Sulaiman Juned Oleh: Sulaiman Juned Pemain sandiwara keliling gelanggang labu tidak pernah belajar dramaturgi, ilmu pemeranan,...
Pemain sandiwara
keliling gelanggang labu tidak pernah belajar dramaturgi, ilmu pemeranan, dan ilmu penyutradaraan secara formal. Mereka memperoleh
keahlian secara non-formal namun mampu mensugestif penonton.
Gelanggang Labu merupakan sandiwara keliling tradisional
Aceh. Sandiwara keliling sudah ada sejak tahun 1950-an. Sandiwara ini mulai
tumbuh dari sebuah desa di Aceh Utara, tapatnya di Panton labu. Ketika teater
ini mulai merakyat, dan diterima ditengah-tengah masyarakat lalu dijulukilah
dengan istilah Gelanggang Labu. Awal tahun 70-an mulai menjamur grup-grup
sandiwara di seluruh Aceh, diantaranya yang terkenal, seperti; Benteng Harapan,
Jeumpa Aceh, Sinar Jeumpa, Sinar Desa, Sinar Harapan, Mutiara Jeumpa, Seulanga
Dara, Cakradonya, dan Geunta Aceh.
Ciri-ciri pertunjukan Gelanggang Labu memiliki kesamaan
yang kontras dengan ‘Komedi Stamboel’ yang dilakukan August Mahieu (1860-1906).
Hal ini dapat dilihat dari reportoar yang dipilih, sama-sama mengangkat cerita
1001 malam dari hikayat-hikayat Aceh (haba), seperti; Buloeh Peurindu, bawang mirah ngoen bawang puteh, Ahmad Rhangmanyang,
Putroe Ijoe, dan lain-lain. Ciri-ciri
yang mendasar, sebelum permainan dimulai para aktornya memperkenalkan diri
sekaligus dengan peran apa yang dia mainkan. Pembagian babak atau episode
dilakukan sangat longgar dengan adanya selingan antar babak yang diisi dengan
nyanyian (band), lawak, serta tari-tarian. Adegan-adengan gembira atau sedih
dalam gelanggng labu memang dilakukan dengan dialog bukan dengan opera
(nyanyian) seperti dalam komedi stamboel. Cerita-cerita yang akan dimainkan
oleh pelakonnya hanya diceritakan secara garis besarnya saja kepada pemain
(wos), dan lebih banyak pemain yang melakukan improvisasi. Sebagai aktor
dipentas sandiwara keliling harus mampu menjadi penyanyi, pelawak dan penari
sekaligus.
Sementara bentuk pemanggungannya, sandiwara keliling
Gelanggang Labu sangat sederhana dengan konstruksi panggung berukuran 9X6 meter
didirikan menggunakan drum kosong yang di atasnya diletakkan papan, seng
sebagai atap, batang kayu sebagai penyangga, triplrk untuk dinding, kain yang
dilukis sebagai dekorasi sesuai tuntutan cerita dan lampu reflektor kecil untuk
penerang dan pengubah suasana. Lokasi pertunjukan biasanya dlakukan di tanah
lapang, ditengah areal sawah setelah usai panen padi. Grup sandiwara ini hidup
dan beranak-pinak di dalam panggung tersebut (berumah), mereka melakukan
keliling ke seluruh Aceh, dan berdiam (melakukan pertunjukan) di suatu daerah
minimal dua bulan setelah melakukan perjalanan dan menetap didaerah lain.
Umumnya pemain sandiwara keliling Gelanggang Labu tidak
pernah memiliki atau mempelajari dramaturgi secara formal. Semuanya mengalir
begitu saja dengan pengetahuan otodidak yang mereka miliki. Rata-rata latar
belakang pendidikan mereka hanya sampai
Sekolah Dasar. Maka tidak heran bila siang hari mereka bergaul dengan
masyarakat dimana mereka melakukan pertunjukan, bahkan ada yang menjadi
buruh kasar di tempat itu. Ibnu Arhas (Sekarang mantan Anggota DPRD
Kabupaten Pidie), seorang aktor yang pernah melakukan pertunjukan di Takengon,
waktu itu siang hari ia berperan sebagai buruh pemetik kopi dengan pakaian
kumal. Namun pada malam hari dia tampil sebagai maha bintang di atas panggung,
dipuja-puji oleh penonton, setiap dia muncul selalu saja mendapat aplous dari
penonton. Keterbatasan ilmu tentang bermain drama bukanlah suatu halangan bagi
mereka untuk tetap terus bertahan. Umar Abdi, Ahmad harun, Yusuf Syam, serta Idawati merupakan tokoh-tokoh
teater keliling yang sadar betul atas kekurangan mereka, lalu melakukan
pembaharuan agar masyarakat penonton tidak bosan. Mereka menciptakan tema-tema
cerita baru yang digemari masyarakat, seperti tragedi rumah tangga,
pengkhianatan, kemunafikan, masalah ambisiusnya manusia. Ide atau gagasan untuk
memperolehnya bagi mereka (sutradara) teater keliling tidaklah sulit, mereka
dekat dengan masyarakat sehingga tahu persis tentang peristiwa yang muncul
ditengah masyarakat. Sutradara mengangkat realitas sosial yang tumbuh dan hidup
dimana mereka melakukan pementasan, lalu diadopsi menjadi cerita yang menarik
lewat kekuatan improvisasi para aktornya.
