari kepentingan ideologi doktriner dan
kepentingan kelompok tertentu yang menjadikan seni sebagai tameng kemunafikan
pencitraan diri sendiri. perwujudan keberagaman dalam kebersamaan
seni secara plural
harus dipertahankan, agar kesadaran untuk peduli terhadap kesenian dan menjaga keutuhannya dengan
sukacita dapat dipertahankan.
Pertarungan seni di era global yang merupakan proses
pertahanan terhadap identitas suatu entitas tertentu sejatinya membutuhkan
suatu kesadaran bersama tentang betapa pentingnya kebersamaan yang sistematis
dan ilmu yang memadai untuk bertarung, karena tanpa itu semua, kesadaran
berkumpul dan kebersamaan hanya merupakan suatu strategi atau proses perekrutan
terhadap usaha menghancurkan diri sendiri, melalui sistim global yang menjebak.
Di sini, penguatan ideologi baik secara fungsional dan pragmatis sangat dibutuhkan, sebagai langkah awal dan juga strategi.
Namun di samping itu, kontrol terhadap laju tersebut tetap memerlukan sebuah
pengawasan dari suatu kekuatan yang idealismenya bisa dipertanggungjawabkan,
agar setiap hal yang berhubungan dengan isu peleburan diri ke dalam keseragaman
bisa diatasi dan kemunduran bisa dibalikkan. Tentunya dengan kreatifitas wawasan
dan identitas yang terus diasah dan diperkuat sebagai kekuatan utama membangun sebuah
ideologi seni di era global.
M. Chandra Rizqi adalah Mahasiswa
Pascasarjana Ilmu Hukum Atma Jaya Yogyakarta, aktif di Seniman Perantauan Atjeh
(SePAt).