Keunggulan inilah yang membuat teater keliling ini mampu
bertahan hidup dan memperoleh sambutan hangat dari penonton di seluruh Aceh.
Cerita yang ditampilkan selalu aktual dan kontekstual dengan daerah dimana
mereka melakukan pertunjukan. Misalnya, cerita Cut Maruhoi diperankan Ahmad
harun (lelaki yang menjadi wanita) mengisahkan tentang seorang ibu mertua yang
cerewet, jahat dan sadis. Ahmad Harun benar-benar mampu masuk ke dalam
penokohan Cut Maruhoi, sehingga nama tersebut begitu melekat dan populer di tengah masyarakat Aceh. Bahkan
dalam pergaulan sehari-hari Ahmad harun sering di panggil Cut maruhoi.
Sengketa Tak
Berujung: Kesenian Jadi Saksi
Gangguan keamanan di Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD)
yang mulai pecah pada tahun 1989, sangat terasa dampaknya bagi perkembangan
insan seni untuk m elakukan kreatifitas berkesenian. Aceh yang memiliki teater
tradisional atau teater tutur, seperti; P.M.T.O.H, Dangderia, Dalupa, Didong,
Guel dan Sandiwara keliling Gelanggang Labu mulai terusik untuk berproses.
Kemandekan kehidupan panggung keliling sangat
terasa karena sering di cekal oleh Pemda dengan cara tidak memberi izin
pertunjukan, alasannya gangguan keamanan. Seruan ini dikeluarkan PEMDA Aceh
karena beberapa pertunjukan sebelumnya di daerah-daerah rawan konflik sering
terjadi. Pertunjukan sirkus di
Lhoekseumawe pada tahun 1989 sempat menimbulkan kekacauan, dan panggung artis
ibukota Dina Mariana pada tahun 1990 sempat di bakar oleh gerombolan tak di
kenal. Mengigat hal itulah pertunjukan
sandiwara keliling ‘Geunta Aceh’ pimpinan Umar Abdi pada pertengahan
tahun 1991 di desa Blang Malu Kecamatan Mutiara Pidie, batal melakukan
pertunjukan karena izinnya dicabut, juga karena ada operasi militer malam.
Maka, banyak panggung sandiwara keliling pada dekade 90-an terpaksa tutup
sehingga pemaiannya banyak yang menganggur. Sebagian terpaksa pulang kampung
menjadi petani atau buruh kasar.
Awal dekade 1992, kondisi keamanan agak sedikit
kondusif, empat tokoh seniman teater keliling; Umar Abdi, Yusuf Syam, Ahmad
Harun, dan Idawati mencoba kembali membangun panggung keliling. Situasi semakin
membaik, dan pertunjukan di beberapa kota
Aceh Utara, Aceh Besar, Aceh Tengah dan Sabang mulai diizinkan untuk melakukan
aktivitasnya kembali.
Suasana seperti itu, ternyata tidak bertahan lama. Tahun
1998 dengan berhasilnya gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa seluruh Indonesia untuk
menumbangkan Orde Baru, kenyataannya menjadi lain. Daerah Istimewa Aceh kembali
bergolak, dan GAM (Gerakan Atjeh Merdeka) kembali bergerak, mahasiswa serta
ulama dayah se-Aceh menuntut referendum.
TNI dan POLRI kembali menjalankan operasi. Kondisi Aceh kembali mencekam dan
tak menentu, suasana yang tak menentukan itulah menyebabkan izin pertunjukan
tidak dapat diberikan kepada sandiwara keliling Gelanggang labu, lagi-lagi
dengan dalih keamanan. Nah, menurut amatan penulis dari tahun 1998 hingga
sekarang 2009, tidak pernah terdengar di Aceh ada pertunjukan Sandiwara
keliling Gelanggang Labu dipentaskan. Grup-Grup yang pernah jaya, seperti
hilang di telan bumi, seniman-seniman panggung terpaksa beralih profesi, seperti;
menjadi penjual ikan, petani, buruh kasar dan lain sebagainya demi menghidupi
keluarganya. Kemandekan kehidupan panggung y ang disebabkan oleh gangguan
keamanan betul-betul membuat para pelakon, kru panggung dengan seluruh awaknya
kehilangan pekerjaan tetap yang telah diyakininya berpuluh-puluh tahun
pekerjaan itu mampu menghidupi keluarganya.
Sementara disisi lain, daerah Aceh secara tidak langsung
telah memusnahkan kekayaan kseniannya. Betapa tidak, bila hal ini terjadi
terus-menerus teater keliling Aceh hanya tinggal nama sebab tak ada lagi
pewarisnya. Bila tak ada pemanggungannya
secara otomatis para aktor panggung
keliling semakin lanjut usia dan tak ada yang mampu mewarisinya untuk
melanjutkan grup-grup sandiwara keliling. Sengketa yang terjadi di tanah
rencong tidak hanya menelan korban manusia, namun yang lebih menyedihkan dapat
menelan sisi kebudayaan dan kesenian.jangankan sandiwara keliling Gelanggang
Labu, denyut nadi Taman Budaya Aceh juga ikut terkena imbasnya. Taman Budaya
Aceh sejak tahun 1970-an sampai 1997 aktif melaksanakan pertunjukan teater modern
Indonesia di Aceh tiap bulan, seperti; Teater Mata pimpinan Almarhum Maskirbi,
Teater Bola pimpinan Almarhum Junaidi Yacob, Teater Gita Pimpinan Junaidi
Bantasyam, Teater Kuala Pimpinan Yun Casalona, Teater Peduli Pimpinan Almarhum
Nurgani Asyik, Teater Alam Pimpinan Din Saja, Sanggar Cempala Karya Pimpinan
Sulaiman Juned, Teater Kosong Pimpinan T.Yanuarsyah. Namun awal 1998
pertunjukan teater Modern Indonesia di Aceh mulai hilang denyutnya. Hal ini
disebabkan karena gangguan keamanan.
Denyut nadi kesenian Aceh seperti terhenti. Taman Budaya
sepi pertunjukan. Orang-orang tak lagi membicarakan kesenian, orang-orang lebih
banyak membicarakan politik, kematian dan keadilan. Hanya seniman sastra
(penyair) dn pelukis yang masih terus melakukan prosesnya. Para
pekerja teater banyak yang beralih profesi, ada yang menjadi penyair, dan
cerpenis. Sampai kapan hal ini terus terjadi. Andaikan situasi Aceh dibiarkan
larut tanpa penyelesaian akhir, maka Aceh secara global akan kehilangan seni
budayanya yang sangat kaya tersebut. Kita rindu tokoh Cut Maruhoi muncul di
atas panggung, rindu lawakan yang menggelitik dari si Ma’e (Ismail) yang mampu
melahirkan derai tawa. Rindu Idawati Sri panggung sandiwara keliling yang mampu
menjadi aktris, penyanyi sekaligus pelawak bahkan mampu menari. Namun kini
dimana mereka para punggawa sandiwara keliling Gelanggang Labu bermuara. Apakah
mereka ikut terkena imbas konflik panjang di Aceh, atawa mereka tergerus air
raya (Tsunami) beberapa tahun yang lalu pada 26 Desember 2004.
Konfliks-Tsunami-sengketa tak pernah reda mengancam seni budaya Aceh pada nadir
kepunahan.
Pasca konflik dan tsunami, apakah seni-seni tradisional
yang maha agung itu akan hidup, atau seni Aceh tersebut akan ikut terkubur
bersama ratusan ribu rakyat Aceh yang entah dimana makamnya. Generasi muda Aceh
sekarang ini pasti banyak yang tidak kenal lagi; Dangderia, Peugah Haba, Poh
Tem, Dalupa, Pho dan lain-lain. Rekan-rekan
seniman, pihak yang terkait, para intelektual seni, PEMDA NAD mari duduk
bersama; bicarakan tentang pentingnya mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi
Seni di Aceh. Nanggroe Aceh Darussalam.
Aceh meusyuhu (dikenal) di
Mancanegara karena senibudayanya, seperti; Didong, Saman, Seudati, tari Pho,
Rapa’i Geleng, P.M.T.O.H dan lain-lain. Kenapa masyarakat Aceh sendiri enggan
untuk mempertahankan budaya bangsa. Ini buat kita renungkan bersama. Aceh hari
ini selayaknya sudah dapat berharap banyak pada kesenian karena pemerintah
melalui KEMENDIKBUD telah membangun kampus seni berstatus negeri bertempat di
Kota Jantho Aceh Besar dengan nama Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI)
Aceh. Semoga dengan lahirnya lembaga pendidikan kesenian ini mampu merawat
seluruh kesenian yang ada di Aceh. Bravo!
Sulaiman Juned adalah penyair,
sutradara teater, dramawan, pendiri/penasihat Komunitas Seni Kuflet
Padangpanjang, Dosen Jurusan Teater ISI Padangpanjang, Sekarang sedang
melanjutkan Program Doktor di Pascasarjana ISI Surakarta.